BAB 1
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Manusia adalah makhluh sosial. Dalam kehidupannya manusia tidak lepas dari manusia lain. Mereka melakukan interaksi dengan yang lainnya tentu saja tidak lepas dari yang namanya bahasa.Bahasa yang digunakan oleh masyarakt Indonesia senantiasa mengalami perkembangan.Karena, bahasa memang bersifat dinamis.Setiap hari, hampir bahasa mengalami penambahan.Meski demikian, kita sebagai wargga masyarakat Indonesia yang baik, kita harus senantiasa memperhatikan bahasa-bahasa yang kita gunakan dalam bertutur.
Masyarakat Indonesia terkenal sebagai masyarakat yang santun.Orang luar negeri hampir mengenal masyarakat Indonesia selalu menampilkan prilaku yang menunjukan kesantunan dalam segala hal.Masyarakat Indonesia senantiasa menjaga sikap baik dalam bertindak maupun dalam bertutur.
Kesantunan bertutur termasuk salah satu aspek yang menjadi perhatian masyarakat luas.Dalam bertutur, kita harus senantiasa memperhatikan kesantunan.Kesantunan berbahasa ini salah satunya dipelajari dalam mata kuliah pragmatik.Pragmatik membahas makna satuan bahasa secara eksternal.Jika semantic mempelajarinya secara internal, maka pragmatic tidak seperti itu.Jika secara semantic rangkaian kata tertentu dianggapa salah, maka secara pragmatic bisa saja dikatakan benar.
Oleh karena itu, dalam makalah ini kami akan mencoba memaparkan kesantunan dalam bertutur, ditinjau dari segi pragmatik. Banyak teori yang dikemukakan oleh para tokoh.Tokoh-tokoh ini memaparkan berbagai pendapat mereka. Semuanya berbeda pendapat, akan tetapi, kesemuanya bisa dijadikan pegangan kita dalam berinteraksi dengan orang lain. Yakni interaksi yang memperhatikan kesantunan dalam bertutur, agar tercipta keharmonisan hubungan antara satu individu dengan individu yang lain.
Maka dari itu, disini kami penulis akan mencoba merumuskan masalahnya. Supaya pemaparan kami tidak terlalu meluas kemana-mana.Sehingga pembaca mudah dalam memahami. Adapun rumusan masalah dari teori tentang kesantunan bertutur itu yakni:
1.2. Rumusan Masalah
Pertanyaan dalam makalah ini dapat dirumuskan sebagai berikut:
1. Siapa sajakah tokoh yang memaparkan tentang teori kesantunan bertutur?
2. Bagaimana teori yang mereka kemukakan terkait kesantunan bertutur?
3. Bagaimana skala kesantunan menurut para tokoh?
4. Hal apa sajakah yang menyebabkan ketidaksantunan dalam bertutur?
5. Syarat apa saja sebuah tutur bisa dikatakan sopan?
1.3. Tujuan Penulisan
Makalah ini disusun bertujuan untuk:
1. Untuk mengetahui tokoh yang mengeluarkan teori kesantunan bertutur
2. Untuk mengetahui teori yang mereka kemukakan terkait kesantunan bertutur
3. Untuk mengetahui skala kesantunan menurut para tokoh
4. Untuk mengetahui penyebab ketidaksantunan dalam bertutur
5. Untuk mengetahui tutur yang dinggap memenuhi maksim kesopanan
1.4. Manfa’at Penulisan
Manfa’at yang ingin dicapai dari makalah ini:
1. Dapat mengetahui tokoh yang mengeluarkan teori kesantunan bertutur
2. Dapat mengetahui teori yang mereka kemukadinggakan terkait kesantunan bertutur
3. Dapat mengetahui skala kesantunan menurut para tokoh
4. Dapat mengetahui penyebab ketidaksantunan dalam bertutur
5. Dapat mengetahui tuturan yang dianggap memenuhi maksim kesopanan
BAB II
PEMBAHASAN
A. Landasan Teori
Teori-teori dalam makalah ini dikemukakan oleh beberapa tokoh. Diantaranya: Robin Lakoff, Bruce Fraser, Brown dan Levinson, Geoffrey Leech, Pranowo.
kalau tuturan kita ingin terdengar santun di telinga pendengar atau lawan tutur kita, ada tiga buah kaidah yang harus kita patuhi. Ketiga buah kaidah kesantunan itu adalah formalitas (formality), ketidak tegasan (hesitancy), dan persamaan atau kesekawanan (equality or camaraderie)( Robin Lakof: 1973).
Bruce Fraser (1978) mengemukakan: “kesantunan adalah properti yang diasosiasikan dengan tuturan dan di dalam hal ini menurut pendapat si lawan tutur, bahwa si penutur tidak melampaui hak-haknya atau tidak mengingkari dalam memenuhi kewajibannya”. Sedangkan Brown dan Levinson (1979) mengemukakan: “teori kesantunan berbahasa itu berkisar atas nosi muka (face). Sedangkan Geoffrey Leech (1983) mengajukan :”teori kesantunan berdasarkan prinsip kesantunan (politeness principles),yang dijabarkan menjadi maksim (ketentuan,ajaran).Sementara Pranowo tidak memberikan teori mengenai kesantunan berbahsa.
2.1 Teori Kesantunan
Ada sejumlah pakar yang telah menulis mengenai teori kesantunan berbahasa.Diantaranya adalah Lakoff (1973), Fraser (1978), Brown dan Levenson (1978), Leech (1983), dan Pranowo (2009). Secara singkat pendapat mereka akan dijelaskan berikut ini.
2.1.1 Robin Lakoff
Lakoff (1973) mengatakan kalau tuturan kita ingin terdengar santun di telinga pendengar atau lawan tutur kita, ada tiga buah kaidah yang harus kita patuhi.Ketiga buah kaidah kesantunan itu adalah formalitas (formality), ketidak tegasan (hesitancy), dan persamaan atau kesekawanan (equality or camaraderie).Ketiga kaidah itu apabila dijabarkan, maka yang pertama kualitas, berarti jangan memaksa atau angkuh (aloof); yang kedua ketidaktegasan berarti buatlah sedemikian rupa sehingga lawan tutur dapat menentukan pilihan (option)dan yang ketiga persamaan atau kesekawanan, berarti bertindaklah seolah-olah anda dan lawan tutur anda menjadi sama.
Jadi, menurut Lakoff, sebuah tuturan dikatakan santun apabila ia tidak terdengar memaksa atau angkuh, tuturan itu memberi pilihan kepada lawan tutur, dan lawan tutur merasa tenang. Ketiga tuturan berikut kiranya memenuhi harapan Lakoffit.
(1) Kami mohon bantuan Anda untuk turut membiayai anak-anak yatim itu.
(2) Mari kita bersama-sama membantu membiayai anak-anak yatim itu.
(3) Kami bangga bahwa Anda mau membantu membiayai anak-anak yatim itu.
Bandingkan dengan tuturan berikut yang tidak mematuhi ketiga kaidah Lakoff di atas.
(4) Anda harus membantu kami membiayai anak-anak yatim itu.
(5) Anda tentu dapat membantu membiayai anak-anak yatim itu.
(6) Dosa-dosa dan segala kesalahan Anda tentu akan dihapus Alloh kalau anda mau membantu membiayai anak-anak yatim itu.
2.1.2 Bruce Fraser
Fraser (1978) dan dalam Gunarwan (1994) membahas kesantunan berbahasa bukan atas dasar kaidah-kaidah, melainkan atas dasar strategi. Fraser juga membedakan kesantunan (politeness) dari penghormatan ( deference). Apa beda keduanya?
Bagi Fraser (1978) kesantunan adalah properti yang diasosiasikan dengan tuturan dan di dalam hal ini menurut pendapat si lawan tutur, bahwa si penutur tidak melampaui hak-haknya atau tidak mengingkari dalam memenuhi kewajibannya.Sedangkan penghormatan adalah bagian dari aktifitas yang berfungsi sebagai sarana simbolis untuk menyatakan penghargaan secara regular. Jadi, kalau seseorang tidak menggunakan bahasa sehari-hari kepada seorang pejabat di kantornya, maka orang itu telah menunjukan hormat, menurut Fraser belum tentu berprilaku santun karena kesantunan adalah masalah lain.
Mengenai definisi kesantunan dari Fraser, menurut Gunarwan (1994) ada tiga hal yang perlu diulas.Pertama, kesantuna itu adalah property atau bagian dari tuturan; jadi, bukan tuturan itu sendiri.Kedua, pendapat pendengarlah yang menentukan apakah kesantunan itu terdapat pada sebuah tuturan.Mungkin saja sebuah tuturan dimaksudkan sebagai tuturan yang santun oleh si penutur, tetapi di telinga lawan tutur, tuturan itu ternyata tidak terdengar santun; begitu pula sebaliknya.Ketiga,kesantunan itu dikaitkan dengan hak dan kewajiban peserta pertuturan .Artinya,apakah sebuah tuturan terdengar santun atau tidak diukur berdasarkan (a) apakah si penutur tidak melampaui haknya terhadap lawan tuturnya;dan (b) apakah si penutur memenuhi kewajibannya kepada lawan tuturnya itu.
Persoalan kita sekarang,apakah yang dimaksud dengan hak dan kewajiban itu di dalam suatu penuturan.Yang dimaksud dengan hak di sini adalah sesuatu yang menjadi milik penutur atau lawan tutur;dan yang dimaksud dengan kewajiban adalah keharusan yang harus dilakukan oleh peserta pertuturan.Di antara hak-hak penutur dalam suatu proses pertuturan adalah hak untuk bertanya,misalnya.Namun,hak ini bukanlah tanpa batas.Maksudnya,ada pertanyaan yang boleh dilakukan kepada lawan tutur akan tetapi,ada pula tidak boleh atau tidak pantas dilakukan umpamanya dua orang yang baru saling mengenal yang bertemu di lobi hotel (terutama bila keduanya berjenis kelamin yang sama) boleh saja yang seorang bertanya “Tinggalnya di kamar berapa?” dan pertanyaan itu terdengar sopan.Akan tetapi pertanyaan yang sama akan terdengar tidak santun bila si penanya adalah pria dan di Tanya adalah wanita,dan kedua-duanya baru saja saling berkenalan di lobi hotel.
Salah satu yang menjadi kewajiban peserta pertuturan adalah kewajiban untuk menjawab.Tindakan tidak menjawab.merupakan tindakan yang tidak santun.Tentu saja ia mempunyai hak untuk tidak menjawab misalnya bila pertanyaan terdengar tidak santun.
2.1.3 Brown dan Levinson
Pakar lain,Brown dan Levinson (1979), mengatakan teori kesantunan berbahasa itu berkisar atas nosi muka (face).Semua orang yang rasional punya muka (dalam arti kiasan tertentu); dan muka itu harus dijaga,dipelihara,dan sebagainya.Ungkapan-ungkapan dalam bahasa Indonesia seperti kehilangan muka,menyembunyikan muka,menyelamatkan muka,dan mukanya jatuh,mungkin lebih bisa menjelaskan konsep muka ini dalam kesantunan berbahasa.Muka ini harus dijaga,tidak boleh direndahkkan orang.
Brown dan Levinson mengatakan muka itu ada dua segi yaitu muka negative dan muka positif.Apa maksudnya? Apa yang dimaksud dengan muka negative dan muka positif itu?
Muka negative itu mengacu pada citra diri setiap orang yang rasional yang berkeinginan agar ia dihargai dengan jalan membiarkannya bebas melakukan tindakan atau membiarkannya bebas sesuatu dari keharusan mengerjakannya sesuatu.Bila tindak tuturnya bersifat direktif (misalnya perintah atau permintaan) yang terancam adalah suka negative.Hal ini karena dengan memerintah atau meminta seseorang melakukan sesuatu,kita sebenarnya telah menghalangi kebebasanya untuk melakukan (bahkan untuk menikmati tindakanya).Umpamanya,kita suruh seseorang yang sedang duduk-duduk asyik membaca Koran untuk mengerjakan sesuatu.Ini sama artinya dengan tidak membiarkannya melakukan dan menikmati kegiatannya itu.Tergantung kepada siapa dia ini dan juga kepada bentuk ujaran yang kita gunakan,orang itu dapat kehilangan muka.Mukanya terancam,dan muka yang terancam itu adalah muka negative.
Sedangkan yang dimaksud dengan muka positif adalah sebaliknya,yakni mengacu pada citra diri setiap orang yang rasional,yang berkeinginan agar yang dilakukannya,apa yang dimilikinya atau apa yang merupakan nilai- nilai yang ia yakini,sebagai akibat dari apa yang dilakukan atau dimilikinya itu,diakui orang lain sebagai suatu hal yang baik,yang menyenangkan,yang patut dihargai,dan seterusnya.Misalnya orang yang memiliki mobil BMW (salah satu mobil mahal); tetapi kepadanya dikatakan
Ah baru BMW,belum Rolls Royce
Dapat saja merasa bahwa yang dimiliinya itu (yang tidak semua orang mampu membelinya) tidak dihargai orang.Muka positifnya terancam jatuh.Tindak tutur mengkritik (yang termasuk tindak tutur ekspresif) dapat juga mengancam muka positif seseorang.Hal ini karena dengan mengkritik kita tidak menghargai atau tidak mengakui apa yang telah dilakukan orang yang kita kritik itu sebagai sesuatu yang baik,yang benar,yang patut dihargai,dan sebagainya.
Menurut Brown dan Levinson (1978) sebuah tindak tutur dapat merupakan ancaman terhadap muka.Tindak tutur seperti ini oleh Brown dan Levinson disebut sebagai Face Threatening Act (FTA) untuk mengurangi kekerasan ancaman itulah di dalam berkomunikasi kita tidak harus selalu menaati.Prinsip kerja sama dalam pertuturan yang diajukan oleh Gries (1975,lihat kembali subbab 3.5) dan kita jadi harus menggunakan prinsip kesantunan yang dikemukakan Leech (lihat subbab 4.1.4).
Karena ada dua sisi muka yang terancam yaitu muka negative dn muka positif maka kesantunan pun dibagi menjadi dua,yaitu kesantunan negative untuk menjaga muka negatife ,dan kesantunan positif untuk menjaga muka positif.Sopan santun dalam pertuturan direktif termasuk kedalam kesantunan negative yang dapat diartikan sebagai usaha untuk menghindarkan konflik penutur – lawan tutur.
Apakah yang terancam selalu muka lawan tutur,seperti pada contoh lawan tutur pemilik mobil BMW di atas.Sebenarnyapenuturpun dapat terancam mukanya oleh tindak tuturnya sendiri.Sebuah ajakan misalnya,dapat membuat muka penuturnya terancam.Umpamanya seorang pemuda (sebagai penutur) dapat melindungi mukanya dari ancaman itu dengan menggunakan tindak tutur tidak langsung.Jadi penggunaan tuturan “Malam minggu punya acara apa?” dari pada menggunakan tindak tutur langsung “Mari nonton film malam minggu ini” (misalnya dituturkan oleh seorang pemuda kepada gadis yang ditaksirnya) dapat ditafsirkan sebagai strategi untuk melindungi muka.Kalau ajakan itu ditolak si pemuda dapat menyelamatkan mukanya (apalagi kalau di tempat umum) dengan boleh bertutur “siapa yang mengajak nonton ?saya kan hanya bertanya apakah situ punya acara”.Dengan demikian ancaman terhadap muka penutur dapat terhindarkan.
Brown dan Levinson (1978) juga mengusulkan untuk menghindarkan ancaman terhadap muka itu,caranya penutur harus “memperhitungkan” derajat keterancaman sebuah tindak tutur (yang akan ia tuturkan) dengan mempertimbangkan di dalam situasi yang biasa,factor factor (1) jarak social di antara penutur dan lawan tutur; (2) besarnya perbedaan kekuasaan atau dominasi di antara keduanya;dan (3) status relative jenis tindak tutur di dalam kebudayaan yang bersangkutan (artinya,ada tindak tuturorang di dalam suatu kebudayaan di anggap tidak terlalu mengancam muka dan sebagainya).Lalu berdasarkan perkiraan itu,si penutur memilih strategi.
Bagaimana bentuk strategi itu,tergantung pada jenis kesantunannya,yaitu kesantunan negative (ada yang menyebutnya deferensial) atau kesantunan positif (ada yang menyebutkan kesantunan afirmatif).Berikut didaftarkan strategi untuk kesantunan negatife yang diangkat dari Gunarwan (1994).Namun,perlu dicatat istilah positif dan negative di sini tidak berkaitan dengan baik dan buruk.
a) Gunakan tuturan tidak langsung (yang secara konvensional digunakan oleh masyarakat yang bersangkutan).Simak contoh (8) berikut.
(8) Bolehkah saya minta tolong ibu mengambilkan buku itu?
b) Gunakan pagar (hedge).Simak contoh (9) berikut
(9) saya sejak tadi bertanya – Tanya dalam hati,apakah Bapak mau menolong saya?
c) Tunjukan sikap pesimis.Simak contoh (10) berikut.
(10) Saya ingin minta tolong,tetapi saya takut Bapak tidak tersedia.
d) Minimalkan paksaan.Simak contoh (11) berikut.
(11) Boleh saya mengganggu bapak barang sebentar?
e) Berikan penghormatan.Simak contoh (12) berikut.
(12) Saya memohon bantuan ibu,saya tau ibu selalu berkenan membantu orang.
f) Mintalah maaf.Simak contoh (13) berikut.
(13) Sebelumnya saya minta maaf atas kenakalan anak saya ini,tetapi……
g) Pakailah bentuk impersonal yaitu dengan tidak menyebutkan penutur dan lawan tutur.Simak contoh (14) berikut.
(14) Tampaknya meja ini perlu dipindahkan
h) Ujarkan tindak tutur itu sebagai kesantunan yang bersifat umum.Simak contoh (15) berikut.
(15) Penumpang tidak diperkenankan merokok di dalam bus.
Selanjutnya di daftar strategi-stategi untuk kesantunan positif menurut Brown dan Levinson (1978) sebagai berikut,diangkat dari pramujiono (2008).
a) Memperhatikan kesukaan,keinginan,dan kebutuhan lawan tutur.Simak contoh (16)dan (17) berikut.
(16) Aduh, …baru potong rambut,ya!
(17) Kamu pasti lapar ya..tadi kan belum sarapan!
b) Membesar-besarkan perhatian,persetujuan,dan simpati kepada lawan tutur.Simak contoh (18) dan (19) berikut.
(18) Wah,sepatumu bagus sekali,Beli di mana ya?
(19) Masakanmu hebat sekali.Benar-benar enak!
c) Mengintensifkan perhatian penutur dengan mendramatisasikan peristiwa dan fakta.Simak contoh (20) dan (21) berikut.
(20) Saya turun tangga dan tahu kamu apa yang kamu lihat …
(21) Kamu tahu …ribuan satpol pp bentrok dengan ribuan warga koja,Tanjung priok dan apa hasilnya …tiga orang satpol pp tewas!
d) Menggunakan penanda identitas kelompok (seperti bentuk sapaan,dialek,jargon atau slang).Simak contoh (22) dan (23) berikut.
(22) Loh,panjenengan mau ke mekkah juga?
(panjenengan = anda)
(23) Bagaimana dul,jadi ikut ngga?
(ngga = tidak)
e) Mencari persetujuan dengan topik yang umum atau mengulang sebagian atau seluruh ujaran penutur (lawan tutur).Simak pertuturan (24) berikut.
(24) A : saya sudah dua kali menelpon,tetapi tidak diangkat
B : oh,sudah dua kali menelpon ya?
f) Menghindari ketidaksetujuan dengan pura-pura setuju,persetujuan yang semu (psedo agreement),menipu untuk kebaikan (white lies),atau pemagaran opini (hedging opinion) simak pertuturan (25); (26) dan (27) berikut.
(25) A : nanti tolong berkas-berkas di meja ini dirapihkan,ya!
B : Baik! (padahal sebenarnya tidak mau merapihkan)
(26) A : bagaimana,masakanku enak ya,pak!
B : oh,ya,enak sekali (berbohong untuk menyenangkan A)
(27) A : Kamu tidak cinta pada gadis itu?
B : Disatu sisi,ya!(pemagaran)
g) Menunjukan hal-hal yang dianggap mempunyai kesamaan melalui basa-basi (small talk) dan peranggapan (presuppastion).Simak contoh (28) dan (29) berikut.
(28) Gimana,semalam nonton tinju,kan!
(29) Aku kira kamu pasti sangat lapar!
h) Menggunakan lelucon.Simak contoh (30) berikut.
(30) Motormu yang sudah butut itu sebaiknya untukku saja,ya!
i) Menyatakan paham atau mengerti akan keinginan lawan tutur.Simak contoh (31) berkut.
(31) Aku tahu kamu tidak suka pesta, tetapi yang ini sangat luar biasa…datang ya?
j) Memberikan tawaran atau janji.Simak contoh (32) berikut.
(32) Aku pasti akan membayar utangku besok.jangan khawatir
k) Menunjukan keoptimisan.Simak contoh (33) berikut.
(33) Tidak masalah!Semuanya ini akan dapat saya selesaikan semuanya besok!
l) Melibatkan penutur dan lawan tutur dalam aktivitas.Simak contoh (34) berikut.
(34) Sebaiknya kita beristirahat dulu sebentar!
m) Memberikan pertanyaan atau meminta alasan.Simak contoh (35) berikut.
(35) Mengapa anda tidak jadi datang kerumah saya?
n) Menyatakan hubungan secara timbal balik (resiprokal).Simak contoh (36) berikut.
(36) Saya mau mengerjakan ini untukmu,kalau kamu mau membuatkan saya secangkir kopi!
o) Memberikan hadiah (barang,simpati,perhatian,kerjasama) kepada lawan tutur.Simak contoh (37) berikut.
(37) Saya akan membantumu pada setiap waktu.
Pada intinya teori yang disampaikan Brown dan Levinson, lebih menitik beratkan pada kesenangan lawan tutur.Bagaimana lawan tutur kita merasa dirinya sedang tidak dibawah paksaan atau perintah.Terkadang demi kebaikan, kita berbohong senantiasa mendukungnya juga diperbolehkan, selama itu tidak berlebihan. Karena dengan begitu, kebaikan juga akan berbalik pada kita, kita akan dengan mudah mendapat bantuan dari lawan tutur kita. Oleh Karena itu, menjaga perasaan lawan tutur angatlah penting menurut Brown dan Levinson ini.
2.1.4 Geoffrey Leech
Pakar lain yang memberi teori tentang kesantunan berbahasa adalah Leech (1983).Beliau mengajukan teori kesantunan berdasarkan prinsip kesantunan (politeness principles),yang dijabarkan menjadi maksim (ketentuan,ajaran).Keenam maksim itu adalah maksim (1) kebijaksanaan (tact); (2) penerimaan (generosity); (3) kemurahan (approbation); (4) kerendahan hasil (modesty); (5) kesetujuan (agreement); (6) kesimpatian (sympathy)
a) Maksim kebijaksanaan menggariskan bahwa setiap peserta pertuturan harus meminimalkan keuntungan bagi orang lain.Contoh berikut (16) sampai dengan (19) dari Leech yang memiliki tingkat kesantunan yang berbeda.Tuturan dengan nomor kecil memiliki tingkat kesantunan yang lebih rendah dibandingkan dengan tingkat kesantunan dengan nomor yang lebih besar.
(16) answer the phone!
(17) will you answer the phone?
(18) can you answer the phone?
(19) would you mind answering the phone?
Dalam bahasa Indonesia contoh (20) sampai dengan (24) yang diangkat dari Wijana (1996) dapat dipertimbangkan kesantunannya.
(20) Datang kerumah saya!
(21) Datanglah kerumah saya!
(22) Silahkan datang kerumah saya
(23) Sudilah kiranya datang kerumah saya!
(24) Kalau tidak keberatan sudilah datang kerumah saya!
Bedasarkan contoh di atas dikatakan bahwa:
a) Semakin panjang seseorang semakin besar pula keinginan orang itu untuk bersikap santun kepada lawan tuturnya.
b) Tuturan yang diutarakan secara tidak langsung,lebih santun dibandingkan dengan tuturan yang diutarakan secara langsung.
c) Memerintah dengan kalimat berita atau kalimat Tanya dipandang lebih santun dibandingkan dengan kalimat perintah (imperative)
Kalau dalam tuturan penutur berusaha memaksimalkan keuntungan orang lain,maka lawan tutur harus pula memaksimalkan kerugian dirinya,bukan sebaliknya.Silahkan bandingkan pertuturan (25) yang mematuhi maksim kebijaksanaan dan pertuturan (26) yang melanggar.
(25) A : mari saya bawakan tas bapak!
B : jangan,tidak usah!
(26) A : Mari saya bawakan tas Bapak!
B : Ini,begitu dong jadi mahasiswa!
b) Maksim penerimaan menghendaki setiap peserta pertuturan untuk memaksimalkan kerugian bagi diri sendiri dan meminimalkan keuntungan diri sendiri.Tuturan (27 dan (28) dipandang kurang santun bila dibandingkan dengan tuturan (29) dan(30).Simak!
(27) pinjami saya uang seratus ribu rupiah!
(28) Ajaklah saya makan di restauran itu!
(29) Saya akan meminjami Anda uang seratus ribu rupiah.
(30) Saya ingin mengajak Anda makan siang di restaurant.
Tuturan (27) dan (28) serasa kurang santun karena penutur berusaha memaksimalkan keuntungan untuk dirinya dengan mengusulkan orang lain dan meminimalkan rasa tidak hormat kepada orang lain.Jadi, menurut Leech, keuntungan bagi lawan tutur sangat diutamakan.Untuk memperjelas,simak pertuturan (31) dan (32) berikut!
(31) A : Sepatumu bagus sekali!
B : Wah,ini sepatu bekas;belinya juga di pasar loak.
(32) A : Sepatumu bagus sekali!
B : Tentu dong,ini sepatu mahal;belinya juga di Singapura!
Penutur A pada (31) dan (32) bersikap santun karena berusaha memaksimalkan keuntungan pada (B) lawan tuturnya.Lalu,lawan tutur pada (31) juga berupa santun dengan berusaha meminimalkan penghargaan diri sendiri; tetapi (B) pada (32) melanggar kesantunan dengan berusaha memaksimalkan keuntungan diri sendiri.Jadi,B pada (32) itu tidak berlaku santun.begitupun bisa dikatakan pertuturan (33) lebih santun dari petuturan (34);tetapi pertuturan (35) lebih santun dari pertuturan (34) Simak baik-baik!
(33) Kue ini sungguh enak.
(34) Kue ini tidak enak.
(35) Kue ini kurang enak.
Coba anda pahami baik-baik santun dan tidaknya pertuturan (33), (34), (35) di atas
c) Maksim kerendahan hati menuntun setiap peserta pertuturan untuk memaksimalkan rasa hormat pada diri sendiri, dan meminimalkan rasa hormat pada diri sendiri. Simak contoh (36) dan (37) berikut. Lalu perhatikan bedanya.
(36) A : Mereka sangat baik kepada kita.
B : Ya, memang sangat baik bukan?
(37)A: Kamu sangat baik pada kami.
B : Ya, memang sangat baik, bukan?
Pertuturan (36) mematuhi prinsip kesantunan karena penutur A memuji kebaikan pihak lain dan respons yang diberikan lawan tutur (B) juga memuji orang yang dibicarakan. Berbeda dengan pertuturan (37) yang di dalamnya ada bagian yang melanggar kesantunan.Pada tuturan (37) itu, lawan tutur B tidak mematuhi maksim kerendahan hati karena memaksimalkan rasa hormat pada diri sendiri. Masalah yang sama bisa kita lihat pada pertuturan (38) dan (39) berikut.
(38) A : Betapa beraninya orang itu.
B : Betul, dia memang berani.
(39) A : Kamu memang sangat berani.
B : Ya memang, semua orang juga bilang begitu.
Agar komentar (B) pada tuturan (39) serasa santun, maka (B) dapat menjawab seperti pada tuturan (40) berikut ini, sehingga terkesan ia meminimalkan rasa hormat bagi dirinya sendiri.
(40) A : Kamu memang sangat berani.
B : Ah tidak, tadikan Cuma kebetulan saja
d) Maksim kecocokan menghendaki agar setiap penutur dan lawan tutur memaksimalkan kesetujuan diantara mereka. Simak pertuturan (41) dan (42). Lalu, perhatikan bedanya!
(41) A : Kericuhan dalam sidang umum DPR itu sangat memalukan.
B : Ya, memang !
(42) A : Kericuhan dalam sidang umum DPRitu sangat memalukan.
B : Ah, tidak apa-apa. Itulah dinamikanya demokrasi.
Tuturan B pada (41) lebih santun dibandingkan dengan tuturan B pada (42), mengapa?Karena pada (42), B tidak memaksimalkan ketidaksetujuan dengan pernyataan A. Namun, bukan berarti orang harus senantiasa setuju dengan pendapat atau pernyataan lawan tuturnya. Dalam hal ia tidak setuju dengan pernyataan lawan tuturnya, dia dapat membuat pernyataan yang mengandung ketidaksetujuan parsial (partial agreement) seperti tampak pada pertuturan (43) dan (44) berikut.
(43) A : Kericuhan dalam sidang umum DPR itu sangat memalukan.
B : Memang, tetapi itu hanya melibatkan beberapa oknum DPR saja.
(44) A : Pembangunan di Ibukota sangat luar biasa, bukan?
B : Ya, memang; tetapi dibangun dengan dana pinjaman luar negeri.
Pertuturan (43) dan (44) terasa lebih santun daripada pertuturan (42) karena ketidaksetujuan B tidak dinyatakan secara total, tetapi secara parsial sehingga tidak terkesan bahwa B adalah orang yang sombong.
e) Maksim kesimpatian mengharuskan semua peserta pertuturan untuk memaksimalkan rasa simpati, dan meminimalkan rasa antipasti kepada lawan tuturnya. Bila lawan tutur memperoleh keberuntungan atau kebahagiaan penutur wajib memberikan ucapan selamat. Jika lawan tutur mendapat kesulitan atau musibah penutur sudah sepantasnya menyampaikan rasa duka atau bela sungkawa sebagai tanda kesimpatian. Simak pertuturan (45) dan (46) yang cukup santun karena si penutur mematuhi maksim kesimpatian, yakni memaksimalkan rasa simpati kepada lawan tuturnya yang mendapatkan kebahagiaan pada (45) dan kedukaan pada (46)
(45) A : Bukuku yang kedua puluh sudah terbit.
B : Selamat ya, Anda memang orang yang hebat.
(46) A : Aku tidak terpilih jadi anggota legislative ; padahal uangku sudah banyak keluar.
B : oh, aku ikut prihatin ; tetapi bisa dicoba lagi dalam pemilu mendatang.
Bandingkan pertuturan (45) dan (46) yang cukup santun dengan pertuturan (47) dan (48) yang tidak santun.
(47) A :Bukuku yang kedua puluh sudah terbit.
B : Belum apa-apa, Pak Tarigan sudah menerbitkan bukunya yang keenam puluh.
(48) A : Aku tidak terpilih jadi anggota legislative padahal uangku sudah banyak keluar.
B : Wah,selamat ya!Anda memang banyak uang.
Sebagai kesimpulan terhadap teori kesantunan dari Leech ini kita bisa menyatakan bahwa:
a) Maksim kebijaksanaan,maksim penerimaan,maksim kemurahan hati dan maksim kerendahan hati adalah maksim yang berhubungan dengan keuntungan atau kerugian diri sendiri dan orang lain.
b) Maksim kecocokan dan maksim kesimpatian adalah maksim yang berhubungan dengan penilaian buruk atau baik penutur terhadap dirinya sendiri atau orang lain.
c) Maksim kebijaksanaan dan maksim kemurahan hati adalah maksim yang berpusat pada orang lain (other centred maxim).
d) Maksim penerimaan dan kerendahan hati adalah maksim yang berpusat pada diri sendiri (self centred maxim).
Pada teori ini kerendahan hati sangat ditonjolkan.Bagaimana tidak, seorang yang dipuji pun, masih harus senantiasa merendahkan hatinya.Ia tidak lantas, meng iyakan apa-apa yang disampaikan oleh lawan tutur. Ia harus senantiasa mengelak dengan pujian yang disampaikan lawan tutur. Keuntungan bagi lawan tutur juga begitu perlu diperhatikan menurut teori ini.
2.1.5 Pranowo
Pranowo seorang Guru Besar pada Universitas Sanata Dharma Yogyakarta tidak memberikan teori mengenai kesantunan berbahasa,melainkan memberi pedoman bagaimana berbicara secara santun.Menurut Pranowo (2009) suatu tuturan akan terasa santun apabila memperhatikan hal-hal berikut:
a) Menjaga suasana perasaan lawan tutur sehingga dia berkenan bertutur dengan kita.
b) Mempertemukan perasaan kita (penutur) dengan perasaan lawan tutur sehingga isi tuturan sama-sama dikehendaki karena sama-sama diinginkan
c) Menjaga agar tuturan dapat diterima oleh lawan tutur karena dia sedang berkenan di hati.
d) Menjaga agar dalam tuturan terlihat ketidak mampuan penutur di hadapan lawan tutur.
e) Menjaga agar dalam tuturan selalu terlihat posisi lawan tutur selalu berada pada posisi yang lebih jauh.
f) Menjaga agar dalam tuturan selalu terlihat bahwa apa yang dikatakan kepada lawan tutur juga dirasakan oleh penutur.
Jadi, mengetahui perasaan yang tengah dirasakan oleh lawan tutur, amatlah penting sekali dalam teori ini. Karena jika ia merasa nyaman berbicara dengan kita, ia akan terus berbincang-bincang dengan kita. Dengan memperhatikan tema yang kita bahas, dan kesamaan keinginan dan tujuan pembicaraan.
Lalu,yang berkenaan dengan bahasa,khususnya diksi,Pranowo (2009) memberi saran agar tuturan terasa santun sebagai berikut:
a) Gunakan kata “tolong” untuk meminta bantuan pada orang lain.
b) Gunakan kata “maaf” untuk tuturan yang diperkirakan akan menyinggung perasaan orang lain.
c) Gunakan kata “terimakasih” sebagai penghormatan atas kebaikan orang lain.
d) Gunakan kata “berkenan” untuk meminta kesediaan orang lainmelakukan sesuatu.
e) Gunakan kata “beliau” untuk menyebut orang ketiga yang dihormati.
f) Gunakan kata “bapak/ibu”untuk menyapa orang lain.
Apa yang dikemukakan oleh Pranowo di atas bukanlah suatu teori,melainkan petunjuk untuk dapat berbahasa dengan santun.Sayangnya beliau tidak menyebutkan petunjuk itu untuk siapa terhadap siapa,sebab kesantunan juga terikat pada siapa penuturnya,siapa lawan tuturnya,apa objek atau topic tuturnya,dan bagaimana konteks situasi.Lebih jauh lihat subbab berikut.
Oleh karena itu, teori penjelasan menurut Pranowo ini mungkin saja cocok bagi sebagian orang, tapi mungkin bagi sebagian orang kurang cocok.Terkain konteks yang digunakan oleh penutur.
2.2 Skala Kesantunan
Yang dimaksud dengan skala kesantunan adalah peringkat kesantunan,mulai yang tidak santun sampai dengan yang paling santun.Berikut akan dibicarakan skala kesantunan dari Lakoff,Brown dan Levinson,dan Leech.
2.2.1 Robin Lakoff
Robin Lakoff (1973) menyatakan ada tiga ketentuan untuk terpenuhi kesantunannya ketidaktegasan (hesitancy scale); (c) skala kesekawanan (equality scale).Berikut penjelasan secara singkat.
a) Skala formalitas (formality scale) menyatakan bahwa agar peserta pertuturan (penutur dan lawan tutur) merasa nyaman dalam kegiatan bertutur,maka tuturan yang digunakan tidak boleh bernada memaksa dan tidak boleh terkesan angkuh.Di dalam pertuturan,masing-masing peserta pertuturan harus saling menjaga keformalitasan dan menjaga jarak yang sewajarnya dn sealamiah mungkin antara yang satu dengan yang lain.Simak tuturan (49) dan (50) berikut!
(49) Anda yang menyelesakan tugas ini nanti sore.
(50) Saya dapat menyelesaikan tugas itu kalau saya mau.
Tuturan (49) terasa memaksa lawan tutur.Untuk tidak terasa memaksa mungkin harus dilakukan dengan tutur (51) berikut:
(51) Dapatkah Anda menyelesaikan tugas ini nanti sore?
Lalu tuturan (50) terasa sombong didengar oleh lawan tutur.Untuk tidak terasa sombong barang kali harus dituturkan,misalnya sebagai tuturan (52) berikut:
(52) Dengan bantuan teman-teman barangkali saya dapat menyelesaikan tugas ini dalam waktu singkat.
b) Skala ketidaktegasan disebut juga skala pilihan (optionality scale) menunjukan agar penutur dan lawan tutur dapat saling merasa nyaman dalam bertutur,maka pilihan-pilihan dalam bertutur harus diberikan oleh kedua belah pihak.Kita tidak boleh bersikap terlalu tegang atau terlalu kaku dalam kegiatan bertutur karena akan dianggap tidak santun.
c) Skala kesekawan menunjukan bahwa agar dapat bersifat santun,kita harus selalu bersikap ramah dan harus selalu mempertahankan persahabatan antara penutur dan lawan tutur.Penutur harus selalu menganggap bahwa lawan tutur adalah sahasabat,begitu juga sebaliknya.Rasa pershbatan ini merupakan salah satu prasyarat untuk tercapainya kesantunan.
2.2.2 Brown dan Levinson
Brown dan Levinson (1987) menyodorkan tiga skala penentu tinggi rendahnya peringat kesantunan sebuah tuturan.Ketiga skala itu ditentukan secara kontekstual,social,dan kultur yang selengkapnya mencakup skala (1) jarak social; (2) status social penutur dan lawan tutur, dan (3) tindak tutur.
a) Skala peringkat social antara penutur dan lawan tutur banyak ditentukan oleh parameter perbedaan umur,jenis kelamin,dan latar belakang sosiokultural.Berkenaan dengan perbedaan umur antara penutur dan lawan tutur,biasanya diketahui bahwa semakin tua umur seseorang akan semakin tinggi peringkat kesantunan pertuturannya.Sebaiknya,orang yang masih muda cenderung memiliki tingkat kesantunan yang rendah di dalam bertutur.Orang yang berjenis kelamin wanita biasanya memiliki tingkat kesantunan lebih tinggi dibandingkan dengan berjenis kelamin pria.Hal ini disebabkan oleh kenyataan bahwa wanita cenderung lebih banyak berkenan dengan suatu yang bernilai estetis dalam hidupnya sehari-hari.Sebaiknya,pria jauh dari hal-hal itu karena,biasanya,ia lebih banyak dengan kerja dan penggunaan logika dalam kehidupannya sehari-hari.Latar belakang sosiokultural berperan penting dalam menentukan peringkat kesantunan bertuturnya.Orang yang memiliki jabatan tertentu di dalam masyarakat cenderung memiliki peringkat kesantunan lebih tinggi dibandingkan dengan kebanyakan orang; seperti petani, pedagang, buruh bangunan, pembantu rumah tangga, dan sebagainya. Begitu pula orang-orang kota cenderung memiliki peringkat kesantunan lebih tinggi dibandingkan dengan penduduk pedesaan.
b) Skala peringkat status social antara penutur dan lawan tutur didasarkan pada kedudukan asimetrik antara penutur dengan lawan tutur. Misalnya , di dalam kamar praktik dokter, seorang dokter memiliki peringkat kekuasaan lebih tinggi dibandingkan dengan seorang pasien. Begitu juga di dalam kelas, seorang guru memiliki peringkat kekuasaan lebih tinggi dibandingkan dengan seorang murid. Contoh lain, dijalan raya, seorang polisi lalu lintas dianggap memiliki peringkat kekuasaan lebih besar daripada seorang dokter yang pada saat itu melanggar peraturan lalu lintas. Sebaliknya, polisi yang sama akan jauh lebih rendah dari seorang dokter rumah sakit dalam hal skala peringkat kekuasaannya apabila sedang di ruang periksa rumah sakit.
c) Skala peringkat tindak tutur didasarkan atas kedudukan relative tindak tutur yang satu dengan yang lainnya. Sebagai contoh dalam situasi yang sangat khusus bertamu di rumah seorang wanita dengan melewati batas waktu bertamu yang wajar akan dikatakan sebagai tidak tahu sopan santun, bahkan dianggap melanggar norma kesantunan yang berlaku pada masyarakat itu. Namun, hal yang sama akan dianggap sangat wajar dalam situasi yang berbeda seperti pada saat terjadi kerusuhan atau kejadian yang mengancam keselamatan jiwa.
2.2.3 Geoffrey Leech
Leech menyodorkan lima buah skala pengukur kesantunan berbahasa yang didasarkan pada setiap maksim interpersonalnya.
Kelima skala itu adalah :
Kerugian bagi
lawan tutur
Keuntungan
Bagi penutur Kurang
Santun
Lebih
santun
a. Skala kerugian dan keuntungan (cost-benefit scale) merujuk pada besar kecilnya biaya dan keuntungan yang disebabkan oleh sebuah tindak tutur pada sebuah pertuturan. Kalau tuturan itu semakin merugikan penutur maka dianggap semakin santunlah tuturan itu. Namun, kalau dilihat dari lawan tutur, tuturan itu dianggap tidak santun. Sebaliknya kalau tuturan itu semakin merugikan lawan tutur, maka tuturan itu dianggap semakin santun. Skala ini digunakan untuk “menghitung biaya dan keuntungan untuk melakukan tindakan (seperti yang ditujukan oleh daya ilokusi tindak tutur) dalam kaitannya dengan penutur dan lawan tutur”. Skala ini menjelaskan mengapa, walaupun sama-sama bermodus imperative (dan intonasinya sama) tuturan-tuturan berikut semakin ke bawah semakin santun (diangkat dari Gurnawan 1994).
(1) Bersihkan toilet saya
(2) Kupaskan manga
(3) Ambilkan Koran di mejaku
(4) Beristirahatlah
(5) Dengarkan lagu kesukaanmu ini
(6) Minum kopinya
b. Skala pilihan (optionality scale) mengacu pada banyak atau sedikitnya pilihan (option) yang disampaikan penutur kepada lawan tutur di dalam kegiatan bertutur. Semakin banyak pilihan dan keleluasaan dalam pertuturan itu, maka dianggap semakin santunlah pertutuan itu. Sebalinya kalau tuturan itu sama sekali tidak memberikan kemungkinan bagi si penutur dan lawan tutur, maka tuturan itu dianggap tidak santun. Simak contoh berikut (yang diangkat dari Gurnawan 1994).
(1) Pindahkan kotak ini
(2) Kalau tidak lelah, pindahkan kotak ini
(3) Kalau tidak lelah dan ada waktu, pindahkan kotak ini
(4) Kalau tidak lelah dan ada waktu, pindahkan kotak ini; itu kalau kamu mau
(5) Kalau tidak lelah dan ada waktu, pindahkan kotak ini; itu kalau kamu mau dan tidak berkeberatan.
c. Skala ketidaklangsungan (indirectness scale) merujuk kepada peringkat langsung atau tidak langsungnya “maksud” sebuah tuturan. Semakin tuturan itu bersifat langsung akan dianggap semakin tidak santunlah tuturan langsung itu. Sebaliknya semakin tidak langsung maksud sebuah tuturan akan dianggap semakin santunlah tuturan itu. Simak contoh berikut (yang diangkat dari gunawan 1994, dan yang merupakan adaptasi dari Leech 1983:108)
(1) Jelaskan persoalannya.
(2) Saya ingin Saudara menjelaskan persoalannya.
(3) Maukah Saudara menjelaskan persoalannya?
(4) Berkeberatankah saudara menjelaskan persoalanya?
d. Skala keotoritasan (anthory scale) merujuk pada hubungan status sosial antara penutur dan lawan tutur yang terlibat dalam suatu penuturan. Semakin jauh jarak peringkat sosial antara penutur lawan tutur maka tuturan yang digunakan akan cenderung menjadi semakin santun. Sebaliknya, semkin dekat jarak peringkat status sosial di antara keduanya maka akan cenderung semakin berkurang peringkat kesantunan tuturan yang digunakan dalam penuturan itu.
e. Skala jarak sosial (social distance) merujuk kepada peringkat hubungan sosial antar penutur dan lawan tutur yang terlibat dalam sebuah penuturan. Ada kecerundungan semakin dekat jarak hubungan sosial diantara keduanya (penutur dan lawan tutur) akan menjadi kurang santunlah penuturan itu. Sebaliknya semakin jauh jarak peringkat hubungan sosial di antara penutur dan lawan tutur, maka akan semakin santunlah tuturan yang digunakan dalam penuturan itu.Dengan kata lain, tingkat keakraban hubungan antara penutur dan lawan tutur sangat menentukan peringkat kesantunan tuturan yang digunakan.
Coba Anda simak hubungan keakraban antara A (penutur) dan B
(lawan tutur) pada kedua pertuturan berikut
(53) Tempat dialog di kantor.
A : (saya agak pusing) Ada decolgen?
B : Ada,di laci meja saya.
(54) Tempat dialog di kantor.
A : (saya agak pusing) Ada decolgen?
B : Ada,di apotek.
Skala-skala kesantunan yang dikemukakan oleh tokoh berbeda-beda.Semuanya bisa kita jadikan pijakan, karena kesemuanya amatlah baik menurut penulis.Tinggal kita memilah saja mana yang paling cocok dengan keadaan kita sekarang.Bisa saja antara bawahan, atasan, guru, murid, dosen, dan mahasiswa berbeda skala kesantunannya.Oleh karenanya, sekali lagi kita sesuaikan dengan konteks yang sedang dijalani.
2.3 Penyebab Ketidaksantunan
Bab empat ini secara luas telah memamparkan teori tentang bahasa yang santun atau pertuturan yang santun beserta dengan contoh-contohnya.Untuk dapat memahmi dan menguasai berbahasa secara santun,Pranowo (2009) menyebutkan adanyabeberapa factor atau hal yang menyebabkan sebuah pertuturan itu menjadi tidak santun.Penyebab ketidaksantunan itu antara lain adalah (a) mengkritik secara langsung dengan menggunakan kata-kata kasar; (b) dorongan emosi penutur; (c) sengaja menuduh lawan tutur; (d) Protektif terhadap pendapat sendiri; (e) sengaja memojokkan lawan tutur.Berikut dijelaskan secara singkat disertai dengan contoh:
a. Kritik secara langsung dengan kata-kata kasar
Kritik kepada lawan tutur secara langsung dan dengan menggunakan kata-kata kasar akan menyebabkan sebuah pertuturan menjadi tidak santun atau jauh dari peringkat kesantunan. Perhatikan contoh (55) dan (56) berikut yang diangkat dari Pranowo (2009)
(55) Pidato-pidato pimpinan Dewan selama ini jelas menunjukan bahwa caliber pimpinan memang payah.
(56) Mantan Presiden…menilai kegagalan tersebut (proyek Padi Super Toy HL2) karena SBY penakut. Itu kan karena presidennya takut.
Tuturan (55) dan (56) itu menjadi tidak santun karena pertama tuturannya bersifat langsung.Dari teori pada subbab 4.1 dan 4.2 kita sudah tahu bahwa tuturan yang langsung menjadi lebih tidak santun daripada tuturan yang dituturkan secara tidak langsung (misalnya dengan kalimat interogatif).Kedua karena digunakannya kata-kata kasar.Pada pertuturan (55) kata payah dalam frase “caliber pimpinan memang payah”. Pada pertuturan (56) kata penakut dalam frase “ SBY penakut” dan “presidennya takut”.
Tuturan (55) dan (56) di atas jelas menyinggung perasaan lawan tutur; dan ini berarti melanggar muka negative lawan tutur, yang seharusnya dijaga. Mungkin akan sedikit lebih santun kalau kata payah diganti dengan ungkapan “belum bekerja maksimal” dan kata penakut diganti dengan ungkapan “kurang berani” atau “jauh dari berani”.
b. Dorongan rasa emosi penutur
Kadangkala ketika bertutur dorongan rasa emosi penutur begitu berlebihan sehingga ada kesan bahwa penutur marah kepada lawan tuturnya.Simak tuturan (57) dan (58) di bawah ini.
(57) Tidak ada apa-apa, KPK kan tukang geledah
(58) KPK tidak adil. Kalau dirasa perlu ya jangan hanya DPR yang digeledah; Pemda, Dinas dan Departemen yang bersangkutan juga digeledah.
Kedua tuturan di atas terkesan dilakukan secara emosional dan kemarahan.Pada tuturan (57) terkesan bahwa bagi penutur KPK adalah tukang geledah. Sedangkan tuturan (58) terkesan bahwa penutur tidak rela jika kantor anak buahnya digeledah oleh KPK.
c. Protektif terhadap pendapat
Seringkali ketika bertutur seorang penutur bersifat protektif terhadap pendapatnya. Hal ini dilakukan agar tuturan lawan tutur tidak dipercayai oleh pihak lain. Simak contoh (59) dan (60) berikut!
(59) …..tidak perlu islah. Sudah jelas antara yang jahat dan yang benar. Ah orang ini tidak punya legitimasi. Biar saja, mau bikin 100 Sk ya silahkan.
(60) Silahkan kalau mau banding. Kita nggak masalah. Sebab dari awal Tomy tidak melakukan perbuatan melawan hukum.
Kedua tuturan di atas tidak santun karena penutur menyatakan dialah yang benar; dia memproteksi kebenaran tuturannya.Lalu, menyatakan pendapat yang dilakukan lawan tuturnya salah.
d. Sengaja menuduh lawan tutur
Acapkali penutur menyampaikan tuduhan dalam tuturannya.Kalau ini dilakukan tentu tuturannya itu menjadi tidak santun. Simak contoh (61), (62), dan (63) berikut!
(61) …..kawasan hutan lindung dan konservasi biasanya dialihfungsikan menjadi areal perkebunan, pertambangan, atau hanya diambil kayunya lalu diterlantarkan.
(62) Pemerintah ngawur. Mbok ya tahu kondisi orang-orang seperti saya. Dengan solar Rp 4.500,- per liter dan Rp 2.000,- penumpang sudah sepi karena memilih naik motor.
(63) ….KPU selalu menyatakan kesiapannya dalam melaksanakan tugas-tugasnya, baik dalam mengelola tahapan pemilu maupun pengaturan calon perorangan. Kenyataannya janji KPK ini tidak pernah terbukti.
Ketiga tuturan di atas tidak santun karena penutur menuduh lawan tutur atas dasar kecurigaan belaka terhadap lawan tutur.Simak saja tuturan “hanya diambil kayunya lalu diterlantarkan”. “pemerintah ngawur. Mbok ya tahu kondisi orang-orang seperti saya”. “kenyataannya janji KPU itu tidak pernah dilaksanakan”. Jadi, apa yang dituturkan dan juga cara menuturkan tidak sesuai dengan prinsip kesantunan yang dikemukakan Leech.
e. Sengaja memojokkan mitra tutur
Adakalnya pertuturan menjadi tidak santun karena penutur dengan sengaja ingin memojokkan lawan tutur dan membuat lawan tutur tidak berdaya. Simak pertuturan (64) dan (65) berikut!
(64) Ini merupakan kegagalan dari pemerintahan SBY-JK. Dulu, soal kenaikan harga BBm tahun 2005 berjanji tidak akan menaikkan harga BBM. Berarti dia mengingkari janjinya sendiri. Presiden sudah melakukan kebohongan politik dan layak di-impeach.
(65) Mereka sudah buta mata hati nuraninya. Apa mereka tidak sadar kalau BBM naik, harga barang-barang lainnya bakal membuhung. Akibatnya, rakyat semakin tercekik.
Kedua tuturan diatas terkesan sangat keras karena adanya keinginan untuk memojokkan lawan tutur.Tuturan tersebut menjadi tidak santun dengan adanya tuturan, “Ini merupakan kegagalan dari pemerintah SBY-JK”, “Dia mengingkari janjinya sendiri”. “Presiden sudah melakukan kebohongan politik dan layak di-impeach”.
Dari kelima hal di atas yang menunjukan penggunaan bahasa secara tidak santun. Pranowo (2009) menyimpulkan :
Pertama, ada orang yang memang tidak tahu akan kaidah kesantunan berbahasa. Kalau memang ini penyebabnya, maka kepadanya harus diberi tahu akan adanya kaidah-kaidah kesantunan berbahasa itu.
Kedua, ada orang yang sulit meninggalkan kebiasaan lama yang diperoleh dari hasil budaya dan bahasa pertamanya, seperti berbicara dengan volume suara keras atau agak keras.Kalau ini yang menjadi masalahnya dia harus berusaha mencoba menyesuaikan denga kebiasaan dalam berbahasa Indonesia.
Ketiga, Karena sifat bawaan dan karakter yang suka berbicara keras dan tidak santun.Orang yang seperti ini sebaiknya tidak diberi posisi dalam peran public (seperti ketua RT, anggota DPR dan sebagainya).Mengapa? Dikhawatirkan dia akan mempengaruhi generasi muda dengan ketidaksantunannya itu. Malah juga akan menimbulkan konflik sosial dengan orang yang biasa berbicara secara santun. Kemungkinan lain yang bisa terjadi adalah timbulnya rasa kebencian terhadap mereka yang berbicara secara tidak santun itu.
2.4 Kesopanan
Pada subbab di atas telah dibicarakan pelbagai teori mengenai tuturan yang santun dengan sejumlah contoh tuturan yang santun; juga tentang skala kesantunan; dan pembahasan contoh tuturan yang tidak santun. Dari subbab itu juga dapat kita pahami bahwa setiap pertuturan melibatkan komponen (1) partisipan yang terdiri dari penutur dan lawan tutur; (2) pesan, yaitu isi tuturan yang disampaikan; (3) konteks situasi, yaitu keadaan dan suasana tempat tuturan terjadi; dan (4) bahasa atau ragam bahasa yang digunakan.
Sebuah pertuturan dianggap benar kalau tuturan itu mematuhi keempat maksim kerjasama (kuantitas, kualitas, relevansi dan cara) yang dicanangkan oleh Gries (lihat kembali subbab 3.5.). lalu, tuturan itu dianggap santun kalau mematuhi keenam maksim kesopanan (kebijaksanaan, penerimaan, kemurahan, kerendahan hati, kesetujuan dan kesimpatian) yang ditawarkan Leech (lihat kembali subbab 4.1.4). apakah suatu tuturan yang sudah benar dan santun, juga berarti sudah memenuhi syarat kesopanan? Belum tentu.Mengapa? Karena kalau tuturan yang benar berkaitan dengan masalah isi tuturan, kalau tuturan yang santun berkaitan dengan “bahasa” yang digunakan, yaitu bahsa dengan ciri-ciri kesantunan; maka tuturan yang sopan berkaitan dengan topic tuturan, konteks situasi pertuturan,dan jarak hubungan sosial penutur dan lawan tutur.
Pada bagian awal bab empat ada disebutkan adanya dua orang (penutur dan lawan tutur yang baru saja berkenalan), pagi hari di sebuah lobi hotel di sebuah kota. Penutur bertanya kepada lawan tutur dengan tuturan “tinggalnya di kamar berapa?” pertanyaan dalam tuturan itu adalah pertanyaan yang wajar. Pertanyaan itu juga cukup sopan kalau penutur dan lawan tutur berjenis kelamin sama (pria dan pria atau wanita dan wanita). Namun, pertanyaan atau tuturan itu terasa tidak sopan kalau penutur dan lawan tutur berjenis kelamin berbeda (missal penuturnya pria dan lawan tuturnya wanita atau sebaliknya; penutur wanita dan lawan tuturnya pria).Mungkin masih dianggap wajar, meski kurang ajar.Kalau penutur pria dan lawan tutur wanita; sebaliknya kalau penutur wanita dan lawan tutur pria, terasa agak aneh.Ingat, keduanya baru saja berkenalan, jadi jarak hubungan sosial keduanya masih sangat jauh.Berbeda kalau keduanya sudah merupakan teman sehari-hari yang jarak hubungan sosialnya sudah dekat.Maka kalimat Tanya yang dituturkan itu sudah cukup sopan.
Bagaimana kalau kalimat Tanya yang diujarkan penutur itu sudah berbentuk tuturan yang santun, yang sudah mematuhi keenam maksim kesopanan Leech, misalnya
(66) Bolehkah saya tahu, Anda tinggal di kamar berapa?
(67) Kalau Anda tidak berkeberatan saya ingin tahu anda tinggal di kamar berapa?
Kiranya tetap tidak sopan kalau jarak hubungan sosial mereka belum dekat dan keduanya berjenis kelamin yang berbeda. Terutama lebih tidak sopan lagi kalau penuturnya wanita dan lawan tuturnya pria. Bila hal ini terjadi, bisa muncul lagi prasangka wanita macam apa si penutur itu.
Bagaimana kalau topik yang ditanyakan oleh penutur pria kepada lawan tutur wanita bukan masalah nomor kamar tempat menginap si lawan tutur, melainkan masalah lain seperti pekerjaan, profesi, jabatan atau tugas, dan sebagainya dalam bentuk tuturan yang santun, seperti tuturan (68) dan (69) berikut !
(68) Mbak, kalau saya boleh tahu, apa tuga mbak datang di kota ini?
(69) Kalau mbak tidak berkeberatan, saya ingin tahu apa tujuan mbak datang di kota ini?
Rasanya permasalahan tersebut tidak bermasalah, cukup sopan dan cukup wajar.Sekarang coba simak pertuturan (70) dan (71) yang berlangsung di ruang praktik dokter antara A, seorang dokter spesialis dengan lawan tutur B, seorang pasien wanita. Apakah kedua perututuran itu sopan dan santun atau tidak (yang diangkat dari Pramujiono; 2008)
(70) A : Suami kuat tiap malam?
B : yah… sebenarnya nggak, he..he..he..
A : ……Usia berapa, Bu suaminya?
B : Empat tiga.
A : empat tiga masih bisa melayani tiap malam.
(71) A : Setelah beberapa menit atau baru senggama….langsung kepingin kencing?
B : beberapa menit….
A : Setelah beberapa menit?
B : Ee..Ee..bebrapa menit, kira-kiranya ya sampai sepuluh menit gitu, Dok!
Pertuturan (70) dan (71) berlangsung di ruang praktik dokter yang hadirnya A (dokter) dan B (pasien wanita); lalu meskipun topiknya tentang seks yang kalau di luar ruang praktik dokter dianggap tabu; tetapi tampaknya kedua pertuturan itu tidak bermasalah cukup wajar dan cukup sopan. Namun, bila diukur dengan teori kesantunan yang sudah kita bicarakan, kalimat-kalimat tuturnya memang kurang santun.
Dari uraian di atas dapat disimpulkan bahwa masalah sopan tidaknya sebuah pertuturan, meskipun kalimat-kalimat yang digunakan santun, tergantung pada tiga hal pokok yaitu (1) identitas sosial budaya para partisipan (penutur dan lawan tutur); (2) topic pertuturan; dan (3) konteks waktu, situasi, dan tempat pertuturan berlangsung. Ketiga hal itu, selain menentukan pilihan bahasa dan ragam bahasa tertentu akan juga menentukan “ukuran” peringkat kesantunan yang berbeda.
Identitas sosial budaya partisipan, yaitu penutur dan lawan tutur di dalam satu pertuturan harus dilihat dari pihak penutur terhadap lawan tutur. Identitas sosial budaya ini dapat dilihat dari segi usia dimana penutur penutur lebih tua dari lawan tutur atau penutur lebih muda dari lawan tutur atau penutur dan lawan tutur memiliki usia yang sama atau hamper sama. Faktor usia penutur dan lawan tutur ini, misalnya akan menyebabkan dipilihnya “kata sapaan” tertentu yang dianggap tepat, sopa, dan santun. Jika salah memilih kata sapaan untuk lawan tutur maka tuturan itu bisa-bisa terjadi tidak santun.Identitas sosial budaya penutur dan lawan tutur bisa jadi dilihat dari tingkat perekonomian, pendidikan, kekerabatan, jabatan, atau kedudukan dalam organisasi kemasyarakatan. Seorang profesi dosen adalah dosen kalau lawan tuturnya mahasiswa; tetapi dia adalah penumpang kalau lawan tuturnya adlah kondektur di atas bus kota. Lain lagi, dia adalah pembeli kalau lawan tuturnya adalah pedagang di pasar.Begitupun dia Cuma warga masyarakat kalau lawan tuturnya adalah ketua RT tempat dia bermukim. Peringkat kesopanan dan kesantunannya tentu berbeda bila lawan tuturnya mahasiswa di kampus, dengan kalau lawan tuturnya kondektur bus kota, atau lawan tuturnya pedangang buah di pasar.
Topik tuturan sebagai materi yang dipertuturkan bisa mengenai isu apa saja yang berkembang di masyarakat. Misalnya, tentang pekerjaan, tentang kesehatan, tentang anak, tentang agama, tentang seks, dan hal-hal yang berbau porno. Pokoknya tentang apa saja yang ada dalam masyarakat. Namun, seperti sudah dibicarakan sebelumnya ada topic yang layak dituturkan; tetapi ada juga topic yang idak layak dituturkan. Misalnya soal usia, banyak wanita (yang belum nenek-nenek dan bukan anak-anak lagi) yang sangat tidak berkenan untuk ditanyakan kepadanya, meskipun dilakukan dengan kalimat yang santun.
BAB III
PENUTUP
3.1 Kesimpulan
Teori kesantunan yang dikemukakan oleh masing-masing tokoh berbeda-beda.Lakoff mengatakan bahwasannya tutur kita dianggap santun apabila kita memenuhi 3 kaidah, yakni formalitas, ketidaktegasan, dan kesekawanan. Sedangkan menurut Bruce Fraser kesantunan bukan atas dasar kaidah-kaidah, melainkan atas dasar strategi, menurut Rown dan Levinson, teori kesantunan itu berkisar atas nosi muka (face), Geofrey Leechberbeda lagi yakniteori kesantunan berdasarkan prinsip kesantunan yang dijabarkan menjadi maksim, sedangkan Pranowo tidak memberikan teori kesantunan berbahasa, melainkan memberi pedoman bagaimana berbicara secara santun. Sebuah pertuturan dianggap benar kalau tuturan itu mematuhi keempat maksim kerjasama (kuantitas, kualitas, relevansi dan cara).
3.2 Saran
Teori-teori yang dikemukakan boleh berbeda-beda, tinggal dikembalikan saja pada kita apakah kita akan mengikuti teori itu jika menurut kita itu relevan dalam kehidupan sehari-hari. Saran kami, kembalikan pada diri kita, bagaimana sikap orang lain terhadap kita, maka itulah tingkat kesantunan kita terhadap orang lain. Karena sebenarnya kesantuna ini sudah diatur dalam agama tinggal kita mau melaksanakan apa-apa yang ada dalam aturan agama, insyaalloh kita akan melakukan hal-hal yang disenangi oleh orang lain, salah satunya santun dalam bertutur.
Senin, 03 Februari 2014
Tindak Tutur dan Permasalahannya
BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Bahasa adalah alat komunikasi yang dipergunakan oleh semua orang dalam kehidupan sehari-hari. Tanpa menggunakan bahasa seseorang tidak akan dapat bersosial, bahkan mungkin juga tidak akan dapat memenuhi kebutuhan hidupnya.
Seseorang pada umumnya tidak pandai memilih petuturan yang baik atau bahkan tidak memahami makna dan jenis petuturan yang seharusnya mereka pergunakan, baik di lingkungan instansi maupun di lingkungan masyarakat pada umumnya. Hal ini dapat terjadi karena beberapa faktor, diantaranya faktor pengetahuan seseorang, faktor lingkungan, faktor pergaulan, faktor keadaan daerah, dan faktor intern seseorang. Sebagai salah satu contoh petuturan yang disampaikan seseorang yang kesehariannya di Terminal sangatlah jauh berbeda dengan petuturan yang disampaikan oleh seorang dosen yang kesehariannya menyampaikan kajian-kajian ilmiah kepada mahasiswanya di lingkungan kampus, begitu pun tidak sedikit orang yang masih banyak kesalahan dalam menggunakan petuturan. Padahal sebetulnya di mana saja kita berada atau kepada siapa kita menyampaikan tuturan, tentu harus sesuai dengan etika dan jenis petuturan yang benar. Berangkat dari hal itulah, sehingga makalah ini memaparkan tentang petuturan dan masalahnya.
1.2 Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang diatas, maka dapat dirumuskan masalah sebagai berikut :
1. Apa saja jenis tindak tutur?
2. Apa pengertian dari deiksis?
3. Apa pengertian dari praanggapan?
4. Apa pengertian dari implikatur?
5. Bagaimana prinsip kerja sama dalam pertuturan?
6. Apa saja sebab dari pertuturan yang gagal?
1.3 Tujuan Penulisan
1. Mengetahui jenis-jenis tindak tutur.
2. Mengetahui pengertian deiksis.
3. Mengetahui pengertian praanggapan.
4. Mengetahui pengertian implikatur.
5. Mengetahui prinsip kerja sama dalam pertuturan.
6. Mengetahui sebab yang mengakibatkan pertuturan menjadi gagal.
BAB II
PEMBAHASAN
2.1 Tindak Tutur
Istilah dan teori tentang tindak tutur mula-mula diperkenalkan oleh J.L. Austin, seorang guru besar di Universitas Harvard pada tahun 1956, kemudian teori yang berasal dari materi kuliah itu dibukukan oleh J.O. Urmson (1962) dengan judul How to do Thing with Word.
Kalimat atau tuturan yang selain mengatakan sesuatu juga menyatakan adanya perbuatan atau tindakan dalam kajian pragmatik disebut kalimat performatif atau tuturan performatif. Sedangkan tuturan yang hanya mengatakan sesuatu saja disebut kalimat atau tuturan konstatif. Menurut Austin kalimat atau tuturan performatif tidak mengandung nilai salah atau benar. Berbeda dengan tuturan konstatif yang bisa dicari salah benarnya. Dari sejumlah literatur pragmatik dapat ditarik pengertian bahwa tindak tutur adalah tuturan dari seseorang yang bersifat psikologis dan yang dilihat dari makna tindakan dalam tuturannya itu. Serangkaian tindak tutur akan membentuk suatu peristiwa tutur (speech event). Lalu, tindak tutur dan peristiwa tutur ini menjadi dua gejala yang terdapat pada satu proses, yakni proses komunikasi.
Tindak tutur yang dilakukan dalam bentuk kalimat performatif oleh Austin (1962) dirumuskan sebagai tiga buah tindakan yang berbeda, yaitu (1) tindak tutur lokusi, (2) tindak tutur ilokusi, dan (3) tindak tutur perlokusi.
1. Tindak Tutur Lokusi
Tindak tutur lokusi adalah tindak tutur untuk menyatakan sesuatu sebagaimana adanya atau The Act of Saying Something, tindakan untuk mengatakan sesuatu. (Chaer : 2010).
Seseorang yang membutuhkan informasi dan kebetulan tuturan informasi itu mereka dengar berarti informasi itu secara otomatis telah didapatkan dari tuturan orang lain.
Contoh :
A. Jalan Sisinga adalah jalan yang menghubungkan jalur Singaparna dan Ciawi.
B. Bencana terbesar di Tasikmalaya pada tahun 2010 adalah Gempa bumi.
Kalimat A dan B dituturkan oleh seorang penutur semata-mata hanya untuk memberi informasi sesuatu belaka, tanpa tendensi untuk melakukan sesuatu. Bila disimak baik-baik tampaknya tindak tutur lokusi ini hanya memberi makna secara harfiah, seperti yang dinyatakan dalam kalimatnya.
2. Tindak Tutur Ilokusi
Tindak tutur ilokusi selain menyatakan sesuatu juga menyatakan tindakan melakukan sesuatu, oleh karena itu disebut sebagai The Act of Doing Something (tindakan melakukan sesuatu). (Chaer : 2010)
Dalam hal ini seseorang ketika menyampaikan petuturan bukan hanya menyampaikan informasi saja namun sebagian petuturan itu diharapkan melahirkan respon dalam bentuk prilaku.
Contoh :
A. Adzan Magrib telah berkumandang.
B. Ujian Nasional sudah dekat.
Kalimat A bila dituturkan oleh seorang ibu kepada anaknya selain memberi informasi tentang waktu, juga berisi tindakan yaitu mengingatkan untuk segera menunaikan Sholat Magrib. Oleh karena itu anaknya akan menjawab : “Ya, bu. Sebentar saya wudlu dulu.” Sedangkan untuk kalimat B bila dituturkan oleh seorang guru kepada murid-muridnya, selain memberi informasi mengenai ujian nasional yang sudah dekat juga berisi tindakan yaitu mengingatkan agar murid-murid harus giat belajar agar lulus dalam ujian nasional.
Jadi, bila disimak baik-baik tindak tutur ilokusi ini selain memang memberi informasi tentang sesuatu, juga lebih terkandung maksud dari tuturan yang diucapkan itu.
3. Tindak Tutur Perlokusi
Tindak tutur perlokusi adalah tindak tutur yang mempunyai pengaruh atau efek terhadap lawan tutur atau orang yang mendengar tuturan itu. Maka tindak tutur perlokusi sering disebut sebagai The Act of Affective Someone (tindak yang memberi efek pada orang lain). (Chaer : 2010)
Dalam tindak tutur perlokusi ini petutur beharap ada perhatian dari lawan tutur terhadap apa yang disampaikannya. Hal ini sering dialami oleh setiap orang dengan tujuan dan kepentingan yang berbeda, misalnya tujuan meminta maaf, memohon perhatian, memahami keadaan seseorang dan sebagainya.
Contoh :
A. Air wudlu di Masjid sudah mengalir.
B. Jum’at lalu saya tidak mengikuti perkuliahan karena mengikuti Work Shop.
Tuturan kalimat A tidak hanya memberi informasi bahwa air wudlu di Masjid sudah mengalir, tetapi juga bila dituturkan oleh seseorang teman yang sudah menunaikan sholat kepada temannya yang telah lama menuggunya, maka Dia akan memahami keterlambatan temannya karena sebelumnya diketahui bahwa air wudlu di Masjid tidak mengalir. Kalimat B selain memberi informasi bahwa si penutur pada minggu lalu ada kegaitan work shop, juga bila dituturkan pada lawan tutur bermaksud meminta maaf. Lalu, efek yang diharapkan adalah agar si lawan tutur memberi maaf kepada si penutur.
Searle (1975) membagi tindak tutur itu atas lima kategori, yaitu :
a. Representatif (disebut juga asertif), yaitu tindak tutur yang mengikat penuturnya kepada kebenaran atas apa yang dikatakannya.
Ketika penutur bertugas menuturkan informasi maka informasi itu harus dituturkan secara akurat. Oleh karena itu, petutur harus melakukan observasi terhadap kebenaran informasi yang akan dituturkannya. Misalnya mengatakan, melaporkan dan menyebutkan.
b. Direktif yaitu tindak tutur yang dilakukan penuturnya dengan maksud agar lawan tutur melakukan tindakan yang disebutkan di dalam tuturan itu.
Seorang penutur menyampaikan informasi atau gagasan yang menarik dan logis, sehingga lawan tutur memahami, merasa tertarik bahkan bermaksud untuk melakukan apa yang yang telah disampaikan oleh petututur. Misalnya menyuruh, memohon, menuntut, menyarankan, dan menantang.
c. Ekspresif yaitu tindak tutur yang dilakukan dengan maksud agar tuturannya diartikan sebagai evaluasi mengenai hal yang disebutkan di dalam tuturan itu.
Sebagai salah satu bentuk petuturan seseorang dapat memberikan tanggapan berupa petuturan terhadap apa yang telah dilakukan oleh lawan tutur. Ketika suatu saat lawan tutur telah membantu kita, maka petutur munuturkan ucapan terima kasih. Misalnya memuji, mengucapkan terima kasih, mengkritik, dan menyelak.
d. Komisif yaitu tindak tutur yang mengikat penuturnya untuk melaksanakan apa yang disebutkan di dalam tuturannya.
Penutur seolah menyampaikan tuntutan kepada lawan tuturannya agar melakukan apa yang diperintahkan oleh petutur. Dalam pelaksanaannya yang tampak ada unsur ketegasan sehingga lawan petutur lebih cenderung melaksanakannya. Misalnya berjanji, bersumpah, dan mengancam.
e. Deklarasi yaitu tindak tutur yang dilakukan si penutur dengan maksud untuk menciptakan hal (status, keadaan, dan sebagainya) yang baru.
Dalam hal ini penutur memiliki pertimbangan yang kuat sehingga harus menuturkan sebuah ketegasan atas pertimbangan tertentu, bahkan ketegasan tersebut dituturkan setelah melalui proses yang memerlukan waktu sehingga membuahkan hasil berupa petuturan tegas yang dapat dipertanggungjawabkan.Misalnya memutuskan, membatalkan, melarang, mengizinkan, dan memberi maaf.
Dari teori tindak tutur yang ada dapat disimpulkan bahwa satu bentuk ujaran dapat mempunyai lebih dari satu fungsi. Sebaliknya, satu fungsi dapat dinyatakan dalam berbagai bentuk ujaran.
Tindak tutur dapat dibedakan menjadi tindak tutur langsung dan tindak tutur tidak langsung. Tindak tutur langsung adalah tindak tutur yang langsung menyatakan sesuatu, seperti dalam tindak tutur lokusi. Sedangkan tindak tutur tidak langsung adalah tindak tutur yang tidak langsung menyatakan apa adanya, tetapi menggunakan bentuk tuturan lain, sama saja dengan tindak tutur ilokusi.
2.2 Deiksis
Deiksis berasal dari kata yunani kuno yang berarti “menunjukan atau menunjuk”. Sebuah dapat dikatakan deiksis apabila rujukannya berpindah – pindah (berganti – ganti), dilihat dari siapa yang menjadi pembicara, waktu dan tempat dituturkannya kata tersebut.
Fenomena deiksis merupakan cara yang paling jelas untuk menggambarkan hubungan antara bahasa dan konteks dalam struktur bahasa itu sendiri. Seperti kata saya, sini, sekarang dalam kata-kata tersebut tidak memiliki referen yang tetap. Referen untuk kata-kata tersebut dapat diketahui maknanya apabila diketahui pula siapa,dimana dan kapan kata tersebut diucapkan. Jadi yang menjadi orientasi deiksis adalah penutur. Contoh dalam kalimat sebagai berikut : mohon maaf jika besok saya tidak dapat hadir.
Kata saya pada contoh kalimat diatas adalah deiksis karena lawan tutur tidak tahu siapa saya tersebut? Untuk menghindari deiksis maka kata saya lebih tepat kalau disebutkan namanya terutama untuk bahasa tulis, jika dalam bahasa lisan (tuturan) kata tersebut tidak deiksis karena yang jadi lawan tuturnya sudah saling mengenal. Sama hal nya dengan kata besok pada contoh tersebut.
Agar komunikasi antara penutur dan lawan tutur tidak terganggu, dapat berjalan dengan lancar maka seharusnya kata-kata yang deiksis tidak ada.
2.3 Praanggapan
Praanggapan atau presuposisi adalah “pengetahuan” bersama yang dimiliki oleh penutur dan lawan tutur yang melatarbelakangi suatu tindak tutur. Praanggapan mengacu pada makna tersirat yang diartikan “mendahului’ makna kalimat yang diucapkan atau tertulis .Contohnya pertuturan antara A dan B sebagai berikut :
A : saudara perempuanmu yang sulung sudah menikah belum?
B : sudah, bulan September.
Dalam pertuturan diatas terdapat pengetahuan bersama yang dimiliki A dan B bahwa B memiliki saudara lebih dari satu, karena ada tuturan yang sulung berarti ada yang bungsu. Tanpa pengetahuan itu, tentu A tidak dapat mengajukan pertanyaan seperti itu, dan B tidak dapat menjawab seperti itu juga.
Tambahan tuturan “bulan september” bersifat tidak wajib karena yang diminta dalam pertanyaannya hanyalah “sudah menikah belum”, namun tambahan itu juga penting.
2.4 Implikatur
Implikatur percakapan adalah adanya keterkaitan antara ujaran dari seorang penutur dan lawan tuturnya. Keterkaitan tersebut mengacu pada jenis-jenis kesepakatan bersama antara penutur dan lawan tuturnya, kesepakatan dalam pemahaman bahwa yang dibicarakan harus saling berhubungan.
Contoh :
A : kamu masih disini
B : bus ke pangandaran baru saja lewat.
Secara tersirat dapat dipahami keterkaitan antara pertanyaan A terhadap B, karena kalau A dan B tidak saling keterkaitan tidak mungkin muncul pertanyaan tersebut. Dapat di simpulkan implikatur percakapan itu dapat dikatakan sejenis makna yang terkandung dalam cakapan yang dipahami oleh masing-masing partisipan.
2.5 Prinsip Kerja Sama Dalam Pertuturan
Pertuturan akan berlangsung dengan baik apabila penutur dan lawan tutur dalam pertuturan itu menaati prinsip-prinsip kerja sama seperti yang dikemukakan oleh Gries (1975: 45-47). Kerja sama tersebut dapat berupa kontribusi pengetahuan dari peserta pertuturan. Dalam kajian pragmatik prinsip itu disebut maksim, yakni berupa pertanyaan ringkas yang mengandung ajaran atau kebenaran. Setiap penutur harus menaati empat maksim kerja sama, yaitu makim kuantitas (maxim of quantity), maksim kualitas (maxim of quality), maksim relevansi (maxim of relevance), dan maksim cara (maxim of manner).
a. Maksim kuantitas menghendaki setiap peserta tutur hanya memberikan kontribusi yang secukupnya saja atau sebanyak yang dibutuhkan oleh lawannya, jangan berlebihan menggunakan kalimat penjelas dari kalimat utama. Misalnya : Ayam saya yang betina telah bertelur. Tuturan tersebut tidak menaati maksim kuantitas karena adanya kata yang betina yang tidak perlu, sudah tentu semua ayam yang bertelur adalah ayam betina. Untuk menaati maksim kuantitas cukup dengan informasi secukupnya saja, yaitu : Ayam saya telah bertelur.Atau pada kalimat : Anak saya yang perempuan, sekarang sedang mengandung 4 bulan. Penggunaan kata yang perempuan tidak menaati maksim kuantitas, karena sudah tentu yang mengandung itu adalah perempuan.
b. Maksim kualitas, maksim ini menghendaki agar peserta pertuturan mengatakan hal yang sebenarnya. Peserta pertuturan mengatakan hal sebenarnya dengan fakta yang ada, tidak mengarang, terkecuali jika memang tidak mengetahui.
Contoh 1:
A : Asti, Bandung itu dikenal sebagai kota apa?
B : Kota pahlawan, bu.
A : Bagus, berarti Surabaya itu kota Lautan Api ya?
Pertuturan diatas tidak menaati maksim kualitas dengan memberikan kontribusi bahwa Kota Pahlawan adalah julukan untuk kota Bandung. Kontribusi A yang melanggar maksim kualitas ini diberikan sebagai reaksi terhadap jawaban B yang salah.Kata bagus yang diucapkan dengan nada mengejek menyadari B terhadap kesalahannya.
Contoh 2 :
A : Afrizal, Semarang itu ibu kota mana?
B : Jawa Tengah, bu.
Pertuturan Contoh 2 telah mentaati maksim kualitas, karena benar nyatanya yaitu Semarang adalah ibu kota Jawa Tengah.
c. Maksim relevansi, maksim ini mengharuskan setiap peserta memberikan kontribusi yang relevan dengan masalah atau tajuk pertuturan. Dengan pengetahuan yang dimiliki oleh penerima tuturan, maka adanya pesan tersirat dari apa yang dituturkan oleh penutur.
Contoh 1 :
A : Bu, ada telpon untuk ibu!
B : Ibu sedang di kamar mandi, Nak.
Sepintas jawaban B pada pertuturan diatas tidak berhubungan. Namun, bila disimak baik-baik hubungan itu ada. Jawaban B menyiratkan bahwa saat itu si B tidak dapat menerima telepon secara langsung karena sedang berada di kamar mandi. Maka B secara tidak langsung meminta agar si A menerima telepon itu.
Contoh 2 :
A : Pak, tadi ada tabrakan motor dengan mobil di depan kampus.
B : Mana yang menang?
Komentar B terhadap pernyataan A tidak ada relevansinya, sebab dalam peristiwa tabrakan tidak ada yang menang dan tidak ada yang kalah. Kedua pihak sama-sama mengalami kerugian. Agaknya diluar dari maksud melucu jawaban B pada pertuturan tersebut sukar dicari hubungan implikasionalnya. Beda dengan pertuturan yang meskipun tuturan A dan B ada relevansinya, tetapi kiranya hanya untuk kelucuan belaka.
Contoh 3 :
A : Mengapa orang mati harus dimandikan?
B : Karena dia tidak dapat mandi sendiri.
d. Maksim cara, maksim ini mengharuskan penutur dan lawan tutur berbicara secara langsung, tidak kabur, tidak ambigu, tidak berlebih-lebih dan runtut.
Contoh 1 :
A : Mobilmu dimana sekarang?
B : Di parkiran lantai 3.
A : Yang mana?
B : Yang warnanya hitam.
Pertuturan diatas tidak menaati maksim cara karena informasi “Yang warnanya hitam” itu tidak jelas. Karena mobil yang terparkir dan berwarna hitam tidak hanya satu, melainkan ada banyak, belum lagi dilihat jenisnya mobil apa. Contoh pertuturan yang menaati maksim cara adalah :
A : Coba kamu Andi, kota Makassar ada di mana?
B : Ada di Sulawesi Selatan, pak!
Pelaksanaan maksim cara yang lain yaitu dengan mengeja huruf demi huruf. Hal ini dilakukan untuk menghindari pengucapan kata tabu dan menjaga kesopanan.
Contoh 2 :
A : Barusan kamu dari mana?
B : Dari belakang, habis b-e-r-a-k
Maksim cara juga mengharuskan para peserta pertuturan berbicara secara runtut atau menata pikiran secara teratur. Contoh pertuturan berikut melanggar aspek keruntutan yang sangat penting untuk memahami keseluruhan makna pertuturan.
Contoh 3 :
Mulai dari birokrat paling bawah di tingkat kelurahan sampai pada birokrat tertinggi di tingkat kementerian melakukan korupsi. Tiap tahun triliun uang negara raib mereka korup. Perbuatan korupsi telah menggurita di kalangan birokrat di negeri kita. Ironisnya, meskipun KPK telah bekerja keras menangkap dan memeriksa pejabat tersangka korup tetapi tiba di pengadilan hampir semuanya divonis bebas. Bukan hanya pejabat eksekutif tetapi juga pejabat legislatif dan pejabat yudikatif.
Namun, dibawah ini ada pula pertuturan yang lebih runtut daripada pertuturan diatas.
Contoh 4 :
Perbuatan korupsi telah menggurita di kalangan birokrat di negeri kita. Mulai dari birokrat paling bawah di tingkat kelurahan sampai pada birokrat tertinggi di tingkat kementerian. Bukan hanya pejabat di kalangan eksekutif tetapi juga pejabat legislatif dan pejabat yudikatif. Tiap tahun triliunan uang negara raib mereka korup. Ironisnya, meskipun KPK telah bekerja keras menangkap dan memeriksa pejabat tersangka korup, tetapi tiba di pengadilan hampir semuanya divonis bebas.
2.6 Pertuturan yang Gagal
Banyak faktor yang menyebabkan satu proses komunikasi menjadi gagal. Ketika terjadi kagagalan dalam komunikasi maka komunikasi itu tentu tidak epektif. Sehinga petutur tidak dapat berkomunikasi dengan baik.
Faktor-faktor tersebut biasanya datang dari lawan tutur, antara lain (a) lawan tutur tidak mempunyai pengetahuan yang dibicarkaan; (b) lawan tutur dalam keadaan “tidak sadar”; (c) lawan tutur tidak tertarik dengan topik yang dituturkan; (d) lawan tutur tidak berkenan dengan cara penutur menyampaikan informasi; (e) lawan tutur tidak mempunyai yang diinginkan si penutur; (f) lawan tutur tidak memahami yang dimaksud si penutur; dan (g) lawan tutur tidak mau melanggar kode etik. (Chaer : 2010)
a. Lawan tutur tidak punya pengetahuan
Proses komunikasi akan gagal apabila lawan tutur tidak mempunyai pengetahuan mengenai objek yang dibicarkaan.
Petutur maupun lawan tutur akan bersifat komunikatif apabila keduanya memiliki pengetahuan tentang objek petuturan. Hal ini bisa dipengaruhi oleh faktor usia, pendidikan, lingkungan, atau status social.
b. Lawan tutur tidak sadar
Suatu proses pertuturan melibatkan penutur, lawan tutur dan pesan atau objek yang dituturkan; tetapi dengan syarat lawan tutur harus dalam keadaan sadar atau menyadari adanya tuturan dari seorang penutur.
Petutur atau pun lawan tutur dapat komunikasi dengan baik apabila keduanya dalam keadaan sadar. Karena apabila seorang petutur manyampaikan pesan dalam keadaan tidak sadar maka pesan yang disampaikannya tidak akan sesuai dengan logika, baik logika petutur ataupun logika lawan tutur.
c. Lawan tutur tidak tertarik
Proses pertuturan akan berlangsung dengan baik apabila informasi atau objek yang dibicarkaan sama-sama diminati oleh penutur dan lawan tutur; atau lawan tutur juga mempunyai perhatian terhadap informasi yang disampaikan oleh penutur. Namun, apabila lawan tutur tidak tertarik dan tidak punya perhatian terhadap informasi yang disampaikan penutur, maka proses pertuturan itu menjadi gagal.
Ketika seseorang tidak merasa tertarik terhadap sesuatu maka dia akan sulit memahmi objek tersebut. Apalagi lawan tutur akan beupaya memahami ketika menyukai terhadap objek petuturan, karena objek petuturan akan komunikatif kalau antara petutur dan lawan tutur sama-sama memahmi objek tuturannya.
d. Lawan tutur tidak berkenan
Proses pertuturan juga akan gagal kalau lawan tutur tidak berkenan atau tidak suka dengan cara penutur menyampaikan informasi tuturannya. Penutur menganggap bahwa dalam pertuturan yang penting adalah adanya pesan yang dikomunikasikan. Namun, bagi lawan tutur adanya pesan yang dikomunikasikan saja belum cukup. Lawan tutur juga menghendaki adanya penyampaian pesan dengan cara yang baik dan berkenan di hatinya yaitu dengan menggunakan bahasa yang santun.
Setiap orang berharap diperlakukan sopan oleh orang lain, begitupun penutur menyampaikan pesan terhadap lawan tutur, ketika lawan tutur sudah merasa berkenan terhadap cara dan etika penutur dalam menyampaikan tuturannya, maka lawan tutur akan lebih merasa senang dan secara otomatis setelah menyenangi berarti pula akan lebih berkonsentrasi untuk memahami informasi yang disampaikan oleh penutur.
e. Lawan tutur tidak punya
Proses pertuturan bisa juga menjadi gagal kalau lawan tutur tidak punya yang diinginkan oleh penutur. Proses penuturan dimulai oleh penutur dan ditujukan kepada lawan tutur agar di tanggapi seperti yang diinginkan penutur. Namun, kalau yang diinginkan itu tidak dimiliki lawan tutur maka proses pertuturan menjadi gagal.
Ketika petutur berharap respon dari lawan tutur terhadap permintaannya, maka lawan tutur akan memberikannya sesuai dengan harapan petutur. Namun sebaliknya jika lawan tutur tidak memilki apa yang diminta oleh penutur, maka lawan tutur tidak akan dapat memberikan sesuai harapan penutur.
f. Lawan tutur tidak paham
Sebuah proses pertuturan akan berlangsung dengan baik apabila penutur dan lawan tutur memiliki pemahaman yang sama mengenai topik yang dibicarkaan. Namun, apabila lawan tutur tidak dapat memahami maksud dari tuturan penutur, maka komunikasi tidak akan berlanjut.
Lawan tutur akan memahami objek yang disampaikan oleh penutur apabila keduanya sama-sama memahami bahasa dan isi pesan yang disampaikan oleh petutur. Penutur harus dapat menyesuaikan kemampuan berbahasa lawan tutur agar pesan yang disampaikannya dapat dipahami oleh lawan tutur. Kalau ternyata tingkat pemahaman bahasa lawan tutur kategorinya sedang atau bahkan rendah, maka petutur harus mengguanakan bahasa yang lugas.
Hal tersebut disebabkan oleh beberapa hal, diantaranya :
- Bidang ilmu yang dimiliki penutur dan lawan tutur tidak sama
- Kosakata dan kalimat yang digunakan penutur sukar dipahami
- Yang dikatakan penutur berbeda dengan yang dimaksud
- Penutur terlalu banyak menggunakan ungkapan dan kata-kata berkias
g. Lawan tutur Terkendala kode etik
Proses pertuturan dapat juga gagal akibat dari kode etik yang dipegang oleh lawan tutur. Sebetulnya lawan tutur dapat menjawab permintaan penutur, tetapi kalau dijawab dia akan melanggar kode etik yang harus dipegangnya.
BAB III
PENUTUP
3.1 Kesimpulan
Dari uraian yang telah dipaparkan pada bab sebelumya, penyusun dapat menarik kesimpulan sebagai berikut :
1. Tindak tutur yang dilakukan dalam bentuk kalimat oleh Austin (1962) dirumuskan sebagai tiga buah tindakan yang berbeda, yaitu tindak tutur lokusi, tindak tutur ilokusi, dan tindak tutur perlokusi.
2. Deiksis adalah kata atau kata-kata yang rujukannya tetap.
3. Praanggapan atau presuposisi adalah pengetahuan bersama yang dimiliki oleh penutur atau lawan tutur yang melatarbelakangi suatu tindak tutur.
4. Implikatur atau implikatur percakapan adalah adanya keterkaitan antara ujaran dari seorang penutur dan lawan tuturnya.
5. Prinsif kerja sama dalam petuturan, meliputi maksim kuantitas, maksim kualitas, maksim relevansi, dan maksim cara.
6. Faktor yang menyebabkan proses komunikasi menjadi gagal adalah lawan tutur tidak punya pengetahuan, lawan tutur tidak sadar, lawan tutur tidak tertarik, lawan tutur tidak berkenan, lawan tutur tidak punya, lawan tutur tidak punya, dan lawan tutur terkendala kode etik.
3.2 Saran
Setelah penyusun dapat menyimpulkan uraian pada bab penutup, maka saran yang dapat penyusun sampaikan adalah sebagai berikut :
1. Pragmatik termasuk salah satu disiplin ilmu yang sangat penting untuk dikaji karena didalamnya dibahas etika tuturan dalam kehidupan sehari-hari.
2. Karena dalam kehidupan sehari-hari tidak lepas dari tuturan, maka etika tuturan bukan sebatas dipelajari saja, namun harus dapat direlisasikan dalam kehidupan sehari-hari.
3. Hal-hal yang dipaparkan dalam makalah ini walau pun singkat namun jadikan motifasi agar petutur dapat terus meningkatkan tuturannya.
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Bahasa adalah alat komunikasi yang dipergunakan oleh semua orang dalam kehidupan sehari-hari. Tanpa menggunakan bahasa seseorang tidak akan dapat bersosial, bahkan mungkin juga tidak akan dapat memenuhi kebutuhan hidupnya.
Seseorang pada umumnya tidak pandai memilih petuturan yang baik atau bahkan tidak memahami makna dan jenis petuturan yang seharusnya mereka pergunakan, baik di lingkungan instansi maupun di lingkungan masyarakat pada umumnya. Hal ini dapat terjadi karena beberapa faktor, diantaranya faktor pengetahuan seseorang, faktor lingkungan, faktor pergaulan, faktor keadaan daerah, dan faktor intern seseorang. Sebagai salah satu contoh petuturan yang disampaikan seseorang yang kesehariannya di Terminal sangatlah jauh berbeda dengan petuturan yang disampaikan oleh seorang dosen yang kesehariannya menyampaikan kajian-kajian ilmiah kepada mahasiswanya di lingkungan kampus, begitu pun tidak sedikit orang yang masih banyak kesalahan dalam menggunakan petuturan. Padahal sebetulnya di mana saja kita berada atau kepada siapa kita menyampaikan tuturan, tentu harus sesuai dengan etika dan jenis petuturan yang benar. Berangkat dari hal itulah, sehingga makalah ini memaparkan tentang petuturan dan masalahnya.
1.2 Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang diatas, maka dapat dirumuskan masalah sebagai berikut :
1. Apa saja jenis tindak tutur?
2. Apa pengertian dari deiksis?
3. Apa pengertian dari praanggapan?
4. Apa pengertian dari implikatur?
5. Bagaimana prinsip kerja sama dalam pertuturan?
6. Apa saja sebab dari pertuturan yang gagal?
1.3 Tujuan Penulisan
1. Mengetahui jenis-jenis tindak tutur.
2. Mengetahui pengertian deiksis.
3. Mengetahui pengertian praanggapan.
4. Mengetahui pengertian implikatur.
5. Mengetahui prinsip kerja sama dalam pertuturan.
6. Mengetahui sebab yang mengakibatkan pertuturan menjadi gagal.
BAB II
PEMBAHASAN
2.1 Tindak Tutur
Istilah dan teori tentang tindak tutur mula-mula diperkenalkan oleh J.L. Austin, seorang guru besar di Universitas Harvard pada tahun 1956, kemudian teori yang berasal dari materi kuliah itu dibukukan oleh J.O. Urmson (1962) dengan judul How to do Thing with Word.
Kalimat atau tuturan yang selain mengatakan sesuatu juga menyatakan adanya perbuatan atau tindakan dalam kajian pragmatik disebut kalimat performatif atau tuturan performatif. Sedangkan tuturan yang hanya mengatakan sesuatu saja disebut kalimat atau tuturan konstatif. Menurut Austin kalimat atau tuturan performatif tidak mengandung nilai salah atau benar. Berbeda dengan tuturan konstatif yang bisa dicari salah benarnya. Dari sejumlah literatur pragmatik dapat ditarik pengertian bahwa tindak tutur adalah tuturan dari seseorang yang bersifat psikologis dan yang dilihat dari makna tindakan dalam tuturannya itu. Serangkaian tindak tutur akan membentuk suatu peristiwa tutur (speech event). Lalu, tindak tutur dan peristiwa tutur ini menjadi dua gejala yang terdapat pada satu proses, yakni proses komunikasi.
Tindak tutur yang dilakukan dalam bentuk kalimat performatif oleh Austin (1962) dirumuskan sebagai tiga buah tindakan yang berbeda, yaitu (1) tindak tutur lokusi, (2) tindak tutur ilokusi, dan (3) tindak tutur perlokusi.
1. Tindak Tutur Lokusi
Tindak tutur lokusi adalah tindak tutur untuk menyatakan sesuatu sebagaimana adanya atau The Act of Saying Something, tindakan untuk mengatakan sesuatu. (Chaer : 2010).
Seseorang yang membutuhkan informasi dan kebetulan tuturan informasi itu mereka dengar berarti informasi itu secara otomatis telah didapatkan dari tuturan orang lain.
Contoh :
A. Jalan Sisinga adalah jalan yang menghubungkan jalur Singaparna dan Ciawi.
B. Bencana terbesar di Tasikmalaya pada tahun 2010 adalah Gempa bumi.
Kalimat A dan B dituturkan oleh seorang penutur semata-mata hanya untuk memberi informasi sesuatu belaka, tanpa tendensi untuk melakukan sesuatu. Bila disimak baik-baik tampaknya tindak tutur lokusi ini hanya memberi makna secara harfiah, seperti yang dinyatakan dalam kalimatnya.
2. Tindak Tutur Ilokusi
Tindak tutur ilokusi selain menyatakan sesuatu juga menyatakan tindakan melakukan sesuatu, oleh karena itu disebut sebagai The Act of Doing Something (tindakan melakukan sesuatu). (Chaer : 2010)
Dalam hal ini seseorang ketika menyampaikan petuturan bukan hanya menyampaikan informasi saja namun sebagian petuturan itu diharapkan melahirkan respon dalam bentuk prilaku.
Contoh :
A. Adzan Magrib telah berkumandang.
B. Ujian Nasional sudah dekat.
Kalimat A bila dituturkan oleh seorang ibu kepada anaknya selain memberi informasi tentang waktu, juga berisi tindakan yaitu mengingatkan untuk segera menunaikan Sholat Magrib. Oleh karena itu anaknya akan menjawab : “Ya, bu. Sebentar saya wudlu dulu.” Sedangkan untuk kalimat B bila dituturkan oleh seorang guru kepada murid-muridnya, selain memberi informasi mengenai ujian nasional yang sudah dekat juga berisi tindakan yaitu mengingatkan agar murid-murid harus giat belajar agar lulus dalam ujian nasional.
Jadi, bila disimak baik-baik tindak tutur ilokusi ini selain memang memberi informasi tentang sesuatu, juga lebih terkandung maksud dari tuturan yang diucapkan itu.
3. Tindak Tutur Perlokusi
Tindak tutur perlokusi adalah tindak tutur yang mempunyai pengaruh atau efek terhadap lawan tutur atau orang yang mendengar tuturan itu. Maka tindak tutur perlokusi sering disebut sebagai The Act of Affective Someone (tindak yang memberi efek pada orang lain). (Chaer : 2010)
Dalam tindak tutur perlokusi ini petutur beharap ada perhatian dari lawan tutur terhadap apa yang disampaikannya. Hal ini sering dialami oleh setiap orang dengan tujuan dan kepentingan yang berbeda, misalnya tujuan meminta maaf, memohon perhatian, memahami keadaan seseorang dan sebagainya.
Contoh :
A. Air wudlu di Masjid sudah mengalir.
B. Jum’at lalu saya tidak mengikuti perkuliahan karena mengikuti Work Shop.
Tuturan kalimat A tidak hanya memberi informasi bahwa air wudlu di Masjid sudah mengalir, tetapi juga bila dituturkan oleh seseorang teman yang sudah menunaikan sholat kepada temannya yang telah lama menuggunya, maka Dia akan memahami keterlambatan temannya karena sebelumnya diketahui bahwa air wudlu di Masjid tidak mengalir. Kalimat B selain memberi informasi bahwa si penutur pada minggu lalu ada kegaitan work shop, juga bila dituturkan pada lawan tutur bermaksud meminta maaf. Lalu, efek yang diharapkan adalah agar si lawan tutur memberi maaf kepada si penutur.
Searle (1975) membagi tindak tutur itu atas lima kategori, yaitu :
a. Representatif (disebut juga asertif), yaitu tindak tutur yang mengikat penuturnya kepada kebenaran atas apa yang dikatakannya.
Ketika penutur bertugas menuturkan informasi maka informasi itu harus dituturkan secara akurat. Oleh karena itu, petutur harus melakukan observasi terhadap kebenaran informasi yang akan dituturkannya. Misalnya mengatakan, melaporkan dan menyebutkan.
b. Direktif yaitu tindak tutur yang dilakukan penuturnya dengan maksud agar lawan tutur melakukan tindakan yang disebutkan di dalam tuturan itu.
Seorang penutur menyampaikan informasi atau gagasan yang menarik dan logis, sehingga lawan tutur memahami, merasa tertarik bahkan bermaksud untuk melakukan apa yang yang telah disampaikan oleh petututur. Misalnya menyuruh, memohon, menuntut, menyarankan, dan menantang.
c. Ekspresif yaitu tindak tutur yang dilakukan dengan maksud agar tuturannya diartikan sebagai evaluasi mengenai hal yang disebutkan di dalam tuturan itu.
Sebagai salah satu bentuk petuturan seseorang dapat memberikan tanggapan berupa petuturan terhadap apa yang telah dilakukan oleh lawan tutur. Ketika suatu saat lawan tutur telah membantu kita, maka petutur munuturkan ucapan terima kasih. Misalnya memuji, mengucapkan terima kasih, mengkritik, dan menyelak.
d. Komisif yaitu tindak tutur yang mengikat penuturnya untuk melaksanakan apa yang disebutkan di dalam tuturannya.
Penutur seolah menyampaikan tuntutan kepada lawan tuturannya agar melakukan apa yang diperintahkan oleh petutur. Dalam pelaksanaannya yang tampak ada unsur ketegasan sehingga lawan petutur lebih cenderung melaksanakannya. Misalnya berjanji, bersumpah, dan mengancam.
e. Deklarasi yaitu tindak tutur yang dilakukan si penutur dengan maksud untuk menciptakan hal (status, keadaan, dan sebagainya) yang baru.
Dalam hal ini penutur memiliki pertimbangan yang kuat sehingga harus menuturkan sebuah ketegasan atas pertimbangan tertentu, bahkan ketegasan tersebut dituturkan setelah melalui proses yang memerlukan waktu sehingga membuahkan hasil berupa petuturan tegas yang dapat dipertanggungjawabkan.Misalnya memutuskan, membatalkan, melarang, mengizinkan, dan memberi maaf.
Dari teori tindak tutur yang ada dapat disimpulkan bahwa satu bentuk ujaran dapat mempunyai lebih dari satu fungsi. Sebaliknya, satu fungsi dapat dinyatakan dalam berbagai bentuk ujaran.
Tindak tutur dapat dibedakan menjadi tindak tutur langsung dan tindak tutur tidak langsung. Tindak tutur langsung adalah tindak tutur yang langsung menyatakan sesuatu, seperti dalam tindak tutur lokusi. Sedangkan tindak tutur tidak langsung adalah tindak tutur yang tidak langsung menyatakan apa adanya, tetapi menggunakan bentuk tuturan lain, sama saja dengan tindak tutur ilokusi.
2.2 Deiksis
Deiksis berasal dari kata yunani kuno yang berarti “menunjukan atau menunjuk”. Sebuah dapat dikatakan deiksis apabila rujukannya berpindah – pindah (berganti – ganti), dilihat dari siapa yang menjadi pembicara, waktu dan tempat dituturkannya kata tersebut.
Fenomena deiksis merupakan cara yang paling jelas untuk menggambarkan hubungan antara bahasa dan konteks dalam struktur bahasa itu sendiri. Seperti kata saya, sini, sekarang dalam kata-kata tersebut tidak memiliki referen yang tetap. Referen untuk kata-kata tersebut dapat diketahui maknanya apabila diketahui pula siapa,dimana dan kapan kata tersebut diucapkan. Jadi yang menjadi orientasi deiksis adalah penutur. Contoh dalam kalimat sebagai berikut : mohon maaf jika besok saya tidak dapat hadir.
Kata saya pada contoh kalimat diatas adalah deiksis karena lawan tutur tidak tahu siapa saya tersebut? Untuk menghindari deiksis maka kata saya lebih tepat kalau disebutkan namanya terutama untuk bahasa tulis, jika dalam bahasa lisan (tuturan) kata tersebut tidak deiksis karena yang jadi lawan tuturnya sudah saling mengenal. Sama hal nya dengan kata besok pada contoh tersebut.
Agar komunikasi antara penutur dan lawan tutur tidak terganggu, dapat berjalan dengan lancar maka seharusnya kata-kata yang deiksis tidak ada.
2.3 Praanggapan
Praanggapan atau presuposisi adalah “pengetahuan” bersama yang dimiliki oleh penutur dan lawan tutur yang melatarbelakangi suatu tindak tutur. Praanggapan mengacu pada makna tersirat yang diartikan “mendahului’ makna kalimat yang diucapkan atau tertulis .Contohnya pertuturan antara A dan B sebagai berikut :
A : saudara perempuanmu yang sulung sudah menikah belum?
B : sudah, bulan September.
Dalam pertuturan diatas terdapat pengetahuan bersama yang dimiliki A dan B bahwa B memiliki saudara lebih dari satu, karena ada tuturan yang sulung berarti ada yang bungsu. Tanpa pengetahuan itu, tentu A tidak dapat mengajukan pertanyaan seperti itu, dan B tidak dapat menjawab seperti itu juga.
Tambahan tuturan “bulan september” bersifat tidak wajib karena yang diminta dalam pertanyaannya hanyalah “sudah menikah belum”, namun tambahan itu juga penting.
2.4 Implikatur
Implikatur percakapan adalah adanya keterkaitan antara ujaran dari seorang penutur dan lawan tuturnya. Keterkaitan tersebut mengacu pada jenis-jenis kesepakatan bersama antara penutur dan lawan tuturnya, kesepakatan dalam pemahaman bahwa yang dibicarakan harus saling berhubungan.
Contoh :
A : kamu masih disini
B : bus ke pangandaran baru saja lewat.
Secara tersirat dapat dipahami keterkaitan antara pertanyaan A terhadap B, karena kalau A dan B tidak saling keterkaitan tidak mungkin muncul pertanyaan tersebut. Dapat di simpulkan implikatur percakapan itu dapat dikatakan sejenis makna yang terkandung dalam cakapan yang dipahami oleh masing-masing partisipan.
2.5 Prinsip Kerja Sama Dalam Pertuturan
Pertuturan akan berlangsung dengan baik apabila penutur dan lawan tutur dalam pertuturan itu menaati prinsip-prinsip kerja sama seperti yang dikemukakan oleh Gries (1975: 45-47). Kerja sama tersebut dapat berupa kontribusi pengetahuan dari peserta pertuturan. Dalam kajian pragmatik prinsip itu disebut maksim, yakni berupa pertanyaan ringkas yang mengandung ajaran atau kebenaran. Setiap penutur harus menaati empat maksim kerja sama, yaitu makim kuantitas (maxim of quantity), maksim kualitas (maxim of quality), maksim relevansi (maxim of relevance), dan maksim cara (maxim of manner).
a. Maksim kuantitas menghendaki setiap peserta tutur hanya memberikan kontribusi yang secukupnya saja atau sebanyak yang dibutuhkan oleh lawannya, jangan berlebihan menggunakan kalimat penjelas dari kalimat utama. Misalnya : Ayam saya yang betina telah bertelur. Tuturan tersebut tidak menaati maksim kuantitas karena adanya kata yang betina yang tidak perlu, sudah tentu semua ayam yang bertelur adalah ayam betina. Untuk menaati maksim kuantitas cukup dengan informasi secukupnya saja, yaitu : Ayam saya telah bertelur.Atau pada kalimat : Anak saya yang perempuan, sekarang sedang mengandung 4 bulan. Penggunaan kata yang perempuan tidak menaati maksim kuantitas, karena sudah tentu yang mengandung itu adalah perempuan.
b. Maksim kualitas, maksim ini menghendaki agar peserta pertuturan mengatakan hal yang sebenarnya. Peserta pertuturan mengatakan hal sebenarnya dengan fakta yang ada, tidak mengarang, terkecuali jika memang tidak mengetahui.
Contoh 1:
A : Asti, Bandung itu dikenal sebagai kota apa?
B : Kota pahlawan, bu.
A : Bagus, berarti Surabaya itu kota Lautan Api ya?
Pertuturan diatas tidak menaati maksim kualitas dengan memberikan kontribusi bahwa Kota Pahlawan adalah julukan untuk kota Bandung. Kontribusi A yang melanggar maksim kualitas ini diberikan sebagai reaksi terhadap jawaban B yang salah.Kata bagus yang diucapkan dengan nada mengejek menyadari B terhadap kesalahannya.
Contoh 2 :
A : Afrizal, Semarang itu ibu kota mana?
B : Jawa Tengah, bu.
Pertuturan Contoh 2 telah mentaati maksim kualitas, karena benar nyatanya yaitu Semarang adalah ibu kota Jawa Tengah.
c. Maksim relevansi, maksim ini mengharuskan setiap peserta memberikan kontribusi yang relevan dengan masalah atau tajuk pertuturan. Dengan pengetahuan yang dimiliki oleh penerima tuturan, maka adanya pesan tersirat dari apa yang dituturkan oleh penutur.
Contoh 1 :
A : Bu, ada telpon untuk ibu!
B : Ibu sedang di kamar mandi, Nak.
Sepintas jawaban B pada pertuturan diatas tidak berhubungan. Namun, bila disimak baik-baik hubungan itu ada. Jawaban B menyiratkan bahwa saat itu si B tidak dapat menerima telepon secara langsung karena sedang berada di kamar mandi. Maka B secara tidak langsung meminta agar si A menerima telepon itu.
Contoh 2 :
A : Pak, tadi ada tabrakan motor dengan mobil di depan kampus.
B : Mana yang menang?
Komentar B terhadap pernyataan A tidak ada relevansinya, sebab dalam peristiwa tabrakan tidak ada yang menang dan tidak ada yang kalah. Kedua pihak sama-sama mengalami kerugian. Agaknya diluar dari maksud melucu jawaban B pada pertuturan tersebut sukar dicari hubungan implikasionalnya. Beda dengan pertuturan yang meskipun tuturan A dan B ada relevansinya, tetapi kiranya hanya untuk kelucuan belaka.
Contoh 3 :
A : Mengapa orang mati harus dimandikan?
B : Karena dia tidak dapat mandi sendiri.
d. Maksim cara, maksim ini mengharuskan penutur dan lawan tutur berbicara secara langsung, tidak kabur, tidak ambigu, tidak berlebih-lebih dan runtut.
Contoh 1 :
A : Mobilmu dimana sekarang?
B : Di parkiran lantai 3.
A : Yang mana?
B : Yang warnanya hitam.
Pertuturan diatas tidak menaati maksim cara karena informasi “Yang warnanya hitam” itu tidak jelas. Karena mobil yang terparkir dan berwarna hitam tidak hanya satu, melainkan ada banyak, belum lagi dilihat jenisnya mobil apa. Contoh pertuturan yang menaati maksim cara adalah :
A : Coba kamu Andi, kota Makassar ada di mana?
B : Ada di Sulawesi Selatan, pak!
Pelaksanaan maksim cara yang lain yaitu dengan mengeja huruf demi huruf. Hal ini dilakukan untuk menghindari pengucapan kata tabu dan menjaga kesopanan.
Contoh 2 :
A : Barusan kamu dari mana?
B : Dari belakang, habis b-e-r-a-k
Maksim cara juga mengharuskan para peserta pertuturan berbicara secara runtut atau menata pikiran secara teratur. Contoh pertuturan berikut melanggar aspek keruntutan yang sangat penting untuk memahami keseluruhan makna pertuturan.
Contoh 3 :
Mulai dari birokrat paling bawah di tingkat kelurahan sampai pada birokrat tertinggi di tingkat kementerian melakukan korupsi. Tiap tahun triliun uang negara raib mereka korup. Perbuatan korupsi telah menggurita di kalangan birokrat di negeri kita. Ironisnya, meskipun KPK telah bekerja keras menangkap dan memeriksa pejabat tersangka korup tetapi tiba di pengadilan hampir semuanya divonis bebas. Bukan hanya pejabat eksekutif tetapi juga pejabat legislatif dan pejabat yudikatif.
Namun, dibawah ini ada pula pertuturan yang lebih runtut daripada pertuturan diatas.
Contoh 4 :
Perbuatan korupsi telah menggurita di kalangan birokrat di negeri kita. Mulai dari birokrat paling bawah di tingkat kelurahan sampai pada birokrat tertinggi di tingkat kementerian. Bukan hanya pejabat di kalangan eksekutif tetapi juga pejabat legislatif dan pejabat yudikatif. Tiap tahun triliunan uang negara raib mereka korup. Ironisnya, meskipun KPK telah bekerja keras menangkap dan memeriksa pejabat tersangka korup, tetapi tiba di pengadilan hampir semuanya divonis bebas.
2.6 Pertuturan yang Gagal
Banyak faktor yang menyebabkan satu proses komunikasi menjadi gagal. Ketika terjadi kagagalan dalam komunikasi maka komunikasi itu tentu tidak epektif. Sehinga petutur tidak dapat berkomunikasi dengan baik.
Faktor-faktor tersebut biasanya datang dari lawan tutur, antara lain (a) lawan tutur tidak mempunyai pengetahuan yang dibicarkaan; (b) lawan tutur dalam keadaan “tidak sadar”; (c) lawan tutur tidak tertarik dengan topik yang dituturkan; (d) lawan tutur tidak berkenan dengan cara penutur menyampaikan informasi; (e) lawan tutur tidak mempunyai yang diinginkan si penutur; (f) lawan tutur tidak memahami yang dimaksud si penutur; dan (g) lawan tutur tidak mau melanggar kode etik. (Chaer : 2010)
a. Lawan tutur tidak punya pengetahuan
Proses komunikasi akan gagal apabila lawan tutur tidak mempunyai pengetahuan mengenai objek yang dibicarkaan.
Petutur maupun lawan tutur akan bersifat komunikatif apabila keduanya memiliki pengetahuan tentang objek petuturan. Hal ini bisa dipengaruhi oleh faktor usia, pendidikan, lingkungan, atau status social.
b. Lawan tutur tidak sadar
Suatu proses pertuturan melibatkan penutur, lawan tutur dan pesan atau objek yang dituturkan; tetapi dengan syarat lawan tutur harus dalam keadaan sadar atau menyadari adanya tuturan dari seorang penutur.
Petutur atau pun lawan tutur dapat komunikasi dengan baik apabila keduanya dalam keadaan sadar. Karena apabila seorang petutur manyampaikan pesan dalam keadaan tidak sadar maka pesan yang disampaikannya tidak akan sesuai dengan logika, baik logika petutur ataupun logika lawan tutur.
c. Lawan tutur tidak tertarik
Proses pertuturan akan berlangsung dengan baik apabila informasi atau objek yang dibicarkaan sama-sama diminati oleh penutur dan lawan tutur; atau lawan tutur juga mempunyai perhatian terhadap informasi yang disampaikan oleh penutur. Namun, apabila lawan tutur tidak tertarik dan tidak punya perhatian terhadap informasi yang disampaikan penutur, maka proses pertuturan itu menjadi gagal.
Ketika seseorang tidak merasa tertarik terhadap sesuatu maka dia akan sulit memahmi objek tersebut. Apalagi lawan tutur akan beupaya memahami ketika menyukai terhadap objek petuturan, karena objek petuturan akan komunikatif kalau antara petutur dan lawan tutur sama-sama memahmi objek tuturannya.
d. Lawan tutur tidak berkenan
Proses pertuturan juga akan gagal kalau lawan tutur tidak berkenan atau tidak suka dengan cara penutur menyampaikan informasi tuturannya. Penutur menganggap bahwa dalam pertuturan yang penting adalah adanya pesan yang dikomunikasikan. Namun, bagi lawan tutur adanya pesan yang dikomunikasikan saja belum cukup. Lawan tutur juga menghendaki adanya penyampaian pesan dengan cara yang baik dan berkenan di hatinya yaitu dengan menggunakan bahasa yang santun.
Setiap orang berharap diperlakukan sopan oleh orang lain, begitupun penutur menyampaikan pesan terhadap lawan tutur, ketika lawan tutur sudah merasa berkenan terhadap cara dan etika penutur dalam menyampaikan tuturannya, maka lawan tutur akan lebih merasa senang dan secara otomatis setelah menyenangi berarti pula akan lebih berkonsentrasi untuk memahami informasi yang disampaikan oleh penutur.
e. Lawan tutur tidak punya
Proses pertuturan bisa juga menjadi gagal kalau lawan tutur tidak punya yang diinginkan oleh penutur. Proses penuturan dimulai oleh penutur dan ditujukan kepada lawan tutur agar di tanggapi seperti yang diinginkan penutur. Namun, kalau yang diinginkan itu tidak dimiliki lawan tutur maka proses pertuturan menjadi gagal.
Ketika petutur berharap respon dari lawan tutur terhadap permintaannya, maka lawan tutur akan memberikannya sesuai dengan harapan petutur. Namun sebaliknya jika lawan tutur tidak memilki apa yang diminta oleh penutur, maka lawan tutur tidak akan dapat memberikan sesuai harapan penutur.
f. Lawan tutur tidak paham
Sebuah proses pertuturan akan berlangsung dengan baik apabila penutur dan lawan tutur memiliki pemahaman yang sama mengenai topik yang dibicarkaan. Namun, apabila lawan tutur tidak dapat memahami maksud dari tuturan penutur, maka komunikasi tidak akan berlanjut.
Lawan tutur akan memahami objek yang disampaikan oleh penutur apabila keduanya sama-sama memahami bahasa dan isi pesan yang disampaikan oleh petutur. Penutur harus dapat menyesuaikan kemampuan berbahasa lawan tutur agar pesan yang disampaikannya dapat dipahami oleh lawan tutur. Kalau ternyata tingkat pemahaman bahasa lawan tutur kategorinya sedang atau bahkan rendah, maka petutur harus mengguanakan bahasa yang lugas.
Hal tersebut disebabkan oleh beberapa hal, diantaranya :
- Bidang ilmu yang dimiliki penutur dan lawan tutur tidak sama
- Kosakata dan kalimat yang digunakan penutur sukar dipahami
- Yang dikatakan penutur berbeda dengan yang dimaksud
- Penutur terlalu banyak menggunakan ungkapan dan kata-kata berkias
g. Lawan tutur Terkendala kode etik
Proses pertuturan dapat juga gagal akibat dari kode etik yang dipegang oleh lawan tutur. Sebetulnya lawan tutur dapat menjawab permintaan penutur, tetapi kalau dijawab dia akan melanggar kode etik yang harus dipegangnya.
BAB III
PENUTUP
3.1 Kesimpulan
Dari uraian yang telah dipaparkan pada bab sebelumya, penyusun dapat menarik kesimpulan sebagai berikut :
1. Tindak tutur yang dilakukan dalam bentuk kalimat oleh Austin (1962) dirumuskan sebagai tiga buah tindakan yang berbeda, yaitu tindak tutur lokusi, tindak tutur ilokusi, dan tindak tutur perlokusi.
2. Deiksis adalah kata atau kata-kata yang rujukannya tetap.
3. Praanggapan atau presuposisi adalah pengetahuan bersama yang dimiliki oleh penutur atau lawan tutur yang melatarbelakangi suatu tindak tutur.
4. Implikatur atau implikatur percakapan adalah adanya keterkaitan antara ujaran dari seorang penutur dan lawan tuturnya.
5. Prinsif kerja sama dalam petuturan, meliputi maksim kuantitas, maksim kualitas, maksim relevansi, dan maksim cara.
6. Faktor yang menyebabkan proses komunikasi menjadi gagal adalah lawan tutur tidak punya pengetahuan, lawan tutur tidak sadar, lawan tutur tidak tertarik, lawan tutur tidak berkenan, lawan tutur tidak punya, lawan tutur tidak punya, dan lawan tutur terkendala kode etik.
3.2 Saran
Setelah penyusun dapat menyimpulkan uraian pada bab penutup, maka saran yang dapat penyusun sampaikan adalah sebagai berikut :
1. Pragmatik termasuk salah satu disiplin ilmu yang sangat penting untuk dikaji karena didalamnya dibahas etika tuturan dalam kehidupan sehari-hari.
2. Karena dalam kehidupan sehari-hari tidak lepas dari tuturan, maka etika tuturan bukan sebatas dipelajari saja, namun harus dapat direlisasikan dalam kehidupan sehari-hari.
3. Hal-hal yang dipaparkan dalam makalah ini walau pun singkat namun jadikan motifasi agar petutur dapat terus meningkatkan tuturannya.
SMT 3 Konsep Dasar Pengelolaan Pendidikan
BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Dalam mendefinisikan pengelolaan, terlebih mendefinisikan pengelolaan pendidikan tidak akan lepas dengan pelayanan administrasi yang sering kita sebut manajemen. Kata pengelolaan sebenarnya berasal dari kata manajemen. Sedangkan istilah manajemen sama artinya dengan administrasi (Oteng Sutisna :1983). Oleh sebab itu, pengelolaan pendidikan dapat diartikan sebagai upaya untuk menerapkan kaidah-kaidah administrasi dalam bidang pendidikan.
Dari permasalahan yang penyusun angkat, dapat dirumuskan masalah sebagai berikut :
1. Apa pengertian dari pengelolaan pendidikan, dan fungsi dari pengelolaan pendidikan?
2. Apa saja komponen dan ruang lingkup pengelolaan pendidikan?
3. Tujuan dan manfaat apakah yang didapat dalam pengelolaan pendidikan.
1.3 Tujuan Penulisan
Selain untuk menambah pengetahuan dan referensi, disini penulis ingin berbagi pengetahuan yang meliputi:
a. Pengertian pengelolaan Pendidikan;
b. Perbedaan antara pengelolaan atau manajemen dengan administrasi;
c. Komponen-komponen dan ruang lingkup yang terdapat dalam pengelolaan pendidikan;
d. Fungsi dan tujuan pengelolaan pendidikan.
1.4 Manfaat Penulisan
Penulis berharap, setelah penulisan makalah ini selesai dapat bermanfaat bagi seluruh mahasiswa yang mengikuti mata kuliah Pengelolaan Pendidikan, yang selanjutnya dapat di aplikasikan di dunia kerja yang akan datang.
1.5 SistematikaPenulisan
BAB I : Pendahuluan, yang terdiri dari latar belakang, rumusan masalah, tujuan penulisan, manfaat penulisan dan sisitematika penulisan.
BAB II :Pembahasan
BAB III : Penutup
DAFTAR PUSTAKA
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Dalam mendefinisikan pengelolaan, terlebih mendefinisikan pengelolaan pendidikan tidak akan lepas dengan pelayanan administrasi yang sering kita sebut manajemen. Kata pengelolaan sebenarnya berasal dari kata manajemen. Sedangkan istilah manajemen sama artinya dengan administrasi (Oteng Sutisna :1983). Oleh sebab itu, pengelolaan pendidikan dapat diartikan sebagai upaya untuk menerapkan kaidah-kaidah administrasi dalam bidang pendidikan.
Namun untuk lebih mengetahui dan jelasnya kita akan bahas perbedaan antara administrasi dan manjemen, pengertian manajemen, manajemen pendidikan dan fungsi manajemen itu sendiri di dalam pendidikan. Sehingga penulis perlu menyusun makalah ini sebagai rujukan dan penambahan wawasan.
1.2 Rumusan MasalahDari permasalahan yang penyusun angkat, dapat dirumuskan masalah sebagai berikut :
1. Apa pengertian dari pengelolaan pendidikan, dan fungsi dari pengelolaan pendidikan?
2. Apa saja komponen dan ruang lingkup pengelolaan pendidikan?
3. Tujuan dan manfaat apakah yang didapat dalam pengelolaan pendidikan.
1.3 Tujuan Penulisan
Selain untuk menambah pengetahuan dan referensi, disini penulis ingin berbagi pengetahuan yang meliputi:
a. Pengertian pengelolaan Pendidikan;
b. Perbedaan antara pengelolaan atau manajemen dengan administrasi;
c. Komponen-komponen dan ruang lingkup yang terdapat dalam pengelolaan pendidikan;
d. Fungsi dan tujuan pengelolaan pendidikan.
1.4 Manfaat Penulisan
Penulis berharap, setelah penulisan makalah ini selesai dapat bermanfaat bagi seluruh mahasiswa yang mengikuti mata kuliah Pengelolaan Pendidikan, yang selanjutnya dapat di aplikasikan di dunia kerja yang akan datang.
1.5 SistematikaPenulisan
BAB I : Pendahuluan, yang terdiri dari latar belakang, rumusan masalah, tujuan penulisan, manfaat penulisan dan sisitematika penulisan.
BAB II :Pembahasan
BAB III : Penutup
DAFTAR PUSTAKA
BAB II
PEMBAHASAN
2.1 PengertianPengelolaanPendidikan
Menurut M. Bartol dan David C. Martin yang dikutip oleh A.M. Kadarman SJ dan Jusuf Udaya (1995), manajemen adalah proses untuk mencapai tujuan–tujuan organisasi dengan melakukan kegiatan dari empat fungsi utama yaitu merencanakan (planning), mengorganisasi (organizing), memimpin (leading), dan mengendalikan (controlling). Dengan demikian, manajemen adalah sebuah kegiatan yang berkesinambungan. Sedangkan menurut Stoner sebagaimana dikutip oleh T. Hani Handoko (1995), manajemen adalah proses perencanaan, pengorganisasian, pengarahan, dan pengawasan usaha-usaha para anggota organisasi dan penggunaan sumber daya-sumber daya organisasi lainnya agar mencapai tujuan organisasi yang telah ditetapkan.
Adapun pengertian pendidikan menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (1989), pendidikan adalah proses mengubah sikap dan tata laku seseorang atau kelompok orang dalam usaha mendewasakan manusia melalui upaya pengajaran dan pelatihan (proses, perbuatan dan cara mendidik). Sedangkan menurut UU No. 20 Tahun 2003, pendidikan adalah usaha sadar dan terencana untuk mewujudkan suasana belajar dan proses pembelajaran agar peserta didik secara aktif mengembangkan potensi dirinya untuk memiliki kekuatan spiritual keagamaan, pengendalian diri, kepribadian, kecerdasan, akhlak mulia, serta keterampilan yang diperlukan dirinya, masyarakat, bangsa dan negara.
Moh. Rifai (1982) menjelaskan pengertian administrasi sebagai berikut: Administrasi ialah keseluruhan proses yang mempergunakan dan mengikutsertakan semua sumber potensi yang tersedia dan yang sesuai, baik personal maupun material, dalam usaha untuk mencapai bersama suatu tujuan secara efektif dan efisien (h. 25). Sementara itu Sondang P. Siagian (1983) mendefisinikan pengertian administrasi adalah sebagai keseluruhan proses kerjasama antara dua orang manusia atau lebih yang didasarkan atas rasionalitas tertentu untuk mencapai tujuan yang telah ditentukan sebelumnnya. pengertian administrasi mengandung makna adanya (1) tujuan yang mesti dapat direalisasikan guna kepentingan lembaga, individu atau pun kelompok, (2) keterlibatan personil, material dan juga finansial dalam posisinya yang saling mendukung dan satu sama lain saling memerlukan dan juga saling melengkapi, (3) proses yang terus menerus dan berkesinambungan yang dimulai dari hal yang kecil dan sederhana sampai kepada hal yang besar dan rumit, (4) pengawasan atau kontrol guna keteraturan, keseimbangan dan keselarasan, (5) tepat guna dan berhasil guna supaya tidak terjadi penghambur-hamburan waktu, tenaga, biaya dan juga fasilitas agar dapat mencapai keberhasilan dan produktivitas yang cukup memadai, (6) hubungan manusiawi yang menempatkan manusia sebagai unsur utama dan terhormat.
Dengandemikian,pengelolaan pendidikan dapat diartikan sebagai upaya untuk menerapkan kaidah-kaidah administrasi dalam bidang pendidikan.
Untuk mengkaji lebih dalam tentang manajemen khususnya manajemen pendidikan,perlu dikaji pandangan tentang manajemen khususnya manajemen pendidikan. Adapun beberapa pandangantentang manajemen pendidikan yaitu:
a. manajemensebagaisuatusystem
Manajemen dipandang sebagai suatu kerangka kerja yang terdiri dari berbagai bagian yang saling berhubungan yang diarahkan dalam rangka pencapaian tujuan organisasi.
b. Manajemen sebagai suatu proses
Manajemen sebagai rangkaian tahapan kegiatan yang diarahkan pada pencapaian tujuan dengan memanfaatkan sumber daya yang tersedia. Manajemen sebagai suatu proses dapat dipelajari dari fungsi-fungsi manajemen yang dilaksanakan oleh manajer.
c. Manajemen sebagai proses pemecahan masalah.
Proses manajemen dalam prakteknya dapat dikaji dari proses pemecahan masalah yang dilaksanakan oleh semua bagian/ komponen yang ada dalam organisasi. Secara konkrit dalam organisasi pelayanan pendidikan, seperti yang dilakukan di Dinas Pendidikan yaitu, identifikasi suatu masalah, perumusan masalah dan dilanjutkan dengan langkah-langkah pemecahan masalah. Melalui tahapan tersebut diharapkan tercapai hasil kegiatan secara efektif dan efisien.
2.2 PerbedaanAdministrasidenganManajemen
Dalam pelaksanaannya, administrasi dan manajemen tidak dapat dipisahkan dan harus merupakan suatu kesatuan, hanya saja kegiatannya yang dapat dibedakan. Secara etimologis istilah administrasi berasal dari bahasa Latin yaitu administrane yang berarti membantu atau melayani. Secara definitif, administrasi dapat diartikan secara sempit dan luas. Dalam arti sempit, administrasi dapat diartikan sebagai keseluruhan pencatatan secara tertulis dan penyusunan secara sistematis dari keterangan-keterangan yang ada dengan tujuan agar mudah memperoleh ikhtisarnya secara menyeluruh. Dengan kata lain, dalam arti sempit, administrasi itu tidak lebih daripada sekedar rangkaian aktivitas menghimpun, mencataat, mengolah menggandakan, mengirim dan menyimpan keterangan-keterangan yang diperlikan dalam setiap kerja sama.
Namun dalam arti luas administrasi menurut Sigian adalah administrasi merupakan keseluruhan proses kerja sama antara dua orang atau lebih yang didasarkan pada rasionalitas tertentu untuk mencapai tujuan yang telah ditetapkan sebelumnya. Menurut The Liang Gie administrasi adalah segenap proses penyelenggaraan kegiatan-kegiatan dalam setiap usaha kerja sama setiap kelompok orang untuk mencapai tujuan tertentu. The Liang Gie menyebutkan ada 8 unsur administrasi, yaitu pengorganisasian, manajemen, komunikasi, kepegawaian, keuangan, perbekalan, tata usaha dan hubungan masyarakat.
Penyelenggaraan kegiatan-kegiatan tersebut dapat pula disebut penataan. Oleh karena itu, rangkaian penataan itu dapat dimaksudkan sebagai administrasi. Agar kegiatan penataan itu berlangsung sesuai dengan tujuan yang ditetapkan, maka perlu adanya kegiatan lain yang dapat mengarahkan, mengatur, menggerakkan dan mengendalikan setiap tindakan penataan ke arah yang diinginkan, dan satu-satunya jalan yang dapat ditempuh adalah melalui kegiatan manajemen.
Administrasi lebih luas daripada manajemen, namun manajemen sekaligus merupakan inti dari kegiatan administrasi yang bertugas melaksanakan semua kegiatan yang ditentukan pada tingkat administrasi.
Dari penjelasan tersebut, dapat kita pahami bahwa manajemen sebenarnya termasuk ke dalam salah satu kegiatan administrasi, dan sekaligus merupakan alat pelaksana dari administrasi. Administrasi bersifat menentukan kebijakan umum yang mengikat seluruh organisasi, sedangkan manajemen merupakan pelaksanaannya pada tingkat sektoral atau departemental.
2.3 Ruang Lingkup Pengelolaan Pendidikan
Ruang lingkup manejemen biasa disebut dengan istilah:batasan, wilayah pembahasan atau objek manajemen.
Adapun ruang lingkup atau obyek dari manejemen pendidikan itu membahas tentang:
a. Tata laksana sekolah
Hal ini meliputi:
1. Organisasi dan struktur pegawai tata usaha.
2. Otorosasi dan anggaran belanja keuangan sekolah.
3. Masalah kepegawaian dan kesejahteraan personel sekolah.
4. Masalah perlengkapan dan perbekalan.
5. Keuangan dan pembukuannya.
6. Korespodensi atau surat-menyurat.
7. Laporan-laporan (bulanan, kuartalan, dan tahunan).
8. Masalah pengangkatan, pemindahan, penempatan dan pemberhentian pegawai.
9. Pengisian buku pokok, klapper, rapor, dan sebagainya.
b. Personel guru dan pegawai sekolah
Hal ini meliputi antara lain:
1. Pengangkatan dan penempatan tenaga guru.
2. Organisasi personel guru-guru.
3. Masalah kepegawaian dan kesejahteraan guru.
4. Rencana orientasi bagi tenaga guru yang baru.
5. Konduite dan penilaian kemajuan guru-guru.
6. Inservice training dan up-gradding guru-guru.
c. Siswa
Hal ini meliputi antara lain:
1)Organisasi dan perkumpulan murid.
2) Masalah kesehatan dan kesejahteraan murid.
3) Penilaian dan pengukuran kemajuan murid.
4) Bimbingan dan penyuluhan bagi murid-murid (guidance and counseling)
d. Supervisi pengajaran
Hal ini meliputi antara lain:
1) Usaha membangkitkan dan mengembangkan semangat guru-guru dan pegawai-pegawai tatausaha dalam menjalankan tugasnya masing-masing sebaik-baiknya.
2) Usaha mengembangkan, mencari, dan mengggunakan metode-mertode baru dalam mengajar dan belajar yang lebih baik.
3) Mengusahakan dan mengembangkan kerja sama yang baik antara guru, murid, dan pegawai tata usaha sekolah.
4) Mengusahakan cara-cara menilai hasil-hasil pendidikan dan pengajaran.
5) Usaha mempertinggi mutu dan pengalaman guru-guru (inservice training dan up-gradding)
e. Pelaksanaan pembinaan kurikulum
Pelaksanaan pembinaan kurikulum meliputi:
1) Mempedomani dan merealisasikan apa yang tercantum didalam kurikulum sekolah yang bersangkutan dalam usaha mencapai dasar-dasar dan tujuan pendidikan dan pengajaran.
2) Menyusun dan melaksanakan organisaisi kurikulum beserta materi-materi dan sumber-sumber, dan metode-metode pelaksanaanya disesuaikan dengan pembaharuan pendidikan dan pengajaran serta kebutuhan masyarakat dan lingkungan sekolah.
3) Kurikulum bukanlah merupakan sesuatu yang harus diturut begitu saja dengan mutlak tanpa perubahan dan penyimpangan sedikitpun. Kurikulum lebih merupakan pedoman bagi para guru dalam menjalankan tugasnya. Dalam menggunakan kurikulum guru atau pendidik, disamping menuruti dan mengikuti apa yang tercantum didalamnya, berhak dan berkwajiban pula memilih dan menambah materi-materi, sumber-sumber ataupun metode-metode pelakaksanaan yang lebih sesuai dengan kebutuhan perkembangan lingkungan masyarakat lingkungan sekolah, dan membuang serta mengurangi apa yang dianggap sudah tidak sesuai lagi den gan kemajuan dan kebutuhan masyarakat dan Negara pada umumnya. Itulah sebabnya mengapa kurikulum perlu mendapat perhatian, dan pembinaan kurikulum harus diusahakan dan dijalankan.
f. Pendirian dan perencanaan bangunan sekolah
Pendirian dan perencanaan bangunan sekolah ini meliputi:
1) Cara memilih letak dan menentukan luas tanah yang dibutuhkan.
2) Mengusahakan, merencanakan, menggunakan biaya pendirian gedung sekolah.
3) Menentukan jumlah dan luas ruangan-ruangan kelas, kantor, gudang, asrama, lapangan olah raga, podium, kebun sekolah, dsb,. Serta komposisinya satu sama lain.
4) Cara-cara penggunaan gedung sekolahdan fasilitas-fasilitas lain yang efektif dan produktif, serta pemeliharaannya secara kontinyu.
5) Alat-alat perlengkapan sekolah dan alat-alat pelajaran yang dibutuhkan.
6) Apa yang tercantum pada nomor 1 s/d 5 di atas sangat erat hubungannya dengan kurikulum, kondisi-kondisi, serta kemajuan masyarakat setempat dan bertambahnya jumlah anak-anak setiap tahunnya yang memerlukan sekolah tersebut.
g. Hubungan sekolah dengan masyarakat
Hal ini mencakup hubungan sekolah dengan sekolah-sekolah lain, hubungan sekolah dengan pemerintah setempat, hubungan sekolah dengan instansi-instansi dan jawatan-jawatan lain, dan hubungan sekolah dengan masyarakat pada umumnya. Hendaknya semua hubungan itu merupakan hubungan kerja sama yang bersifat pedagogis, sosiologis dan produktif, yang dapat mendatangkan keuntungan dan perbaikan serta kemajuan bagi kedua belah pihak.
2.4 Fungsi Manajemen Pendidikan
Fungsi manajemen pendidikan pada dasarnya tidak berbeda dengan fungsi-fungsi manajemen pada umumnya, sekalipun ada perbedaan itu tidak terletak pada subtansinya, tetapi pada praktek pelaksanaan fungsi-fungsi tersebut karena dipengaruhi oleh jenis, tipe dan karakteristik organisasi serta manajer dan anggota organisasi.
Adapun beberapa fungsi manajemen yang diungkapkan para ahli adalah sebagai berikut:
a. George R. Terry dalam bukunya priciples of management adalah POAC (planning, organizing, actuating dan controlling),
b. Koontz, O’donnel & Nielander: perencanaan (planning), mengorganisasi (organizing), pengadaan (staffing), mengarahkan (directing) dan mengawasi (controlling),
c. Henry Fayol: (planning, organizing, commanding, cordinatong dan controlling),
d. Luther M. Gullick: perencanaan (planning), mengorganisasi (organizing), pengadaan tenaga kerja (staffing), mengarahkan (directing), menyeleraskan/mengkoordinasikan (coordinating), melaporkan (reporting), menyusun anggaran (budgeting),
e. Bennet Silalahi: perencanaan (planning), pengambilan keputusan (decision making) dan ketatalaksanaan (implementation) serta fungsi terakhir dipecahkan kembali menurut besar kecilnya perusahaan: membina organisasi (organizational development), memimpin (leading) dan mengawasi (controlling).
Sekalipun para ahli tersebut berbeda pendapat, tapi dapat kita temukan beberapa inti dari fungsi manajemen tersebut. Semua fungsi manajemen tersebut di atas dapat diterapkan dalam manajemen pedidikan. Adapun aplikasi fungsi-fungsi manajemen pendidikan adalah sebagai berikut:
a. Perencanaan (Planing)
Perencanaan pendidikan pada hakikatnya tidak lain daripada proses pemikiran yang sistematis, analisis yang rasional mengenai apa yang akan dilakukan, bagaimana melakukannya, siapa pelaksananya, dan kapan suatu kegiatan dilaksanakan dalam rangka peningkatan mutu pendidikan lebih efektif dan efisien sehingga proses pendidikan itu dapat memenuhi tuntutan/ kebutuhan masyarakat. Perencanaan pendidikan dimaksudkan untuk mempersiapkan semua komponen pendidikan, agar dapat terlaksana proses belajar mengajar yang baik dalam penyelenggaraan pendidikan.
b. Pengorganisasian (Organizing)
Istilah “organizing” berasal dari kata “organism” yang mempunyai arti menciptakan suatu struktur dengan bagian-bagian yang terintegrasi, sehingga mempunyai hubungan yang saling mempengaruhi satu sama lain. Pengorganisasian pendidikan ditujukan untuk menghimpun semua potensi komponen pendidikan dalam suatu organisasi yang sinergis untuk dapat menyelenggarakan pendidikan dengan sebaik-baiknya.
c. Penggerakan (Actuating)
Menurut George R. Terry, actuating adalah menempatkan semua anggota dari kelompok agar bekerja secara sadar untuk mencapai suatu tujuan yang ditetapkan sesuai dengan perencanaan dan pola organisasi. Penggiatan atau penggerakan pendidikan merupakan pelaksanaan dari penyelenggaraan pendidikan yang telah direncanakan dan dilaksanakan oleh organisasi penyelenggara pendidikan dengan memparhatikan rambu-rambu yang telah ditetapkan dalam perencanaan.
d. Pengawasan (Controlling)
Pengawasan adalah proses pengamatan daripada pelaksanaan seluruh kegiatan organisasi untuk menjamin agar semua pekerjaan yang dilakukan berjalan sesuai dengan rencana yang sudah ditentukan sebelumnya. Pengawasan dan pengendalian pendidikan dimaksudkan untuk menjaga agar penyelenggaraan pendidikan dilaksanakan sesuai yang direncanakan dan semua komponen pendidikan digerakkan secara sinergis dalam proses yang mengarah kepada pencapaian tujuan pendidikan.
2.5 Komponen-Komponen Manajemen Pendidikan
Manajemen pendidikan, memberikan kewenangan penuh kepada pihak sekolah untuk merencanakan, mengorganisasikan, mengarahkan, mengkoordinasikan, mengawasi, dan mengevaluasi komponen-komponen pendidikan sekolah yang bersangkutan. Adapun komponen manajemen pendidikan yaitu:
a. Manajemen Kesiswaan
Penerimaan siswa baru pada sekolah inklusi hendaknya memberi kesempatan dan peluang kepada anak luar biasa untuk dapat diterima dan mengikuti pendidikan di sekolah inklusi terdekat. Untuk tahap awal, agar memudahkan pengelolaan kelas, seyogianya setiap kelas inklusi dibatasi tidak lebih dari 2 (dua) jenis anak luar biasa, dan jumlah keduanya tidak lebih dari 5 (lima) anak.
Manajemen Kesiswaan bertujuan untuk mengatur berbagai kegiatan kesiswaan agar kegiatan belajar-mengajar di sekolah dapat berjalan lencar, tertib, dan teratur, serta mencapai tujuan yang diinginkan.
Manajemen Kesiswaan meliputi antara lain: (1) Penerimaan Siswa Baru; (2) Program Bimbingan dan Penyuluhan; (3) Pengelompokan Belajar Siswa; (4) Kehadiran Siswa; (5) Mutasi Siswa; (6) Papan Statistik Siswa; (7) Buku Induk Siswa.
b. Manajemen Kurikulum
Kurikulum mencakup kurikulum nasional dan kurikulum muatan lokal. Kurikulum nasional merupakan standar nasional yang dikembangkan oleh Departemen Pendidikan Nasional. Sedangkan kurikulum muatan lokal merupakan kurikulum yang disesuaikan dengan keadaan dan kebutuhan lingkungan, yang disusun oleh Dinas Pendidikan Propinsi dan/atau Kabupaten/Kota.
Manajemen Kurikulum antara lain meliputi: (1) Modifikasi kurikulum nasional sesuai dengan kemampuan awal dan karakteristik siswa; (2) Menjabarkan kalender pendidikan; (3) Menyusun jadwal pelajaran dan pembagian tugas mengajar; (4) Mengatur pelaksanaan penyusunan program pengajaran persemester dan persiapan pelajaran; (5) Mengatur pelaksanaan penyusunan program kurikuler dan ekstrakurikuler; (6) Mengatur pelaksanaan penilaian; (7) Mengatur pelaksanaan kenaikan kelas; (8) Membuat laporan kemajuan belajar siswa; (9) Mengatur usaha perbaikan dan pengayaan pengajaran.
c.Manajemen Tenaga Kependidikan
Tenaga kependidikan bertugas menyelenggarakan kegiatan mengajar, melatih, meneliti, mengembangkan, mengelola, dan/atau memberikan pelayanan teknis dalam bidang pendidikan.
Tenaga kependidikan di sekolah meliputi Tenaga Pendidik (Guru), Pengelola Satuan Pendidikan, Pustakawan, Laboran, dan Teknisi sumber belajar.
Guru yang terlibat di sekolah inklusi yaitu Guru Kelas, Guru Mata Pelajaran (Pendidikan Agama serta Pendidikan Jasmani dan Kesehatan), dan Guru Pembimbing Khusus.
Manajemen tenaga kependidikan antara lain meliputi: (1) Inventarisasi pegawai; (2) Pengusulan formasi pegawai; (3) Pengusulan pengangkatan, kenaikan tingkat, kenaikan berkala, dan mutasi; (4) Mengatur usaha kesejahteraan; (5) Mengatur pembagian tugas.
d. Manajemen Sarana-Prasarana
Di samping menggunakan sarana-prasarana seperti halnya anak normal, anak luar biasa perlu pula menggunakan sarana-prasarana khusus sesuai dengan jenis kelainan dan kebutuhan anak.
Manajemen sarana-prasarana sekolah bertugas merencanakan, mengorganisasikan, mengarahkan, mengkoordinasikan, mengawasi, dan mengevaluasi kebutuhan dan penggunaan sarana-prasarana agar dapat memberikan sumbangan secara optimal pada kegiatan belajar-mengajar.
e. Manajemen Keuangan/Dana
Komponen keuangan sekolah merupakan komponen produksi yang menentukan terlaksananya kegiatan belajar-mengajar bersama komponen-komponen lain. Dengan kata lain, setiap kegiatan yang dilakukan sekolah memerlukan biaya.
Dalam rangka penyelenggaraan pendidikan, perlu dialokasikan dana khusus, yang antara lain untuk keperluan: (1) Kegiatan identifikasi input siswa, (2) Modifikasi kurikulum, (3) Insentif bagi tenaga kependidikan yang terlibat, (4) Pengadaan sarana-prasarana, (5) Pemberdayaan peranserta masyarakat, dan (6) Pelaksanaan kegiatan belajar-mengajar.
Pada tahap perintisan sekolah , diperlukan dana bantuan sebagai stimulasi, baik dari pemerintah pusat maupun pemerintah daerah. Namun untuk penyelenggaraan program selanjutnya, diusahakan agar sekolah bersama-sama orang tua siswa dan masyarakat (Dewan Pendidikan dan Komite Sekolah), serta pemerintah daerah dapat menanggulanginya.
Dalam pelaksanaannya, manajemen keuangan menganut asas pemisahan tugas antara fungsi : (1) Otorisator; (2) Ordonator; dan (3) Bendaharawan. Otorisator adalah pejabat yang diberi wewenang untuk mengambil tindakan yang mengakibatkan penerimaan dan pengeluaran anggaran. Ordonator adalah pejabat yang berwenang melakukan pengujian dan memerintahkan pembayaran atas segala tindakan yang dilakukan berdasarkan otorisasi yang telah ditetapkan.
Bendaharawan adalah pejabat yang berwenang melakukan penerimaan, penyimpanan, dan pengeluaran uang serta diwajibkan membuat perhitungan dan pertanggungjawaban.
Kepala Sekolah, sebagai manajer, berfungsi sebagai Otorisator dan dilimpahi fungsi Ordonator untuk memerintahkan pembayaran. Namun, tidak dibenarkan melaksanakan fungsi Bendaharawan karena berkewajiban melakukan pengawasan ke dalam. Sedangkan Bendaharawan, di samping mempunyai fungsi-fungsi Bendaharawan, juga dilimpahi fungsi Ordonator untuk menguji hak atas pembayaran.
f. Manajemen Lingkungan (Hubungan Lembaga Pendidikan dengan Masyarakat)
Sekolah sebagai suatu system social merupakan bagian integral dari system social yang lebih besar, yaitu masyarakat. Maju mundurnya sumber daya manusia (SDM) pada suatu daerah, tidak hanya bergantung pada upaya-upaya yang dilakukan sekolah, namun sangat bergantung kepada tingkat partisipasi masyarakat terhadap pendidikan. Semakin tinggi tingkat partisipasi masyarakat terhadap pendidikan di suatu daerah, akan semakin maju pula sumber daya manusia pada daerah tersebut. Sebaliknya, semakin rendah tingkat partisipasi masyarakat terhadap pendidikan di suatu daerah, akan semakin mundur pula sumber daya manusia pada daerah tersebut.
Oleh karena itu, masyarakat hendaknya selalu dilibatkan dalam pembangunan pendidikan di daerah. Masyarakat hendaknya ditumbuhkan “rasa ikut memiliki” sekolah di daerah sekitarnya. Maju-mundurnya sekolah di lingkungannya juga merupakan tanggungjawab bersama masyarakat setempat. Sehingga bukan hanya Kepala Sekolah dan Dewan Guru yang memikirkan maju mundurnya sekolah, tetapi masyarakat setempat terlibat pula memikirkannya.
Untuk menarik simpati masyarakat agar mereka bersedia berpartisipasi memajukan sekolah, perlu dilakukan berbagai hal, antara lain dengan cara memberitahu masyarakat mengenai program-program sekolah, baik program yang telah dilaksanakan, yang sedang dilaksanakan, maupun yang akan dilaksanakan sehingga masyarakat mendapat gambaran yang jelas tentang sekolah yang bersangkutan.
2.6 Tujuan Manajemen Pendidikan
Perlunya manajemen dalam pendidikan adalah untuk mengantisipasi perubahan global yang disertai oleh kemajuan ilmu pengetahun dan teknologi informasi. Perubahan itu sendiri sangat cepat dan pesat, sehingga perlu ada perbaikan yang berkelanjutan (continous improvement) di bidang pendidikan sehingga output pendidikan dapat bersaing dalam era globalisasi seiring dengan kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi khususnya teknologi informasi.
Persaingan tersebut hanya mungkin dimenangkan oleh lembaga pendidikan yang tetap memperhatikan kualitas pendidikan dalam pengelolaannya. Sebab syarat untuk bisa bersaing adalah perbaikan yang berkelanjutan dalam organisasi, utamanya dalam peningkatkan pendidikan sesuai konsep total kualitas terpadu (TQM) pada perguruan tinggi, seperti diuraikan oleh Ralph G.Lewis dan Doughlas H.Smith, Total Quality in Higher Education, 1994-p.63 bahwa setidaknya terdapat sembilan unsur yang berkait yaitu: fokus pada kebutuhan pasar; punya performans yang tinggi dalam semua bidang; punya sistem pencapaian kualitas; ada ukuran prestasi; pengembangan nilai persaingan; anggota yang baik; perbaikan komunikasi internal dan eksternal; pemberian reward; adanya proses review yang secara berkelanjutan. Secara normatif penerapan kesembilan poin tersebut menjadi ukuran dan titik tolak untuk membuat citra pendidikan yang lebih baik, terutama pendidikan tinggi sebagai gudang ilmu pengetahuan dan teknologi masa depan.
Dengan begitu maka tujuan dan manfaat manajemen perencanaan pendidikan adalah:
a. Mengetahui permasalahan dalam rangka percepatan penuntasan Wajar 9 tahun
b. Menyusun rencana dan merumuskan tujuan
c. Mengidentifikasi kelemahan, kekuatan, peluang dan ancaman dalam perencanaan
d. Sebagai acuan dalam penetapan anggaran pendidikan
e. Sebagai alat pengendalian dalam pelaksanaan pembangunan pendidikan khususnya dalam percepatan Wajar 9 tahun
Selain itu, manfaat manajemen pendidikan; Pertama, terwujudnya suasana belajar dan proses pembelajaran yang Aktif, Inovative, Kreatif, Efektif, dan Menyenangkan (PAIKEM); Kedua, terciptanya peserta didik yang aktif mengembangkan potensinya untuk memiliki kekuatan spritual keagamaan pengendalian diri, kepribadian, kecerdasan, akhlak mulia, serta ketrampilan yang diperlukan dirinya, masyarakat, bangsa dan negara; Ketiga, terpenuhinya salah satu dari 4 kompetensi tenaga pendidik dan kependidikan (tertunjangnya kompetensi profesional sebagai pendidik dan tenaga kependidikan sebagai manajer); Keempat, tercapainya tujuan pendidikan secara efektif dan efisien; Kelima, terbekalinya tenaga kependidikan dengan teori tentang proses dan tugas administrasi pendidikan (tertunjangnya profesi sebagai manajer pendidikan atau konsultan manajemen pendidikan); Keenam, teratasinya masalah mutu pendidikan.
2.7 Manajer Pendidikan
Dalam pelaksanaan manajemen, termasuk manajemen pendidikan/ sekolah, perlu seorang manajer/pemimpin/administrator yang berpandangan luas dan berkemampuan, baik dari segi pengetahuan, keterampilan, maupun sikap.
Seorang manajer/ pemimpin/ administrator pendidikan/ sekolah diharapkan:
1. Memiliki pengetahuan tentang administrasi pendidikan/sekolah yang meliputi kegiatan mengatur: kesiswaan, kurikulum, ketenagaan, sarana-prasarana, keuangan, hubungan dengan masyarakat dan kegiatan belajar-mengajar.
2. Memiliki keterampilan dalam bidang: perencanaan, pengorganisasian, pengarahan, pengkoordinasian, pengawasan, dan penilaian pelaksanaan kegiatan yang ada di bawah tanggungjawabnya.
3. Memiliki sikap:Memahami dan melaksanakan kebijakan yang telah digariskan oleh pimpinan; Menghargai peraturan-peraturan serta melaksanakannya; Menghargai cara berpikir yang rasional, demokratis, dinamis, kreatif, dan terbuka terhadap pembaharuan pendidikan serta bersedia menerima kritik yang membangun dan saling mempercayai sebagai dasar dalam pembagian tugas.
Pelaksanaan format baru pengelolaan pendidikan dalam paradigma baru pendidikan Nasional itu, maka Undang-undang Sisdiknas mengatur dengan cermat tentang pengelolaan pendidikan dengan mengurangi peran dan kewenangan pemerintah, yaitu peran yang lebih besar sebagai regulator, fasilitator, evaluator, dan pengawas. Meskipun demikian masih ada beberapa sektor yang dapat dikelola oleh pemerintah )dan Pemerintah daerah) seperti pengelolaan satuan pendidikan nonformal (pasal 52 ayat 1 Undang-undang Sisdiknas: “Pengelolaan satuan Pendidikan nonformal dilakukan oleh Pemerintah daerah dan atau mayarakat).
Selain itu Pemerintah Kabupaten atau Kota mengelola pendidikan dasar dan pendidikan menengah serta satuan pendidikan yang berbasis keunggulan lokal (pasal 50 ayat 5). Sedang pemerintah Propinsi melakukan koordinasi atas penyelanggaraan pendidikan pengembangan tenaga kependidikan lintas daerah kabupaten atau kota oleh tingkat pendidikan dasar dan menengah (pasal 50 ayat 4). Khusus bagi perguruan tinggi diberi kewenangan menentukan kebijakan dan memiliki otonomi dalam mengelola pendidikan di lembaganya (pasal 50 ayat 6). Meskipun sudah banyak kewenangan Pemerintah (pusat) yang dilimpahkan kepada Pemerintah daerah dan kepada kesatuan pendidikan, namun dalam pengelolaan sistem pendidikan Nasional tetap meruapakan tanggung jawab Menteri, yaitu menteri yang bertangguang jawab dalam bidang pendidikan Nasional. Dalam hal ini yang dimaksud adalah Menteri Pendidikan Nasional (Mendiknas). Dengan demikian Mendiknas bertanggung jawab terhadap keseluruhan komponen pendidikan yang paling terkait secara terpadu untuk mencapai tujuan nasional (pasal 1 butir 30 dan butir 3).
Selain dari fungsi dan peran sebagai penyelanggara satuan pendidikan bertaraf internasional dan fungsi koordinator oleh pemerintah propinsi secara fungsi pengelolaan pendidikan non formal dan pengelolaan pendidikan dasar dan menengah oleh Pemerintah Kabupaten atau Kota, maka selebihnya Pemerintah (dan pemerintah daerah) harus berkonsentrasi kepada fungsi sebagai regulator (perumus kebijakan pendidikan nasional), fasilitator (menyediakan fasilits, layanan dan kemudahan), evaluator ( mengevaluasi program studi dan atau satuan pendidikan dan pengawas). Semuanya itu tanggung jawab Mentri
BAB III
KESIMPULAN
Dengan demikian dapat disimpulkan, menurut M. Bartol dan David C. Martin yang dikutip oleh A.M. Kadarman SJ dan Jusuf Udaya (1995), manajemen adalah proses untuk mencapai tujuan–tujuan organisasi dengan melakukan kegiatan dari empat fungsi utama yaitu merencanakan (planning), mengorganisasi (organizing), memimpin (leading), dan mengendalikan (controlling). Dengan demikian, manajemen adalah sebuah kegiatan yang berkesinambungan. Sedangkan menurut Stoner sebagaimana dikutip oleh T. Hani Handoko (1995), manajemen adalah proses perencanaan, pengorganisasian, pengarahan, dan pengawasan usaha-usaha para anggota organisasi dan penggunaan sumber daya-sumber daya organisasi lainnya agar mencapai tujuan organisasi yang telah ditetapkan.
Administrasi lebih luas daripada manajemen, namun manajemen sekaligus merupakan inti dari kegiatan administrasi yang bertugas melaksanakan semua kegiatan yang ditentukan pada tingkat administrasi.
Adapun ruang lingkup atau obyek dari manejemen pendidikan itu membahas tentang:
Tata laksana sekolah
Personel guru dan pegawai sekolah
Siswa
Supervisi pengajaran
Pelaksanaan dan pembinaan kurikulum
Pendirian dan perencanaan sekolah
Hubungan sekolah dengan masyarakat
Adapun fungsi manajemen yang diungkapkan para ahli berbeda, tapi yang paling terkenaladalah yang di ungkapkanoleh George R. Terry dalam bukunya priciples of management adalah POAC (planning, organizing, actuating dan controlling),
Dengan begitu maka tujuan dan manfaat manajemen perencanaan pendidikan adalah:
a. Mengetahui permasalahan dalam rangka percepatan penuntasan Wajar 9 tahun
b. Menyusun rencana dan merumuskan tujuan
c. Mengidentifikasi kelemahan, kekuatan, peluang dan ancaman dalam perencanaan
d. Sebagai acuan dalam penetapan anggaran pendidikan
e. Sebagai alat pengendalian dalam pelaksanaan pembangunan pendidikan khususnya dalam percepatan Wajar 9 tahun.
DAFTAR PUSTAKA
Arifin, Anwar, (2006), Format Baru Pengelolaan Penelitian, Jakarta: Pustaka Indonesia
Azharighalib, Landasan Ontologi, Epistimologi dan Aksiologi Manajemen Pendidikan, (http://azharighalib.wordpress.com)
Bafedal, Ibrahim, Dr., (2003), Menejemen Peningkatan Mutu Sekolah Dasar.
Burhanuddin, (1994), Analisis Administrasi, Manajemen dan Kepemimpinan Pendidikan, Jakarta: Bumi Aksara
Fattah, Nanang, Dr., (2008), Landasan Manajemen Pendidikan, Bandung: PT. Remaja Rosda Karya
Google.com
Supriyatno, Triyo dan Marno, M. Ag., (2008), Manajemen dan Kepemimpinan Pendidikan Islam, Malang: PT. Refika Aditama
Usman, Husaini (2006), Manajemen: Teori, Praktik dan Riset Pendidikan, Jakarta, PT Bumi Aksara
Langganan:
Postingan (Atom)