BAB 1
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Manusia adalah makhluh sosial. Dalam kehidupannya manusia tidak lepas dari manusia lain. Mereka melakukan interaksi dengan yang lainnya tentu saja tidak lepas dari yang namanya bahasa.Bahasa yang digunakan oleh masyarakt Indonesia senantiasa mengalami perkembangan.Karena, bahasa memang bersifat dinamis.Setiap hari, hampir bahasa mengalami penambahan.Meski demikian, kita sebagai wargga masyarakat Indonesia yang baik, kita harus senantiasa memperhatikan bahasa-bahasa yang kita gunakan dalam bertutur.
Masyarakat Indonesia terkenal sebagai masyarakat yang santun.Orang luar negeri hampir mengenal masyarakat Indonesia selalu menampilkan prilaku yang menunjukan kesantunan dalam segala hal.Masyarakat Indonesia senantiasa menjaga sikap baik dalam bertindak maupun dalam bertutur.
Kesantunan bertutur termasuk salah satu aspek yang menjadi perhatian masyarakat luas.Dalam bertutur, kita harus senantiasa memperhatikan kesantunan.Kesantunan berbahasa ini salah satunya dipelajari dalam mata kuliah pragmatik.Pragmatik membahas makna satuan bahasa secara eksternal.Jika semantic mempelajarinya secara internal, maka pragmatic tidak seperti itu.Jika secara semantic rangkaian kata tertentu dianggapa salah, maka secara pragmatic bisa saja dikatakan benar.
Oleh karena itu, dalam makalah ini kami akan mencoba memaparkan kesantunan dalam bertutur, ditinjau dari segi pragmatik. Banyak teori yang dikemukakan oleh para tokoh.Tokoh-tokoh ini memaparkan berbagai pendapat mereka. Semuanya berbeda pendapat, akan tetapi, kesemuanya bisa dijadikan pegangan kita dalam berinteraksi dengan orang lain. Yakni interaksi yang memperhatikan kesantunan dalam bertutur, agar tercipta keharmonisan hubungan antara satu individu dengan individu yang lain.
Maka dari itu, disini kami penulis akan mencoba merumuskan masalahnya. Supaya pemaparan kami tidak terlalu meluas kemana-mana.Sehingga pembaca mudah dalam memahami. Adapun rumusan masalah dari teori tentang kesantunan bertutur itu yakni:
1.2. Rumusan Masalah
Pertanyaan dalam makalah ini dapat dirumuskan sebagai berikut:
1. Siapa sajakah tokoh yang memaparkan tentang teori kesantunan bertutur?
2. Bagaimana teori yang mereka kemukakan terkait kesantunan bertutur?
3. Bagaimana skala kesantunan menurut para tokoh?
4. Hal apa sajakah yang menyebabkan ketidaksantunan dalam bertutur?
5. Syarat apa saja sebuah tutur bisa dikatakan sopan?
1.3. Tujuan Penulisan
Makalah ini disusun bertujuan untuk:
1. Untuk mengetahui tokoh yang mengeluarkan teori kesantunan bertutur
2. Untuk mengetahui teori yang mereka kemukakan terkait kesantunan bertutur
3. Untuk mengetahui skala kesantunan menurut para tokoh
4. Untuk mengetahui penyebab ketidaksantunan dalam bertutur
5. Untuk mengetahui tutur yang dinggap memenuhi maksim kesopanan
1.4. Manfa’at Penulisan
Manfa’at yang ingin dicapai dari makalah ini:
1. Dapat mengetahui tokoh yang mengeluarkan teori kesantunan bertutur
2. Dapat mengetahui teori yang mereka kemukadinggakan terkait kesantunan bertutur
3. Dapat mengetahui skala kesantunan menurut para tokoh
4. Dapat mengetahui penyebab ketidaksantunan dalam bertutur
5. Dapat mengetahui tuturan yang dianggap memenuhi maksim kesopanan
BAB II
PEMBAHASAN
A. Landasan Teori
Teori-teori dalam makalah ini dikemukakan oleh beberapa tokoh. Diantaranya: Robin Lakoff, Bruce Fraser, Brown dan Levinson, Geoffrey Leech, Pranowo.
kalau tuturan kita ingin terdengar santun di telinga pendengar atau lawan tutur kita, ada tiga buah kaidah yang harus kita patuhi. Ketiga buah kaidah kesantunan itu adalah formalitas (formality), ketidak tegasan (hesitancy), dan persamaan atau kesekawanan (equality or camaraderie)( Robin Lakof: 1973).
Bruce Fraser (1978) mengemukakan: “kesantunan adalah properti yang diasosiasikan dengan tuturan dan di dalam hal ini menurut pendapat si lawan tutur, bahwa si penutur tidak melampaui hak-haknya atau tidak mengingkari dalam memenuhi kewajibannya”. Sedangkan Brown dan Levinson (1979) mengemukakan: “teori kesantunan berbahasa itu berkisar atas nosi muka (face). Sedangkan Geoffrey Leech (1983) mengajukan :”teori kesantunan berdasarkan prinsip kesantunan (politeness principles),yang dijabarkan menjadi maksim (ketentuan,ajaran).Sementara Pranowo tidak memberikan teori mengenai kesantunan berbahsa.
2.1 Teori Kesantunan
Ada sejumlah pakar yang telah menulis mengenai teori kesantunan berbahasa.Diantaranya adalah Lakoff (1973), Fraser (1978), Brown dan Levenson (1978), Leech (1983), dan Pranowo (2009). Secara singkat pendapat mereka akan dijelaskan berikut ini.
2.1.1 Robin Lakoff
Lakoff (1973) mengatakan kalau tuturan kita ingin terdengar santun di telinga pendengar atau lawan tutur kita, ada tiga buah kaidah yang harus kita patuhi.Ketiga buah kaidah kesantunan itu adalah formalitas (formality), ketidak tegasan (hesitancy), dan persamaan atau kesekawanan (equality or camaraderie).Ketiga kaidah itu apabila dijabarkan, maka yang pertama kualitas, berarti jangan memaksa atau angkuh (aloof); yang kedua ketidaktegasan berarti buatlah sedemikian rupa sehingga lawan tutur dapat menentukan pilihan (option)dan yang ketiga persamaan atau kesekawanan, berarti bertindaklah seolah-olah anda dan lawan tutur anda menjadi sama.
Jadi, menurut Lakoff, sebuah tuturan dikatakan santun apabila ia tidak terdengar memaksa atau angkuh, tuturan itu memberi pilihan kepada lawan tutur, dan lawan tutur merasa tenang. Ketiga tuturan berikut kiranya memenuhi harapan Lakoffit.
(1) Kami mohon bantuan Anda untuk turut membiayai anak-anak yatim itu.
(2) Mari kita bersama-sama membantu membiayai anak-anak yatim itu.
(3) Kami bangga bahwa Anda mau membantu membiayai anak-anak yatim itu.
Bandingkan dengan tuturan berikut yang tidak mematuhi ketiga kaidah Lakoff di atas.
(4) Anda harus membantu kami membiayai anak-anak yatim itu.
(5) Anda tentu dapat membantu membiayai anak-anak yatim itu.
(6) Dosa-dosa dan segala kesalahan Anda tentu akan dihapus Alloh kalau anda mau membantu membiayai anak-anak yatim itu.
2.1.2 Bruce Fraser
Fraser (1978) dan dalam Gunarwan (1994) membahas kesantunan berbahasa bukan atas dasar kaidah-kaidah, melainkan atas dasar strategi. Fraser juga membedakan kesantunan (politeness) dari penghormatan ( deference). Apa beda keduanya?
Bagi Fraser (1978) kesantunan adalah properti yang diasosiasikan dengan tuturan dan di dalam hal ini menurut pendapat si lawan tutur, bahwa si penutur tidak melampaui hak-haknya atau tidak mengingkari dalam memenuhi kewajibannya.Sedangkan penghormatan adalah bagian dari aktifitas yang berfungsi sebagai sarana simbolis untuk menyatakan penghargaan secara regular. Jadi, kalau seseorang tidak menggunakan bahasa sehari-hari kepada seorang pejabat di kantornya, maka orang itu telah menunjukan hormat, menurut Fraser belum tentu berprilaku santun karena kesantunan adalah masalah lain.
Mengenai definisi kesantunan dari Fraser, menurut Gunarwan (1994) ada tiga hal yang perlu diulas.Pertama, kesantuna itu adalah property atau bagian dari tuturan; jadi, bukan tuturan itu sendiri.Kedua, pendapat pendengarlah yang menentukan apakah kesantunan itu terdapat pada sebuah tuturan.Mungkin saja sebuah tuturan dimaksudkan sebagai tuturan yang santun oleh si penutur, tetapi di telinga lawan tutur, tuturan itu ternyata tidak terdengar santun; begitu pula sebaliknya.Ketiga,kesantunan itu dikaitkan dengan hak dan kewajiban peserta pertuturan .Artinya,apakah sebuah tuturan terdengar santun atau tidak diukur berdasarkan (a) apakah si penutur tidak melampaui haknya terhadap lawan tuturnya;dan (b) apakah si penutur memenuhi kewajibannya kepada lawan tuturnya itu.
Persoalan kita sekarang,apakah yang dimaksud dengan hak dan kewajiban itu di dalam suatu penuturan.Yang dimaksud dengan hak di sini adalah sesuatu yang menjadi milik penutur atau lawan tutur;dan yang dimaksud dengan kewajiban adalah keharusan yang harus dilakukan oleh peserta pertuturan.Di antara hak-hak penutur dalam suatu proses pertuturan adalah hak untuk bertanya,misalnya.Namun,hak ini bukanlah tanpa batas.Maksudnya,ada pertanyaan yang boleh dilakukan kepada lawan tutur akan tetapi,ada pula tidak boleh atau tidak pantas dilakukan umpamanya dua orang yang baru saling mengenal yang bertemu di lobi hotel (terutama bila keduanya berjenis kelamin yang sama) boleh saja yang seorang bertanya “Tinggalnya di kamar berapa?” dan pertanyaan itu terdengar sopan.Akan tetapi pertanyaan yang sama akan terdengar tidak santun bila si penanya adalah pria dan di Tanya adalah wanita,dan kedua-duanya baru saja saling berkenalan di lobi hotel.
Salah satu yang menjadi kewajiban peserta pertuturan adalah kewajiban untuk menjawab.Tindakan tidak menjawab.merupakan tindakan yang tidak santun.Tentu saja ia mempunyai hak untuk tidak menjawab misalnya bila pertanyaan terdengar tidak santun.
2.1.3 Brown dan Levinson
Pakar lain,Brown dan Levinson (1979), mengatakan teori kesantunan berbahasa itu berkisar atas nosi muka (face).Semua orang yang rasional punya muka (dalam arti kiasan tertentu); dan muka itu harus dijaga,dipelihara,dan sebagainya.Ungkapan-ungkapan dalam bahasa Indonesia seperti kehilangan muka,menyembunyikan muka,menyelamatkan muka,dan mukanya jatuh,mungkin lebih bisa menjelaskan konsep muka ini dalam kesantunan berbahasa.Muka ini harus dijaga,tidak boleh direndahkkan orang.
Brown dan Levinson mengatakan muka itu ada dua segi yaitu muka negative dan muka positif.Apa maksudnya? Apa yang dimaksud dengan muka negative dan muka positif itu?
Muka negative itu mengacu pada citra diri setiap orang yang rasional yang berkeinginan agar ia dihargai dengan jalan membiarkannya bebas melakukan tindakan atau membiarkannya bebas sesuatu dari keharusan mengerjakannya sesuatu.Bila tindak tuturnya bersifat direktif (misalnya perintah atau permintaan) yang terancam adalah suka negative.Hal ini karena dengan memerintah atau meminta seseorang melakukan sesuatu,kita sebenarnya telah menghalangi kebebasanya untuk melakukan (bahkan untuk menikmati tindakanya).Umpamanya,kita suruh seseorang yang sedang duduk-duduk asyik membaca Koran untuk mengerjakan sesuatu.Ini sama artinya dengan tidak membiarkannya melakukan dan menikmati kegiatannya itu.Tergantung kepada siapa dia ini dan juga kepada bentuk ujaran yang kita gunakan,orang itu dapat kehilangan muka.Mukanya terancam,dan muka yang terancam itu adalah muka negative.
Sedangkan yang dimaksud dengan muka positif adalah sebaliknya,yakni mengacu pada citra diri setiap orang yang rasional,yang berkeinginan agar yang dilakukannya,apa yang dimilikinya atau apa yang merupakan nilai- nilai yang ia yakini,sebagai akibat dari apa yang dilakukan atau dimilikinya itu,diakui orang lain sebagai suatu hal yang baik,yang menyenangkan,yang patut dihargai,dan seterusnya.Misalnya orang yang memiliki mobil BMW (salah satu mobil mahal); tetapi kepadanya dikatakan
Ah baru BMW,belum Rolls Royce
Dapat saja merasa bahwa yang dimiliinya itu (yang tidak semua orang mampu membelinya) tidak dihargai orang.Muka positifnya terancam jatuh.Tindak tutur mengkritik (yang termasuk tindak tutur ekspresif) dapat juga mengancam muka positif seseorang.Hal ini karena dengan mengkritik kita tidak menghargai atau tidak mengakui apa yang telah dilakukan orang yang kita kritik itu sebagai sesuatu yang baik,yang benar,yang patut dihargai,dan sebagainya.
Menurut Brown dan Levinson (1978) sebuah tindak tutur dapat merupakan ancaman terhadap muka.Tindak tutur seperti ini oleh Brown dan Levinson disebut sebagai Face Threatening Act (FTA) untuk mengurangi kekerasan ancaman itulah di dalam berkomunikasi kita tidak harus selalu menaati.Prinsip kerja sama dalam pertuturan yang diajukan oleh Gries (1975,lihat kembali subbab 3.5) dan kita jadi harus menggunakan prinsip kesantunan yang dikemukakan Leech (lihat subbab 4.1.4).
Karena ada dua sisi muka yang terancam yaitu muka negative dn muka positif maka kesantunan pun dibagi menjadi dua,yaitu kesantunan negative untuk menjaga muka negatife ,dan kesantunan positif untuk menjaga muka positif.Sopan santun dalam pertuturan direktif termasuk kedalam kesantunan negative yang dapat diartikan sebagai usaha untuk menghindarkan konflik penutur – lawan tutur.
Apakah yang terancam selalu muka lawan tutur,seperti pada contoh lawan tutur pemilik mobil BMW di atas.Sebenarnyapenuturpun dapat terancam mukanya oleh tindak tuturnya sendiri.Sebuah ajakan misalnya,dapat membuat muka penuturnya terancam.Umpamanya seorang pemuda (sebagai penutur) dapat melindungi mukanya dari ancaman itu dengan menggunakan tindak tutur tidak langsung.Jadi penggunaan tuturan “Malam minggu punya acara apa?” dari pada menggunakan tindak tutur langsung “Mari nonton film malam minggu ini” (misalnya dituturkan oleh seorang pemuda kepada gadis yang ditaksirnya) dapat ditafsirkan sebagai strategi untuk melindungi muka.Kalau ajakan itu ditolak si pemuda dapat menyelamatkan mukanya (apalagi kalau di tempat umum) dengan boleh bertutur “siapa yang mengajak nonton ?saya kan hanya bertanya apakah situ punya acara”.Dengan demikian ancaman terhadap muka penutur dapat terhindarkan.
Brown dan Levinson (1978) juga mengusulkan untuk menghindarkan ancaman terhadap muka itu,caranya penutur harus “memperhitungkan” derajat keterancaman sebuah tindak tutur (yang akan ia tuturkan) dengan mempertimbangkan di dalam situasi yang biasa,factor factor (1) jarak social di antara penutur dan lawan tutur; (2) besarnya perbedaan kekuasaan atau dominasi di antara keduanya;dan (3) status relative jenis tindak tutur di dalam kebudayaan yang bersangkutan (artinya,ada tindak tuturorang di dalam suatu kebudayaan di anggap tidak terlalu mengancam muka dan sebagainya).Lalu berdasarkan perkiraan itu,si penutur memilih strategi.
Bagaimana bentuk strategi itu,tergantung pada jenis kesantunannya,yaitu kesantunan negative (ada yang menyebutnya deferensial) atau kesantunan positif (ada yang menyebutkan kesantunan afirmatif).Berikut didaftarkan strategi untuk kesantunan negatife yang diangkat dari Gunarwan (1994).Namun,perlu dicatat istilah positif dan negative di sini tidak berkaitan dengan baik dan buruk.
a) Gunakan tuturan tidak langsung (yang secara konvensional digunakan oleh masyarakat yang bersangkutan).Simak contoh (8) berikut.
(8) Bolehkah saya minta tolong ibu mengambilkan buku itu?
b) Gunakan pagar (hedge).Simak contoh (9) berikut
(9) saya sejak tadi bertanya – Tanya dalam hati,apakah Bapak mau menolong saya?
c) Tunjukan sikap pesimis.Simak contoh (10) berikut.
(10) Saya ingin minta tolong,tetapi saya takut Bapak tidak tersedia.
d) Minimalkan paksaan.Simak contoh (11) berikut.
(11) Boleh saya mengganggu bapak barang sebentar?
e) Berikan penghormatan.Simak contoh (12) berikut.
(12) Saya memohon bantuan ibu,saya tau ibu selalu berkenan membantu orang.
f) Mintalah maaf.Simak contoh (13) berikut.
(13) Sebelumnya saya minta maaf atas kenakalan anak saya ini,tetapi……
g) Pakailah bentuk impersonal yaitu dengan tidak menyebutkan penutur dan lawan tutur.Simak contoh (14) berikut.
(14) Tampaknya meja ini perlu dipindahkan
h) Ujarkan tindak tutur itu sebagai kesantunan yang bersifat umum.Simak contoh (15) berikut.
(15) Penumpang tidak diperkenankan merokok di dalam bus.
Selanjutnya di daftar strategi-stategi untuk kesantunan positif menurut Brown dan Levinson (1978) sebagai berikut,diangkat dari pramujiono (2008).
a) Memperhatikan kesukaan,keinginan,dan kebutuhan lawan tutur.Simak contoh (16)dan (17) berikut.
(16) Aduh, …baru potong rambut,ya!
(17) Kamu pasti lapar ya..tadi kan belum sarapan!
b) Membesar-besarkan perhatian,persetujuan,dan simpati kepada lawan tutur.Simak contoh (18) dan (19) berikut.
(18) Wah,sepatumu bagus sekali,Beli di mana ya?
(19) Masakanmu hebat sekali.Benar-benar enak!
c) Mengintensifkan perhatian penutur dengan mendramatisasikan peristiwa dan fakta.Simak contoh (20) dan (21) berikut.
(20) Saya turun tangga dan tahu kamu apa yang kamu lihat …
(21) Kamu tahu …ribuan satpol pp bentrok dengan ribuan warga koja,Tanjung priok dan apa hasilnya …tiga orang satpol pp tewas!
d) Menggunakan penanda identitas kelompok (seperti bentuk sapaan,dialek,jargon atau slang).Simak contoh (22) dan (23) berikut.
(22) Loh,panjenengan mau ke mekkah juga?
(panjenengan = anda)
(23) Bagaimana dul,jadi ikut ngga?
(ngga = tidak)
e) Mencari persetujuan dengan topik yang umum atau mengulang sebagian atau seluruh ujaran penutur (lawan tutur).Simak pertuturan (24) berikut.
(24) A : saya sudah dua kali menelpon,tetapi tidak diangkat
B : oh,sudah dua kali menelpon ya?
f) Menghindari ketidaksetujuan dengan pura-pura setuju,persetujuan yang semu (psedo agreement),menipu untuk kebaikan (white lies),atau pemagaran opini (hedging opinion) simak pertuturan (25); (26) dan (27) berikut.
(25) A : nanti tolong berkas-berkas di meja ini dirapihkan,ya!
B : Baik! (padahal sebenarnya tidak mau merapihkan)
(26) A : bagaimana,masakanku enak ya,pak!
B : oh,ya,enak sekali (berbohong untuk menyenangkan A)
(27) A : Kamu tidak cinta pada gadis itu?
B : Disatu sisi,ya!(pemagaran)
g) Menunjukan hal-hal yang dianggap mempunyai kesamaan melalui basa-basi (small talk) dan peranggapan (presuppastion).Simak contoh (28) dan (29) berikut.
(28) Gimana,semalam nonton tinju,kan!
(29) Aku kira kamu pasti sangat lapar!
h) Menggunakan lelucon.Simak contoh (30) berikut.
(30) Motormu yang sudah butut itu sebaiknya untukku saja,ya!
i) Menyatakan paham atau mengerti akan keinginan lawan tutur.Simak contoh (31) berkut.
(31) Aku tahu kamu tidak suka pesta, tetapi yang ini sangat luar biasa…datang ya?
j) Memberikan tawaran atau janji.Simak contoh (32) berikut.
(32) Aku pasti akan membayar utangku besok.jangan khawatir
k) Menunjukan keoptimisan.Simak contoh (33) berikut.
(33) Tidak masalah!Semuanya ini akan dapat saya selesaikan semuanya besok!
l) Melibatkan penutur dan lawan tutur dalam aktivitas.Simak contoh (34) berikut.
(34) Sebaiknya kita beristirahat dulu sebentar!
m) Memberikan pertanyaan atau meminta alasan.Simak contoh (35) berikut.
(35) Mengapa anda tidak jadi datang kerumah saya?
n) Menyatakan hubungan secara timbal balik (resiprokal).Simak contoh (36) berikut.
(36) Saya mau mengerjakan ini untukmu,kalau kamu mau membuatkan saya secangkir kopi!
o) Memberikan hadiah (barang,simpati,perhatian,kerjasama) kepada lawan tutur.Simak contoh (37) berikut.
(37) Saya akan membantumu pada setiap waktu.
Pada intinya teori yang disampaikan Brown dan Levinson, lebih menitik beratkan pada kesenangan lawan tutur.Bagaimana lawan tutur kita merasa dirinya sedang tidak dibawah paksaan atau perintah.Terkadang demi kebaikan, kita berbohong senantiasa mendukungnya juga diperbolehkan, selama itu tidak berlebihan. Karena dengan begitu, kebaikan juga akan berbalik pada kita, kita akan dengan mudah mendapat bantuan dari lawan tutur kita. Oleh Karena itu, menjaga perasaan lawan tutur angatlah penting menurut Brown dan Levinson ini.
2.1.4 Geoffrey Leech
Pakar lain yang memberi teori tentang kesantunan berbahasa adalah Leech (1983).Beliau mengajukan teori kesantunan berdasarkan prinsip kesantunan (politeness principles),yang dijabarkan menjadi maksim (ketentuan,ajaran).Keenam maksim itu adalah maksim (1) kebijaksanaan (tact); (2) penerimaan (generosity); (3) kemurahan (approbation); (4) kerendahan hasil (modesty); (5) kesetujuan (agreement); (6) kesimpatian (sympathy)
a) Maksim kebijaksanaan menggariskan bahwa setiap peserta pertuturan harus meminimalkan keuntungan bagi orang lain.Contoh berikut (16) sampai dengan (19) dari Leech yang memiliki tingkat kesantunan yang berbeda.Tuturan dengan nomor kecil memiliki tingkat kesantunan yang lebih rendah dibandingkan dengan tingkat kesantunan dengan nomor yang lebih besar.
(16) answer the phone!
(17) will you answer the phone?
(18) can you answer the phone?
(19) would you mind answering the phone?
Dalam bahasa Indonesia contoh (20) sampai dengan (24) yang diangkat dari Wijana (1996) dapat dipertimbangkan kesantunannya.
(20) Datang kerumah saya!
(21) Datanglah kerumah saya!
(22) Silahkan datang kerumah saya
(23) Sudilah kiranya datang kerumah saya!
(24) Kalau tidak keberatan sudilah datang kerumah saya!
Bedasarkan contoh di atas dikatakan bahwa:
a) Semakin panjang seseorang semakin besar pula keinginan orang itu untuk bersikap santun kepada lawan tuturnya.
b) Tuturan yang diutarakan secara tidak langsung,lebih santun dibandingkan dengan tuturan yang diutarakan secara langsung.
c) Memerintah dengan kalimat berita atau kalimat Tanya dipandang lebih santun dibandingkan dengan kalimat perintah (imperative)
Kalau dalam tuturan penutur berusaha memaksimalkan keuntungan orang lain,maka lawan tutur harus pula memaksimalkan kerugian dirinya,bukan sebaliknya.Silahkan bandingkan pertuturan (25) yang mematuhi maksim kebijaksanaan dan pertuturan (26) yang melanggar.
(25) A : mari saya bawakan tas bapak!
B : jangan,tidak usah!
(26) A : Mari saya bawakan tas Bapak!
B : Ini,begitu dong jadi mahasiswa!
b) Maksim penerimaan menghendaki setiap peserta pertuturan untuk memaksimalkan kerugian bagi diri sendiri dan meminimalkan keuntungan diri sendiri.Tuturan (27 dan (28) dipandang kurang santun bila dibandingkan dengan tuturan (29) dan(30).Simak!
(27) pinjami saya uang seratus ribu rupiah!
(28) Ajaklah saya makan di restauran itu!
(29) Saya akan meminjami Anda uang seratus ribu rupiah.
(30) Saya ingin mengajak Anda makan siang di restaurant.
Tuturan (27) dan (28) serasa kurang santun karena penutur berusaha memaksimalkan keuntungan untuk dirinya dengan mengusulkan orang lain dan meminimalkan rasa tidak hormat kepada orang lain.Jadi, menurut Leech, keuntungan bagi lawan tutur sangat diutamakan.Untuk memperjelas,simak pertuturan (31) dan (32) berikut!
(31) A : Sepatumu bagus sekali!
B : Wah,ini sepatu bekas;belinya juga di pasar loak.
(32) A : Sepatumu bagus sekali!
B : Tentu dong,ini sepatu mahal;belinya juga di Singapura!
Penutur A pada (31) dan (32) bersikap santun karena berusaha memaksimalkan keuntungan pada (B) lawan tuturnya.Lalu,lawan tutur pada (31) juga berupa santun dengan berusaha meminimalkan penghargaan diri sendiri; tetapi (B) pada (32) melanggar kesantunan dengan berusaha memaksimalkan keuntungan diri sendiri.Jadi,B pada (32) itu tidak berlaku santun.begitupun bisa dikatakan pertuturan (33) lebih santun dari petuturan (34);tetapi pertuturan (35) lebih santun dari pertuturan (34) Simak baik-baik!
(33) Kue ini sungguh enak.
(34) Kue ini tidak enak.
(35) Kue ini kurang enak.
Coba anda pahami baik-baik santun dan tidaknya pertuturan (33), (34), (35) di atas
c) Maksim kerendahan hati menuntun setiap peserta pertuturan untuk memaksimalkan rasa hormat pada diri sendiri, dan meminimalkan rasa hormat pada diri sendiri. Simak contoh (36) dan (37) berikut. Lalu perhatikan bedanya.
(36) A : Mereka sangat baik kepada kita.
B : Ya, memang sangat baik bukan?
(37)A: Kamu sangat baik pada kami.
B : Ya, memang sangat baik, bukan?
Pertuturan (36) mematuhi prinsip kesantunan karena penutur A memuji kebaikan pihak lain dan respons yang diberikan lawan tutur (B) juga memuji orang yang dibicarakan. Berbeda dengan pertuturan (37) yang di dalamnya ada bagian yang melanggar kesantunan.Pada tuturan (37) itu, lawan tutur B tidak mematuhi maksim kerendahan hati karena memaksimalkan rasa hormat pada diri sendiri. Masalah yang sama bisa kita lihat pada pertuturan (38) dan (39) berikut.
(38) A : Betapa beraninya orang itu.
B : Betul, dia memang berani.
(39) A : Kamu memang sangat berani.
B : Ya memang, semua orang juga bilang begitu.
Agar komentar (B) pada tuturan (39) serasa santun, maka (B) dapat menjawab seperti pada tuturan (40) berikut ini, sehingga terkesan ia meminimalkan rasa hormat bagi dirinya sendiri.
(40) A : Kamu memang sangat berani.
B : Ah tidak, tadikan Cuma kebetulan saja
d) Maksim kecocokan menghendaki agar setiap penutur dan lawan tutur memaksimalkan kesetujuan diantara mereka. Simak pertuturan (41) dan (42). Lalu, perhatikan bedanya!
(41) A : Kericuhan dalam sidang umum DPR itu sangat memalukan.
B : Ya, memang !
(42) A : Kericuhan dalam sidang umum DPRitu sangat memalukan.
B : Ah, tidak apa-apa. Itulah dinamikanya demokrasi.
Tuturan B pada (41) lebih santun dibandingkan dengan tuturan B pada (42), mengapa?Karena pada (42), B tidak memaksimalkan ketidaksetujuan dengan pernyataan A. Namun, bukan berarti orang harus senantiasa setuju dengan pendapat atau pernyataan lawan tuturnya. Dalam hal ia tidak setuju dengan pernyataan lawan tuturnya, dia dapat membuat pernyataan yang mengandung ketidaksetujuan parsial (partial agreement) seperti tampak pada pertuturan (43) dan (44) berikut.
(43) A : Kericuhan dalam sidang umum DPR itu sangat memalukan.
B : Memang, tetapi itu hanya melibatkan beberapa oknum DPR saja.
(44) A : Pembangunan di Ibukota sangat luar biasa, bukan?
B : Ya, memang; tetapi dibangun dengan dana pinjaman luar negeri.
Pertuturan (43) dan (44) terasa lebih santun daripada pertuturan (42) karena ketidaksetujuan B tidak dinyatakan secara total, tetapi secara parsial sehingga tidak terkesan bahwa B adalah orang yang sombong.
e) Maksim kesimpatian mengharuskan semua peserta pertuturan untuk memaksimalkan rasa simpati, dan meminimalkan rasa antipasti kepada lawan tuturnya. Bila lawan tutur memperoleh keberuntungan atau kebahagiaan penutur wajib memberikan ucapan selamat. Jika lawan tutur mendapat kesulitan atau musibah penutur sudah sepantasnya menyampaikan rasa duka atau bela sungkawa sebagai tanda kesimpatian. Simak pertuturan (45) dan (46) yang cukup santun karena si penutur mematuhi maksim kesimpatian, yakni memaksimalkan rasa simpati kepada lawan tuturnya yang mendapatkan kebahagiaan pada (45) dan kedukaan pada (46)
(45) A : Bukuku yang kedua puluh sudah terbit.
B : Selamat ya, Anda memang orang yang hebat.
(46) A : Aku tidak terpilih jadi anggota legislative ; padahal uangku sudah banyak keluar.
B : oh, aku ikut prihatin ; tetapi bisa dicoba lagi dalam pemilu mendatang.
Bandingkan pertuturan (45) dan (46) yang cukup santun dengan pertuturan (47) dan (48) yang tidak santun.
(47) A :Bukuku yang kedua puluh sudah terbit.
B : Belum apa-apa, Pak Tarigan sudah menerbitkan bukunya yang keenam puluh.
(48) A : Aku tidak terpilih jadi anggota legislative padahal uangku sudah banyak keluar.
B : Wah,selamat ya!Anda memang banyak uang.
Sebagai kesimpulan terhadap teori kesantunan dari Leech ini kita bisa menyatakan bahwa:
a) Maksim kebijaksanaan,maksim penerimaan,maksim kemurahan hati dan maksim kerendahan hati adalah maksim yang berhubungan dengan keuntungan atau kerugian diri sendiri dan orang lain.
b) Maksim kecocokan dan maksim kesimpatian adalah maksim yang berhubungan dengan penilaian buruk atau baik penutur terhadap dirinya sendiri atau orang lain.
c) Maksim kebijaksanaan dan maksim kemurahan hati adalah maksim yang berpusat pada orang lain (other centred maxim).
d) Maksim penerimaan dan kerendahan hati adalah maksim yang berpusat pada diri sendiri (self centred maxim).
Pada teori ini kerendahan hati sangat ditonjolkan.Bagaimana tidak, seorang yang dipuji pun, masih harus senantiasa merendahkan hatinya.Ia tidak lantas, meng iyakan apa-apa yang disampaikan oleh lawan tutur. Ia harus senantiasa mengelak dengan pujian yang disampaikan lawan tutur. Keuntungan bagi lawan tutur juga begitu perlu diperhatikan menurut teori ini.
2.1.5 Pranowo
Pranowo seorang Guru Besar pada Universitas Sanata Dharma Yogyakarta tidak memberikan teori mengenai kesantunan berbahasa,melainkan memberi pedoman bagaimana berbicara secara santun.Menurut Pranowo (2009) suatu tuturan akan terasa santun apabila memperhatikan hal-hal berikut:
a) Menjaga suasana perasaan lawan tutur sehingga dia berkenan bertutur dengan kita.
b) Mempertemukan perasaan kita (penutur) dengan perasaan lawan tutur sehingga isi tuturan sama-sama dikehendaki karena sama-sama diinginkan
c) Menjaga agar tuturan dapat diterima oleh lawan tutur karena dia sedang berkenan di hati.
d) Menjaga agar dalam tuturan terlihat ketidak mampuan penutur di hadapan lawan tutur.
e) Menjaga agar dalam tuturan selalu terlihat posisi lawan tutur selalu berada pada posisi yang lebih jauh.
f) Menjaga agar dalam tuturan selalu terlihat bahwa apa yang dikatakan kepada lawan tutur juga dirasakan oleh penutur.
Jadi, mengetahui perasaan yang tengah dirasakan oleh lawan tutur, amatlah penting sekali dalam teori ini. Karena jika ia merasa nyaman berbicara dengan kita, ia akan terus berbincang-bincang dengan kita. Dengan memperhatikan tema yang kita bahas, dan kesamaan keinginan dan tujuan pembicaraan.
Lalu,yang berkenaan dengan bahasa,khususnya diksi,Pranowo (2009) memberi saran agar tuturan terasa santun sebagai berikut:
a) Gunakan kata “tolong” untuk meminta bantuan pada orang lain.
b) Gunakan kata “maaf” untuk tuturan yang diperkirakan akan menyinggung perasaan orang lain.
c) Gunakan kata “terimakasih” sebagai penghormatan atas kebaikan orang lain.
d) Gunakan kata “berkenan” untuk meminta kesediaan orang lainmelakukan sesuatu.
e) Gunakan kata “beliau” untuk menyebut orang ketiga yang dihormati.
f) Gunakan kata “bapak/ibu”untuk menyapa orang lain.
Apa yang dikemukakan oleh Pranowo di atas bukanlah suatu teori,melainkan petunjuk untuk dapat berbahasa dengan santun.Sayangnya beliau tidak menyebutkan petunjuk itu untuk siapa terhadap siapa,sebab kesantunan juga terikat pada siapa penuturnya,siapa lawan tuturnya,apa objek atau topic tuturnya,dan bagaimana konteks situasi.Lebih jauh lihat subbab berikut.
Oleh karena itu, teori penjelasan menurut Pranowo ini mungkin saja cocok bagi sebagian orang, tapi mungkin bagi sebagian orang kurang cocok.Terkain konteks yang digunakan oleh penutur.
2.2 Skala Kesantunan
Yang dimaksud dengan skala kesantunan adalah peringkat kesantunan,mulai yang tidak santun sampai dengan yang paling santun.Berikut akan dibicarakan skala kesantunan dari Lakoff,Brown dan Levinson,dan Leech.
2.2.1 Robin Lakoff
Robin Lakoff (1973) menyatakan ada tiga ketentuan untuk terpenuhi kesantunannya ketidaktegasan (hesitancy scale); (c) skala kesekawanan (equality scale).Berikut penjelasan secara singkat.
a) Skala formalitas (formality scale) menyatakan bahwa agar peserta pertuturan (penutur dan lawan tutur) merasa nyaman dalam kegiatan bertutur,maka tuturan yang digunakan tidak boleh bernada memaksa dan tidak boleh terkesan angkuh.Di dalam pertuturan,masing-masing peserta pertuturan harus saling menjaga keformalitasan dan menjaga jarak yang sewajarnya dn sealamiah mungkin antara yang satu dengan yang lain.Simak tuturan (49) dan (50) berikut!
(49) Anda yang menyelesakan tugas ini nanti sore.
(50) Saya dapat menyelesaikan tugas itu kalau saya mau.
Tuturan (49) terasa memaksa lawan tutur.Untuk tidak terasa memaksa mungkin harus dilakukan dengan tutur (51) berikut:
(51) Dapatkah Anda menyelesaikan tugas ini nanti sore?
Lalu tuturan (50) terasa sombong didengar oleh lawan tutur.Untuk tidak terasa sombong barang kali harus dituturkan,misalnya sebagai tuturan (52) berikut:
(52) Dengan bantuan teman-teman barangkali saya dapat menyelesaikan tugas ini dalam waktu singkat.
b) Skala ketidaktegasan disebut juga skala pilihan (optionality scale) menunjukan agar penutur dan lawan tutur dapat saling merasa nyaman dalam bertutur,maka pilihan-pilihan dalam bertutur harus diberikan oleh kedua belah pihak.Kita tidak boleh bersikap terlalu tegang atau terlalu kaku dalam kegiatan bertutur karena akan dianggap tidak santun.
c) Skala kesekawan menunjukan bahwa agar dapat bersifat santun,kita harus selalu bersikap ramah dan harus selalu mempertahankan persahabatan antara penutur dan lawan tutur.Penutur harus selalu menganggap bahwa lawan tutur adalah sahasabat,begitu juga sebaliknya.Rasa pershbatan ini merupakan salah satu prasyarat untuk tercapainya kesantunan.
2.2.2 Brown dan Levinson
Brown dan Levinson (1987) menyodorkan tiga skala penentu tinggi rendahnya peringat kesantunan sebuah tuturan.Ketiga skala itu ditentukan secara kontekstual,social,dan kultur yang selengkapnya mencakup skala (1) jarak social; (2) status social penutur dan lawan tutur, dan (3) tindak tutur.
a) Skala peringkat social antara penutur dan lawan tutur banyak ditentukan oleh parameter perbedaan umur,jenis kelamin,dan latar belakang sosiokultural.Berkenaan dengan perbedaan umur antara penutur dan lawan tutur,biasanya diketahui bahwa semakin tua umur seseorang akan semakin tinggi peringkat kesantunan pertuturannya.Sebaiknya,orang yang masih muda cenderung memiliki tingkat kesantunan yang rendah di dalam bertutur.Orang yang berjenis kelamin wanita biasanya memiliki tingkat kesantunan lebih tinggi dibandingkan dengan berjenis kelamin pria.Hal ini disebabkan oleh kenyataan bahwa wanita cenderung lebih banyak berkenan dengan suatu yang bernilai estetis dalam hidupnya sehari-hari.Sebaiknya,pria jauh dari hal-hal itu karena,biasanya,ia lebih banyak dengan kerja dan penggunaan logika dalam kehidupannya sehari-hari.Latar belakang sosiokultural berperan penting dalam menentukan peringkat kesantunan bertuturnya.Orang yang memiliki jabatan tertentu di dalam masyarakat cenderung memiliki peringkat kesantunan lebih tinggi dibandingkan dengan kebanyakan orang; seperti petani, pedagang, buruh bangunan, pembantu rumah tangga, dan sebagainya. Begitu pula orang-orang kota cenderung memiliki peringkat kesantunan lebih tinggi dibandingkan dengan penduduk pedesaan.
b) Skala peringkat status social antara penutur dan lawan tutur didasarkan pada kedudukan asimetrik antara penutur dengan lawan tutur. Misalnya , di dalam kamar praktik dokter, seorang dokter memiliki peringkat kekuasaan lebih tinggi dibandingkan dengan seorang pasien. Begitu juga di dalam kelas, seorang guru memiliki peringkat kekuasaan lebih tinggi dibandingkan dengan seorang murid. Contoh lain, dijalan raya, seorang polisi lalu lintas dianggap memiliki peringkat kekuasaan lebih besar daripada seorang dokter yang pada saat itu melanggar peraturan lalu lintas. Sebaliknya, polisi yang sama akan jauh lebih rendah dari seorang dokter rumah sakit dalam hal skala peringkat kekuasaannya apabila sedang di ruang periksa rumah sakit.
c) Skala peringkat tindak tutur didasarkan atas kedudukan relative tindak tutur yang satu dengan yang lainnya. Sebagai contoh dalam situasi yang sangat khusus bertamu di rumah seorang wanita dengan melewati batas waktu bertamu yang wajar akan dikatakan sebagai tidak tahu sopan santun, bahkan dianggap melanggar norma kesantunan yang berlaku pada masyarakat itu. Namun, hal yang sama akan dianggap sangat wajar dalam situasi yang berbeda seperti pada saat terjadi kerusuhan atau kejadian yang mengancam keselamatan jiwa.
2.2.3 Geoffrey Leech
Leech menyodorkan lima buah skala pengukur kesantunan berbahasa yang didasarkan pada setiap maksim interpersonalnya.
Kelima skala itu adalah :
Kerugian bagi
lawan tutur
Keuntungan
Bagi penutur Kurang
Santun
Lebih
santun
a. Skala kerugian dan keuntungan (cost-benefit scale) merujuk pada besar kecilnya biaya dan keuntungan yang disebabkan oleh sebuah tindak tutur pada sebuah pertuturan. Kalau tuturan itu semakin merugikan penutur maka dianggap semakin santunlah tuturan itu. Namun, kalau dilihat dari lawan tutur, tuturan itu dianggap tidak santun. Sebaliknya kalau tuturan itu semakin merugikan lawan tutur, maka tuturan itu dianggap semakin santun. Skala ini digunakan untuk “menghitung biaya dan keuntungan untuk melakukan tindakan (seperti yang ditujukan oleh daya ilokusi tindak tutur) dalam kaitannya dengan penutur dan lawan tutur”. Skala ini menjelaskan mengapa, walaupun sama-sama bermodus imperative (dan intonasinya sama) tuturan-tuturan berikut semakin ke bawah semakin santun (diangkat dari Gurnawan 1994).
(1) Bersihkan toilet saya
(2) Kupaskan manga
(3) Ambilkan Koran di mejaku
(4) Beristirahatlah
(5) Dengarkan lagu kesukaanmu ini
(6) Minum kopinya
b. Skala pilihan (optionality scale) mengacu pada banyak atau sedikitnya pilihan (option) yang disampaikan penutur kepada lawan tutur di dalam kegiatan bertutur. Semakin banyak pilihan dan keleluasaan dalam pertuturan itu, maka dianggap semakin santunlah pertutuan itu. Sebalinya kalau tuturan itu sama sekali tidak memberikan kemungkinan bagi si penutur dan lawan tutur, maka tuturan itu dianggap tidak santun. Simak contoh berikut (yang diangkat dari Gurnawan 1994).
(1) Pindahkan kotak ini
(2) Kalau tidak lelah, pindahkan kotak ini
(3) Kalau tidak lelah dan ada waktu, pindahkan kotak ini
(4) Kalau tidak lelah dan ada waktu, pindahkan kotak ini; itu kalau kamu mau
(5) Kalau tidak lelah dan ada waktu, pindahkan kotak ini; itu kalau kamu mau dan tidak berkeberatan.
c. Skala ketidaklangsungan (indirectness scale) merujuk kepada peringkat langsung atau tidak langsungnya “maksud” sebuah tuturan. Semakin tuturan itu bersifat langsung akan dianggap semakin tidak santunlah tuturan langsung itu. Sebaliknya semakin tidak langsung maksud sebuah tuturan akan dianggap semakin santunlah tuturan itu. Simak contoh berikut (yang diangkat dari gunawan 1994, dan yang merupakan adaptasi dari Leech 1983:108)
(1) Jelaskan persoalannya.
(2) Saya ingin Saudara menjelaskan persoalannya.
(3) Maukah Saudara menjelaskan persoalannya?
(4) Berkeberatankah saudara menjelaskan persoalanya?
d. Skala keotoritasan (anthory scale) merujuk pada hubungan status sosial antara penutur dan lawan tutur yang terlibat dalam suatu penuturan. Semakin jauh jarak peringkat sosial antara penutur lawan tutur maka tuturan yang digunakan akan cenderung menjadi semakin santun. Sebaliknya, semkin dekat jarak peringkat status sosial di antara keduanya maka akan cenderung semakin berkurang peringkat kesantunan tuturan yang digunakan dalam penuturan itu.
e. Skala jarak sosial (social distance) merujuk kepada peringkat hubungan sosial antar penutur dan lawan tutur yang terlibat dalam sebuah penuturan. Ada kecerundungan semakin dekat jarak hubungan sosial diantara keduanya (penutur dan lawan tutur) akan menjadi kurang santunlah penuturan itu. Sebaliknya semakin jauh jarak peringkat hubungan sosial di antara penutur dan lawan tutur, maka akan semakin santunlah tuturan yang digunakan dalam penuturan itu.Dengan kata lain, tingkat keakraban hubungan antara penutur dan lawan tutur sangat menentukan peringkat kesantunan tuturan yang digunakan.
Coba Anda simak hubungan keakraban antara A (penutur) dan B
(lawan tutur) pada kedua pertuturan berikut
(53) Tempat dialog di kantor.
A : (saya agak pusing) Ada decolgen?
B : Ada,di laci meja saya.
(54) Tempat dialog di kantor.
A : (saya agak pusing) Ada decolgen?
B : Ada,di apotek.
Skala-skala kesantunan yang dikemukakan oleh tokoh berbeda-beda.Semuanya bisa kita jadikan pijakan, karena kesemuanya amatlah baik menurut penulis.Tinggal kita memilah saja mana yang paling cocok dengan keadaan kita sekarang.Bisa saja antara bawahan, atasan, guru, murid, dosen, dan mahasiswa berbeda skala kesantunannya.Oleh karenanya, sekali lagi kita sesuaikan dengan konteks yang sedang dijalani.
2.3 Penyebab Ketidaksantunan
Bab empat ini secara luas telah memamparkan teori tentang bahasa yang santun atau pertuturan yang santun beserta dengan contoh-contohnya.Untuk dapat memahmi dan menguasai berbahasa secara santun,Pranowo (2009) menyebutkan adanyabeberapa factor atau hal yang menyebabkan sebuah pertuturan itu menjadi tidak santun.Penyebab ketidaksantunan itu antara lain adalah (a) mengkritik secara langsung dengan menggunakan kata-kata kasar; (b) dorongan emosi penutur; (c) sengaja menuduh lawan tutur; (d) Protektif terhadap pendapat sendiri; (e) sengaja memojokkan lawan tutur.Berikut dijelaskan secara singkat disertai dengan contoh:
a. Kritik secara langsung dengan kata-kata kasar
Kritik kepada lawan tutur secara langsung dan dengan menggunakan kata-kata kasar akan menyebabkan sebuah pertuturan menjadi tidak santun atau jauh dari peringkat kesantunan. Perhatikan contoh (55) dan (56) berikut yang diangkat dari Pranowo (2009)
(55) Pidato-pidato pimpinan Dewan selama ini jelas menunjukan bahwa caliber pimpinan memang payah.
(56) Mantan Presiden…menilai kegagalan tersebut (proyek Padi Super Toy HL2) karena SBY penakut. Itu kan karena presidennya takut.
Tuturan (55) dan (56) itu menjadi tidak santun karena pertama tuturannya bersifat langsung.Dari teori pada subbab 4.1 dan 4.2 kita sudah tahu bahwa tuturan yang langsung menjadi lebih tidak santun daripada tuturan yang dituturkan secara tidak langsung (misalnya dengan kalimat interogatif).Kedua karena digunakannya kata-kata kasar.Pada pertuturan (55) kata payah dalam frase “caliber pimpinan memang payah”. Pada pertuturan (56) kata penakut dalam frase “ SBY penakut” dan “presidennya takut”.
Tuturan (55) dan (56) di atas jelas menyinggung perasaan lawan tutur; dan ini berarti melanggar muka negative lawan tutur, yang seharusnya dijaga. Mungkin akan sedikit lebih santun kalau kata payah diganti dengan ungkapan “belum bekerja maksimal” dan kata penakut diganti dengan ungkapan “kurang berani” atau “jauh dari berani”.
b. Dorongan rasa emosi penutur
Kadangkala ketika bertutur dorongan rasa emosi penutur begitu berlebihan sehingga ada kesan bahwa penutur marah kepada lawan tuturnya.Simak tuturan (57) dan (58) di bawah ini.
(57) Tidak ada apa-apa, KPK kan tukang geledah
(58) KPK tidak adil. Kalau dirasa perlu ya jangan hanya DPR yang digeledah; Pemda, Dinas dan Departemen yang bersangkutan juga digeledah.
Kedua tuturan di atas terkesan dilakukan secara emosional dan kemarahan.Pada tuturan (57) terkesan bahwa bagi penutur KPK adalah tukang geledah. Sedangkan tuturan (58) terkesan bahwa penutur tidak rela jika kantor anak buahnya digeledah oleh KPK.
c. Protektif terhadap pendapat
Seringkali ketika bertutur seorang penutur bersifat protektif terhadap pendapatnya. Hal ini dilakukan agar tuturan lawan tutur tidak dipercayai oleh pihak lain. Simak contoh (59) dan (60) berikut!
(59) …..tidak perlu islah. Sudah jelas antara yang jahat dan yang benar. Ah orang ini tidak punya legitimasi. Biar saja, mau bikin 100 Sk ya silahkan.
(60) Silahkan kalau mau banding. Kita nggak masalah. Sebab dari awal Tomy tidak melakukan perbuatan melawan hukum.
Kedua tuturan di atas tidak santun karena penutur menyatakan dialah yang benar; dia memproteksi kebenaran tuturannya.Lalu, menyatakan pendapat yang dilakukan lawan tuturnya salah.
d. Sengaja menuduh lawan tutur
Acapkali penutur menyampaikan tuduhan dalam tuturannya.Kalau ini dilakukan tentu tuturannya itu menjadi tidak santun. Simak contoh (61), (62), dan (63) berikut!
(61) …..kawasan hutan lindung dan konservasi biasanya dialihfungsikan menjadi areal perkebunan, pertambangan, atau hanya diambil kayunya lalu diterlantarkan.
(62) Pemerintah ngawur. Mbok ya tahu kondisi orang-orang seperti saya. Dengan solar Rp 4.500,- per liter dan Rp 2.000,- penumpang sudah sepi karena memilih naik motor.
(63) ….KPU selalu menyatakan kesiapannya dalam melaksanakan tugas-tugasnya, baik dalam mengelola tahapan pemilu maupun pengaturan calon perorangan. Kenyataannya janji KPK ini tidak pernah terbukti.
Ketiga tuturan di atas tidak santun karena penutur menuduh lawan tutur atas dasar kecurigaan belaka terhadap lawan tutur.Simak saja tuturan “hanya diambil kayunya lalu diterlantarkan”. “pemerintah ngawur. Mbok ya tahu kondisi orang-orang seperti saya”. “kenyataannya janji KPU itu tidak pernah dilaksanakan”. Jadi, apa yang dituturkan dan juga cara menuturkan tidak sesuai dengan prinsip kesantunan yang dikemukakan Leech.
e. Sengaja memojokkan mitra tutur
Adakalnya pertuturan menjadi tidak santun karena penutur dengan sengaja ingin memojokkan lawan tutur dan membuat lawan tutur tidak berdaya. Simak pertuturan (64) dan (65) berikut!
(64) Ini merupakan kegagalan dari pemerintahan SBY-JK. Dulu, soal kenaikan harga BBm tahun 2005 berjanji tidak akan menaikkan harga BBM. Berarti dia mengingkari janjinya sendiri. Presiden sudah melakukan kebohongan politik dan layak di-impeach.
(65) Mereka sudah buta mata hati nuraninya. Apa mereka tidak sadar kalau BBM naik, harga barang-barang lainnya bakal membuhung. Akibatnya, rakyat semakin tercekik.
Kedua tuturan diatas terkesan sangat keras karena adanya keinginan untuk memojokkan lawan tutur.Tuturan tersebut menjadi tidak santun dengan adanya tuturan, “Ini merupakan kegagalan dari pemerintah SBY-JK”, “Dia mengingkari janjinya sendiri”. “Presiden sudah melakukan kebohongan politik dan layak di-impeach”.
Dari kelima hal di atas yang menunjukan penggunaan bahasa secara tidak santun. Pranowo (2009) menyimpulkan :
Pertama, ada orang yang memang tidak tahu akan kaidah kesantunan berbahasa. Kalau memang ini penyebabnya, maka kepadanya harus diberi tahu akan adanya kaidah-kaidah kesantunan berbahasa itu.
Kedua, ada orang yang sulit meninggalkan kebiasaan lama yang diperoleh dari hasil budaya dan bahasa pertamanya, seperti berbicara dengan volume suara keras atau agak keras.Kalau ini yang menjadi masalahnya dia harus berusaha mencoba menyesuaikan denga kebiasaan dalam berbahasa Indonesia.
Ketiga, Karena sifat bawaan dan karakter yang suka berbicara keras dan tidak santun.Orang yang seperti ini sebaiknya tidak diberi posisi dalam peran public (seperti ketua RT, anggota DPR dan sebagainya).Mengapa? Dikhawatirkan dia akan mempengaruhi generasi muda dengan ketidaksantunannya itu. Malah juga akan menimbulkan konflik sosial dengan orang yang biasa berbicara secara santun. Kemungkinan lain yang bisa terjadi adalah timbulnya rasa kebencian terhadap mereka yang berbicara secara tidak santun itu.
2.4 Kesopanan
Pada subbab di atas telah dibicarakan pelbagai teori mengenai tuturan yang santun dengan sejumlah contoh tuturan yang santun; juga tentang skala kesantunan; dan pembahasan contoh tuturan yang tidak santun. Dari subbab itu juga dapat kita pahami bahwa setiap pertuturan melibatkan komponen (1) partisipan yang terdiri dari penutur dan lawan tutur; (2) pesan, yaitu isi tuturan yang disampaikan; (3) konteks situasi, yaitu keadaan dan suasana tempat tuturan terjadi; dan (4) bahasa atau ragam bahasa yang digunakan.
Sebuah pertuturan dianggap benar kalau tuturan itu mematuhi keempat maksim kerjasama (kuantitas, kualitas, relevansi dan cara) yang dicanangkan oleh Gries (lihat kembali subbab 3.5.). lalu, tuturan itu dianggap santun kalau mematuhi keenam maksim kesopanan (kebijaksanaan, penerimaan, kemurahan, kerendahan hati, kesetujuan dan kesimpatian) yang ditawarkan Leech (lihat kembali subbab 4.1.4). apakah suatu tuturan yang sudah benar dan santun, juga berarti sudah memenuhi syarat kesopanan? Belum tentu.Mengapa? Karena kalau tuturan yang benar berkaitan dengan masalah isi tuturan, kalau tuturan yang santun berkaitan dengan “bahasa” yang digunakan, yaitu bahsa dengan ciri-ciri kesantunan; maka tuturan yang sopan berkaitan dengan topic tuturan, konteks situasi pertuturan,dan jarak hubungan sosial penutur dan lawan tutur.
Pada bagian awal bab empat ada disebutkan adanya dua orang (penutur dan lawan tutur yang baru saja berkenalan), pagi hari di sebuah lobi hotel di sebuah kota. Penutur bertanya kepada lawan tutur dengan tuturan “tinggalnya di kamar berapa?” pertanyaan dalam tuturan itu adalah pertanyaan yang wajar. Pertanyaan itu juga cukup sopan kalau penutur dan lawan tutur berjenis kelamin sama (pria dan pria atau wanita dan wanita). Namun, pertanyaan atau tuturan itu terasa tidak sopan kalau penutur dan lawan tutur berjenis kelamin berbeda (missal penuturnya pria dan lawan tuturnya wanita atau sebaliknya; penutur wanita dan lawan tuturnya pria).Mungkin masih dianggap wajar, meski kurang ajar.Kalau penutur pria dan lawan tutur wanita; sebaliknya kalau penutur wanita dan lawan tutur pria, terasa agak aneh.Ingat, keduanya baru saja berkenalan, jadi jarak hubungan sosial keduanya masih sangat jauh.Berbeda kalau keduanya sudah merupakan teman sehari-hari yang jarak hubungan sosialnya sudah dekat.Maka kalimat Tanya yang dituturkan itu sudah cukup sopan.
Bagaimana kalau kalimat Tanya yang diujarkan penutur itu sudah berbentuk tuturan yang santun, yang sudah mematuhi keenam maksim kesopanan Leech, misalnya
(66) Bolehkah saya tahu, Anda tinggal di kamar berapa?
(67) Kalau Anda tidak berkeberatan saya ingin tahu anda tinggal di kamar berapa?
Kiranya tetap tidak sopan kalau jarak hubungan sosial mereka belum dekat dan keduanya berjenis kelamin yang berbeda. Terutama lebih tidak sopan lagi kalau penuturnya wanita dan lawan tuturnya pria. Bila hal ini terjadi, bisa muncul lagi prasangka wanita macam apa si penutur itu.
Bagaimana kalau topik yang ditanyakan oleh penutur pria kepada lawan tutur wanita bukan masalah nomor kamar tempat menginap si lawan tutur, melainkan masalah lain seperti pekerjaan, profesi, jabatan atau tugas, dan sebagainya dalam bentuk tuturan yang santun, seperti tuturan (68) dan (69) berikut !
(68) Mbak, kalau saya boleh tahu, apa tuga mbak datang di kota ini?
(69) Kalau mbak tidak berkeberatan, saya ingin tahu apa tujuan mbak datang di kota ini?
Rasanya permasalahan tersebut tidak bermasalah, cukup sopan dan cukup wajar.Sekarang coba simak pertuturan (70) dan (71) yang berlangsung di ruang praktik dokter antara A, seorang dokter spesialis dengan lawan tutur B, seorang pasien wanita. Apakah kedua perututuran itu sopan dan santun atau tidak (yang diangkat dari Pramujiono; 2008)
(70) A : Suami kuat tiap malam?
B : yah… sebenarnya nggak, he..he..he..
A : ……Usia berapa, Bu suaminya?
B : Empat tiga.
A : empat tiga masih bisa melayani tiap malam.
(71) A : Setelah beberapa menit atau baru senggama….langsung kepingin kencing?
B : beberapa menit….
A : Setelah beberapa menit?
B : Ee..Ee..bebrapa menit, kira-kiranya ya sampai sepuluh menit gitu, Dok!
Pertuturan (70) dan (71) berlangsung di ruang praktik dokter yang hadirnya A (dokter) dan B (pasien wanita); lalu meskipun topiknya tentang seks yang kalau di luar ruang praktik dokter dianggap tabu; tetapi tampaknya kedua pertuturan itu tidak bermasalah cukup wajar dan cukup sopan. Namun, bila diukur dengan teori kesantunan yang sudah kita bicarakan, kalimat-kalimat tuturnya memang kurang santun.
Dari uraian di atas dapat disimpulkan bahwa masalah sopan tidaknya sebuah pertuturan, meskipun kalimat-kalimat yang digunakan santun, tergantung pada tiga hal pokok yaitu (1) identitas sosial budaya para partisipan (penutur dan lawan tutur); (2) topic pertuturan; dan (3) konteks waktu, situasi, dan tempat pertuturan berlangsung. Ketiga hal itu, selain menentukan pilihan bahasa dan ragam bahasa tertentu akan juga menentukan “ukuran” peringkat kesantunan yang berbeda.
Identitas sosial budaya partisipan, yaitu penutur dan lawan tutur di dalam satu pertuturan harus dilihat dari pihak penutur terhadap lawan tutur. Identitas sosial budaya ini dapat dilihat dari segi usia dimana penutur penutur lebih tua dari lawan tutur atau penutur lebih muda dari lawan tutur atau penutur dan lawan tutur memiliki usia yang sama atau hamper sama. Faktor usia penutur dan lawan tutur ini, misalnya akan menyebabkan dipilihnya “kata sapaan” tertentu yang dianggap tepat, sopa, dan santun. Jika salah memilih kata sapaan untuk lawan tutur maka tuturan itu bisa-bisa terjadi tidak santun.Identitas sosial budaya penutur dan lawan tutur bisa jadi dilihat dari tingkat perekonomian, pendidikan, kekerabatan, jabatan, atau kedudukan dalam organisasi kemasyarakatan. Seorang profesi dosen adalah dosen kalau lawan tuturnya mahasiswa; tetapi dia adalah penumpang kalau lawan tuturnya adlah kondektur di atas bus kota. Lain lagi, dia adalah pembeli kalau lawan tuturnya adalah pedagang di pasar.Begitupun dia Cuma warga masyarakat kalau lawan tuturnya adalah ketua RT tempat dia bermukim. Peringkat kesopanan dan kesantunannya tentu berbeda bila lawan tuturnya mahasiswa di kampus, dengan kalau lawan tuturnya kondektur bus kota, atau lawan tuturnya pedangang buah di pasar.
Topik tuturan sebagai materi yang dipertuturkan bisa mengenai isu apa saja yang berkembang di masyarakat. Misalnya, tentang pekerjaan, tentang kesehatan, tentang anak, tentang agama, tentang seks, dan hal-hal yang berbau porno. Pokoknya tentang apa saja yang ada dalam masyarakat. Namun, seperti sudah dibicarakan sebelumnya ada topic yang layak dituturkan; tetapi ada juga topic yang idak layak dituturkan. Misalnya soal usia, banyak wanita (yang belum nenek-nenek dan bukan anak-anak lagi) yang sangat tidak berkenan untuk ditanyakan kepadanya, meskipun dilakukan dengan kalimat yang santun.
BAB III
PENUTUP
3.1 Kesimpulan
Teori kesantunan yang dikemukakan oleh masing-masing tokoh berbeda-beda.Lakoff mengatakan bahwasannya tutur kita dianggap santun apabila kita memenuhi 3 kaidah, yakni formalitas, ketidaktegasan, dan kesekawanan. Sedangkan menurut Bruce Fraser kesantunan bukan atas dasar kaidah-kaidah, melainkan atas dasar strategi, menurut Rown dan Levinson, teori kesantunan itu berkisar atas nosi muka (face), Geofrey Leechberbeda lagi yakniteori kesantunan berdasarkan prinsip kesantunan yang dijabarkan menjadi maksim, sedangkan Pranowo tidak memberikan teori kesantunan berbahasa, melainkan memberi pedoman bagaimana berbicara secara santun. Sebuah pertuturan dianggap benar kalau tuturan itu mematuhi keempat maksim kerjasama (kuantitas, kualitas, relevansi dan cara).
3.2 Saran
Teori-teori yang dikemukakan boleh berbeda-beda, tinggal dikembalikan saja pada kita apakah kita akan mengikuti teori itu jika menurut kita itu relevan dalam kehidupan sehari-hari. Saran kami, kembalikan pada diri kita, bagaimana sikap orang lain terhadap kita, maka itulah tingkat kesantunan kita terhadap orang lain. Karena sebenarnya kesantuna ini sudah diatur dalam agama tinggal kita mau melaksanakan apa-apa yang ada dalam aturan agama, insyaalloh kita akan melakukan hal-hal yang disenangi oleh orang lain, salah satunya santun dalam bertutur.
sangat bermanfaat,,
BalasHapustpi kurang daftar pustakanya mbak,,soalnya saya mau cari rujukan
Kalau mencari sumber rujukan pragmatik dsb bisa dr karya Rahardi R. Kunjana judulnya Pragmatik kesantunan imperatif Bahasa Indonesia. Bisa juga dr Abdul Chaer judulnya Kesantunan Berbahasa.
BalasHapusMhn maaf sekali sebenarnya krya tulis sy dpt dktakan salah. Krn tidak merujuk pada daftar pustaka. Ini dr buku sumber Abd. Chaer.
ASSALAMUALAIKUM SAYA INGIN BERBAGI CARA SUKSES SAYA NGURUS IJAZAH saya atas nama bambang asal dari jawa timur sedikit saya ingin berbagi cerita masalah pengurusan ijazah saya yang kemarin hilang mulai dari ijazah SD sampai SMA, tapi alhamdulillah untung saja ada salah satu keluarga saya yang bekerja di salah satu dinas kabupaten di wilayah jawa timur dia memberikan petunjuk cara mengurus ijazah saya yang hilang, dia memberikan no hp BPK DR SUTANTO S.H, M.A beliau selaku kepala biro umum di kantor kemendikbud pusat jakarta nomor hp beliau 0823-5240-6469, alhamdulillah beliau betul betul bisa ngurusin masalah ijazah saya, alhamdulillah setelah saya tlp beliau di nomor hp 0823-5240-6469, saya di beri petunjuk untuk mempersiap'kan berkas yang di butuh'kan sama beliau dan hari itu juga saya langsun email berkas'nya dan saya juga langsung selesai'kan ADM'nya 50% dan sisa'nya langsun saya selesai'kan juga setelah ijazah saya sudah ke terima, alhamdulillah proses'nya sangat cepat hanya dalam 1 minggu berkas ijazah saya sudah ke terima.....alhamdulillah terima kasih kpd bpk DR SUTANTO S.H,M.A berkat bantuan bpk lamaran kerja saya sudah di terima, bagi saudara/i yang lagi bermasalah malah ijazah silah'kan hub beliau semoga beliau bisa bantu, dan ternyata juga beliau bisa bantu dengan menu di bawah ini wassalam.....
BalasHapus1. Beliau bisa membantu anda yang kesulitan :
– Ingin kuliah tapi gak ada waktu karena terbentur jam kerja
– Ijazah hilang, rusak, dicuri, kebakaran dan kecelakaan faktor lain, dll.
– Drop out takut dimarahin ortu
– IPK jelek, ingin dibagusin
– Biaya kuliah tinggi tapi ingin cepat kerja
– Ijazah ditahan perusahaan tetapi ingin pindah ke perusahaan lain
– Dll.
2. PRODUK KAMI
Semua ijazah DIPLOMA (D1,D2,D3) S/D
SARJANA (S1, S2)..
Hampir semua perguruan tinggi kami punya
data basenya.
UNIVERSITAS TARUMA NEGARA UNIVERSITAS MERCUBUANA
UNIVERSITAS GAJAH MADA UNIVERSITAS ATMA JAYA
UNIVERSITAS PANCASILA UNIVERSITAS MOETOPO
UNIVERSITAS TERBUKA UNIVERSITAS ISLAM INDONESIA
UNIVERSITAS TRISAKTI UNIVERSITAS KRISTEN INDONESIA
UNIVERSITAS BUDI LIHUR ASMI
UNIVERSITAS ILMUKOMPUTER UNIVERSITAS DIPONOGORO
AKADEMI BAHASA ASING BINA SARANA INFORMATIKA
UPN VETERAN AKADEMI PARIWISATA INDONESIA
INSTITUT TEKHNOLOGI SERPONG STIE YPKP
STIE SUKABUMI YAI
ISTN STIE PERBANAS
LIA / TOEFEL STIMIK SWADHARMA
STIMIK UKRIDA
UNIVERSITAS NASIONAL UNIVERSITAS JAKARTA
UNIVERSITAS BUNG KARNO UNIVERSITAS PADJAJARAN
UNIVERSITAS BOROBUDUR UNIVERSITAS INDONESIA
UNIVERSITAS MUHAMMADYAH UNIVERSITAS BATAM
UNIVERSITAS SAHID DLL
3. DATA YANG DI BUTUHKAN
Persyaratan untuk ijazah :
1. Nama
2. Tempat & tgl lahir
3. foto ukuran 4 x 6 (bebas, rapi, dan usahakan berjas),semua data discan dan di email ke alamat email bpk sutantokemendikbud@gmail.com
4. IPK yang di inginkan
5. universitas yang di inginkan
6. Jurusan yang di inginkan
7. Tahun kelulusan yang di inginkan
8. Nama dan alamat lengkap, serta no. telphone untuk pengiriman dokumen
9. Di kirim ke alamat email: sutantokemendikbud@gmail.com berkas akan di tindak lanjuti akan setelah pembayaran 50% masuk
10. Pembayaran lewat Transfer ke Rekening MANDIRI, BNI, BRI,
11. PENGIRIMAN Dokumen Via JNE
4. Biaya – Biaya
• SD = Rp. 1.500.000
• SMP = Rp. 2.000.000
• SMA = Rp. 3.000.000
• D3 = 6.000.000
• S1 = 7.500.000(TERGANTUN UNIVERSITAS)
• S2 = 12.000.000(TERGANTUN UNIVERSITAS)
• S3 / Doktoral Rp. 24.000.000
(kampus terkenal – wajib ikut kuliah beberapa bulan)
• D3 Kebidanan / keperawatan Rp. 8.500.000
(minimal sudah pernah kuliah di jurusan tersebut hingga semester 4)
• Pindah jurusan/profesi dari Bidan/Perawat ke Dokter. Rp. 32.000.000