MAKALAH SEJARAH SASTRA
PENGARANG-PENGARANG
WANITA INDONESIA
Diajukan
untuk memenuhi salahsatu tugas Sejarah Sastra
Dosen : Yuyus Supriatna S.Sen
Iis Siti Aisyah
Hilda Wulandari
Rika Anjani
Kelas 1F (Karyawan)
FAKULTAS
KEGURUAN DAN ILMU PENDIDIKAN
PRODI
: BAHASA DAN SASTRA INDONESIA
UNIVERSITAS
GALUH CIAMIS
2013
BAB I
PENDAHULUAN
1.1
Latar Belakang
Sebenarnya, pengarang
wanita Indonesia sudah sejak lama ikut berpartisipasi dalam dunia tulis
menulis. Namun jumlahnya tidak sebanyak
kaum laki-laki, salah satu nya adalah Selasih yaitu nama samara
Sariamin, seorang perempuan asli Sumatera Barat. Ia adalah penulis perempuan
pertama yang ada di Indonesia. Tulisan pertamanya yang berjudul Kalau Tak Untung pada tahun 1933 dan Pengaruh Keadaan membuatnya sebagai
perempuan pertama yang berpartisipasi dalam dunia tulis menulis.
Hal itu tentu saja tidak
menjadikan bangsa Indonesia miskin sastrawan perempuan. Karena sekarang,
bermunculan bibit-bibit baru generasi muda. Salah satunya adalah Asma Nadia,
dan Herlina Tien Suhesti. Dan masih banyak lagi
yang lainnya yang akan kita bahas di bab-bab selanjutnya.
Untuk itulah kita akan
mencoba mengulas bagaimanakah sesungguhnya peranan penulis perempuan di
Indonesia. Dan pastinya sebagai mahasiswa/i jurusan Bahasa dan Sastra Indonesia
kita memiliki kewajiban tersendiri untuk memahami dan mengetahuinya.
1.2
Rumusan Masalah
Dari
permasalahan yang penyusun angkat, dapat dirumuskan masalah sebagai berikut :
1.
Bagaimana
peran perempuan Indonesia dalam dunia tulis menulis?
2.
Sampai
dimanakah peranan kaum perempuan membentuk satuan komunitas penulis?
3.
Adakah
pengaruh dari luar yang membuat sastra Indonesia menjadi berubah.
1.3
Tujuan Penulisan
Selain untuk
menambah pengetahuan dan referensi, disini penulis ingin memperkenalkan sejauh
mana peranan perempuan dalam membentuk diri dan tulisan, sehingga pembaca dapat
dengan mudah mengenal dan memahami karakteristik penulis baik dari peride
poejangga baroe sampai sekarang.
1.4
Manfaat Penulisan
Manfaat dari penulisan ini diharapkan semua mahasiswa Bahasa
dan Sastra Indonesia mengenal dan lebih memahami bagaimana
karakteristik penulis perempuanm, terutama di Indonesia.
1.5 Sistematika Penulisan
BAB I : Pendahuluan, yang terdiri dari latar belakang,
rumusan masalah, tujuan penulisan, manfaat penulisan dan kerangka penulisan.
BAB II : Pembahasan
BAB III : Penutup
DAFTAR PUSTAKA
BAB II
PEMBAHASAN
2.1 Penulis
Perempuan di Zaman Poedjangga Baroe dan Pandji Poestaka
Jumlah pengarang
wanita Indonesia tidak banyak apalagi pada masa sebelum perang. Yang paling
terkenal adalah Selasih atau Seleguri yaitu nama samaran dari Sariamin. Ia lahir di Talu Sumatera
Barat tahun 1990 menulis dua buah roman dan sajak-sajak. Kedua roman itu adalah
Kalau tak Untung (1933) dan pengaruh keadaaan (1937). Sajak-sajaknya banyak
dimuat dalam majalah poedjangga baroe
dan Pandji Poestaka.
Tulisan yang diangkatnya
cenderung sarat penderitaan dan kemelaratan. Kalau tak Untung melukiskan percintaan dua orang anak yang
bersahabat sejak masih kecil dan sama-sama hidup dalam tak berkecukupan.Cinta
Rusamani dan Masrul yang tertanam sejak kecil ini tidak kesampaian. Begitu juga
pada tulisannya yang berjudul Pengaruh
Keadaan dikisahkan kemalangan dan kesengsaraan Yusnani yang hidup di dalam
tekanan ibu tirinya. Namun, kemalangannya berakhir ketika Yusnani diambil
saudaranya dan ditolong oleh sahabat saudaranya Syahruddin yang kemudian
dinikahinya.
Pengarang
lainnya yang terkenal pada masa ini adalah
Hamidah yang konon merupakan nama samara
Fatimah H Delais
(1914-1953)yang namanya tercantum sebagai pembantu majalah Peodjangga Baroe
dari Palembang. Ia hanya mengarang satu buah buku yang berjudul Kehilangan Mestika (1953). Tipe
tulisannya pun hamper sama dengan Selasih, dalam bukunya ini ia menceritakan
penderitaan dan kemalangan pelakunya. Dimulai dari kehilangan seorang ayah, dan
kehilangan kekasih yang berturut-turut. Sehingga ia pun mau dinikahkan dengan
laki-laki yang tidak dicintainya. Penderitaannya pun tidak sampai disana.
Selama bertahun-tahun menikah, perkawinannya tidak kunjung dikaruniai anak,
akhirnya ia mengizinkan suaminya beristri lagi.
Adlin Affandi dan Sa’adah
Alim (1898-1968), masing-masing menulis sebuah sandiwara yang berjudul Gadis Modern (1941) dan Pembalasannya. Sa’adah Salim juga
menulis sejumlah Cerpen yang kemudian dibukukan dengan judul Taman Penghibur Hati.
Menjelang Jepang
datang, muncul pula Maria Amin lahir di Bengkulu yang menulis sajak-sajak dalam
majalah Poedjangga baroe, tetapi
tulisannya begitu berarti ketika Jepang menjajah Indonesia dengan tulisannya
yang simbolistis.
Samiati Alisjahbana (lahir di Jakarta, 15
Maret 1930 – meninggal di Honolulu, Hawaii, 15
Agustus 1966 pada umur 36 tahun) adalah seorang sastrawan dan penyair Indonesia. Dia pernah menempuh pendidikan di Fakultas
Sastra dan Filsafat Universitas Indonesia selama tiga tahun sebelum memperdalam
ilmunya di Cornell University, Ithaca, New
York, Amerika Serikat pada tahun 1954. Karya-karya sastranya
antara lain adalah Seserpih Pinang Sepucuk Sirih, Harapan dan Sangka
dan banyak karya lainnya
2.2
Penulis
Karya Sastra Perempuan Angkatan 1950 - 1960-an
NH Dini dilahirkan dari pasangan
Saljowidjojo dan Kusaminah. Ia anak bungsu dari lima bersaudara, ulang tahunnya
dirayakan empat tahun sekali. Masa kecilnya penuh larangan. Konon ia masih
berdarah Bugis, sehingga jika keras kepalanya muncul, ibunya acap berujar, “Nah, darah
Bugisnya muncul".
NH Dini mengaku mulai tertarik menulis sejak kelas tiga SD. Buku-buku
pelajarannya penuh dengan tulisan yang merupakan ungkapan pikiran dan
perasaannya sendiri. Ia sendiri mengakui bahwa tulisan itu semacam pelampiasan
hati. Ibu Dini adalah pembatik yang selalu bercerita padanya tentang apa yang
diketahui dan dibacanya dari bacaan Panji Wulung, Penyebar Semangat,
Tembang-tembang Jawa dengan Aksara Jawa dan sebagainya. Baginya, sang ibu
mempunyai pengaruh yang besar dalam membentuk watak dan pemahamannya akan
lingkungan.
Sekalipun sejak kecil kebiasaan bercerita sudah ditanamkan, sebagaimana
yang dilakukan ibunya kepadanya, ternyata Dini tidak ingin jadi tukang cerita.
la malah bercita-cita jadi sopir lokomotif atau masinis. Tapi ia tak kesampaian
mewujudkan obsesinya itu hanya karena tidak menemukan sekolah bagi calon
masinis kereta api.
Kalau pada akhirnya ia menjadi penulis, itu karena ia memang suka
cerita, suka membaca dan kadang-kadang ingin tahu kemampuannya. Misalnya
sehabis membaca sebuah karya, biasanya dia berpikir jika hanya begini saya pun
mampu membuatnya. Dan dalam kenyataannya ia memang mampu dengan dukungan teknik
menulis yang dikuasainya.
Dini ditinggal wafat ayahnya semasih duduk di bangku SMP, sedangkan
ibunya hidup tanpa penghasilan tetap. Mungkin karena itu, ia jadi suka melamun.
Bakatnya menulis fiksi semakin terasah di sekolah menengah. Waktu itu, ia sudah
mengisi majalah dinding sekolah dengan sajak dan cerita pendek. Dini menulis
sajak dan prosa berirama dan membacakannya sendiri di RRI Semarang ketika
usianya 15 tahun. Sejak itu ia rajin mengirim sajak-sajak ke siaran nasional di
[RRI]Semarang dalam acara Tunas Mekar.
Peraih penghargaan SEA Write Award di bidang sastra dari Pemerintah
Thailand ini sudah telanjur dicap sebagai sastrawan di Indonesia, padahal ia
sendiri mengaku hanyalah seorang pengarang yang menuangkan realita kehidupan,
pengalaman pribadi dan kepekaan terhadap lingkungan ke dalam setiap tulisannya.
Ia digelari pengarang sastra feminis. Pendiri Pondok Baca NH Dini di Sekayu,
Semarang ini sudah melahirkan puluhan karya.
Beberapa karya Nurhayati Sri Hardini Siti Nukatin yang dikenal dengan
nama NH Dini, ini yang terkenal, di antaranya Pada Sebuah
Kapal (1972), La Barka (1975) atau Namaku Hiroko (1977), Orang-orang Tran (1983), Pertemuan Dua
Hati (1986), Hati yang Damai (1998), belum termasuk karya-karyanya
dalam bentuk kumpulan cerpen, novelet, atau cerita kenangan. Budi Darma
menyebutnya sebagai pengarang sastra feminis yang terus menyuarakan kemarahan
kepada kaum laki-laki. Terlepas dari apa pendapat orang lain, ia mengatakan
bahwa ia akan marah bila mendapati ketidakadilan khususnya ketidakadilan gender
yang sering kali merugikan kaum perempuan. Dalam karyanya yang terbaru berjudul
Dari Parangakik ke Kamboja (2003), ia mengangkat kisah tentang bagaimana perilaku seorang suami
terhadap isterinya. Ia seorang pengarang yang menulis dengan telaten dan
produktif, seperti komentar Putu Wijaya;
'kebawelan yang panjang.'
Hingga kini, ia telah menulis lebih dari 20 buku. Kebanyakan di antara
novel-novelnya itu bercerita tentang wanita. Namun banyak orang berpendapat,
wanita yang dilukiskan Dini terasa “aneh”. Ada pula yang berpendapat bahwa dia
menceritakan dirinya sendiri. Itu penilaian sebagian orang dari karya-karyanya.
Akan tetapi terlepas dari semua penilaian itu, karya NH Dini adalah karya yang
dikagumi. Buku-bukunya banyak dibaca kalangan cendekiawan dan jadi bahan
pembicaraan sebagai karya sastra.
Bukti keseriusannya dalam bidang yang ia geluti tampak dari pilihannya,
masuk jurusan sastra ketika menginjak bangku SMA di Semarang. Ia mulai
mengirimkan cerita-cerita pendeknya ke berbagai majalah. Ia bergabung dengan
kakaknya, Teguh Asmar, dalam kelompok sandiwara radio bernama Kuncup Berseri.
Sesekali ia menulis naskah sendiri. Dini benar-benar remaja yang sibuk. Selain
menjadi redaksi budaya pada majalah remaja Gelora Muda, ia membentuk kelompok
sandiwara di sekolah, yang diberi nama Pura Bhakti. Langkahnya semakin mantap
ketika ia memenangi lomba penulisan naskah sandiwara radio se-Jawa Tengah.
Setelah di SMA Semarang, ia pun menyelenggarakan sandiwara radio Kuncup Seri di
Radio Republik Indonesia (RRI) Semarang. Bakatnya sebagai tukang cerita terus
dipupuk.
Pada 1956, sambil bekerja di Garuda Indonesia Airways (GIA) di Bandara Kemayoran, Dini menerbitkan kumpulan cerita pendeknya,
Dua Dunia. Sejumlah bukunya bahkan mengalami
cetak ulang sampai beberapa kali - hal yang sulit dicapai oleh kebanyakan buku
sastra. Buku lain yang tenar karya Dini adalah Namaku Hiroko dan Keberangkatan.
la juga menerbitkan serial kenangan, sementara cerpen dan tulisan lain juga
terus mengalir dari tangannya. Walau dalam keadaan sakit sekalipun, ia terus
berkarya.
Dini dikenal memiliki teknik penulisan konvensional. Namun menurutnya
teknik bukan tujuan melainkan sekedar alat. Tujuannya adalah tema dan ide.
Tidak heran bila kemampuan teknik penulisannya disertai dengan kekayaan
dukungan tema yang sarat ide cemerlang. Dia mengaku sudah berhasil
mengungkapkan isi hatinya dengan teknik konvensional.
Ia mengakui bahwa produktivitasnya dalam menulis termasuk lambat. Ia
mengambil contoh bukunya yang berjudul Pada Sebuah Kapal, prosesnya hampir
sepuluh tahun sampai buku itu terbit padahal mengetiknya hanya sebulan.
Baginya, yang paling mengasyikkan adalah mengumpulkan catatan serta penggalan
termasuk adegan fisik, gagasan dan lain-lain. Ketika ia melihat melihat atau
mendengar yang unik, sebelum tidur ia tulis tulis dulu di blocknote dengan
tulis tangan.
Pengarang yang senang tanaman ini, biasanya menyiram tanaman sambil
berpikir, mengolah dan menganalisa. la merangkai sebuah naskah yang sedang
dikerjakannya. Pekerjaan berupa bibit-bibit tulisan itu disimpannya pada
sejumlah map untuk kemudian ditulisnya bila sudah terangkai cerita.
Dini dipersunting Yves Coffin, Konsul Prancis di Kobe, Jepang, pada 1960. Dari pernikahan itu ia
dikaruniai dua anak, Marie-Claire Lintang (kini 42 tahun) dan Pierre Louis
Padang (kini 36 tahun). Anak sulungnya kini menetap di Kanada, dan anak
bungsunya menetap di Prancis.
Sebagai konsekuensi menikah dengan seorang diplomat, Dini harus
mengikuti ke mana suaminya ditugaskan. Ia diboyong ke Jepang, dan tiga tahun
kemudian pindah ke Pnom Penh, Kamboja.
Kembali ke negara suaminya, Prancis, pada 1966, Dini melahirkan anak keduanya
pada 1967. Selama ikut suaminya di Paris, ia tercatat sebagai anggota Les Amis
dela Natura (Green Peace). Dia turut serta menyelamatkan
burung belibis yang terkena polusi oleh tenggelamnya kapal tanker di pantai
utara Perancis.
Setahun kemudian ia mengikuti suaminya yang ditempatkan di Manila, Filipina. Pada
1976, ia pindah ke Detroit, AS, mengikuti suaminya yang menjabat Konsul Jenderal
Prancis. Dini berpisah dengan suaminya, Yves Coffin pada 1984, dan mendapatkan
kembali kewarganegaraan RI pada 1985 melalui Pengadilan Negeri Jakarta.
Mantan suaminya masih sering berkunjung ke Indonesia. Dini sendiri
pernah ke Kanada ketika akan mengawinkan Lintang, anaknya. Lintang sebenarnya sudah
melihat mengapa ibunya berani mengambil keputusan cerai. Padahal waktu itu
semua orang menyalahkannya karena dia meninggalkan konstitusi perkawinan dan
anak-anak. Karena itulah ia tak memperoleh apa-apa dari mantan suaminya itu. Ia
hanya memperoleh 10.000 dollar AS yang kemudian digunakannya untuk membuat
pondok baca anak-anak di Sekayu, Semarang.
Dini yang pencinta lingkungan dan pernah ikut Menteri KLH Emil Salim
menggiring Gajah Lebong Hitam, tampaknya memang ekstra hati-hati dalam memilih
pasangan setelah pengalaman panjangnya bersama diplomat Perancis itu. la pernah
jatuh bangun, tatkala terserang penyakit 1974, di saat ia dan suaminya sudah
pisah tempat tidur. Kala itu, ada yang bilang ia terserang tumor, kanker. Namun
sebenarnya kandungannya amoh sehingga blooding, karena itu ia banyak kekurangan
darah. Secara patologi memang ada sel asing. Kepulangannya ke Indonesia dengan
tekad untuk menjadi penulis dan hidup dari karya-karyanya, adalah suatu
keberanian yang luar biasa. Dia sendiri mengaku belum melihat ladang lain,
sekalipun dia mantan pramugrari GIA, mantan penyiar radio dan penari. Tekadnya
hidup sebagai pengarang sudah tak terbantahkan lagi.
Mengisi kesendiriannya, ia bergiat menulis cerita pendek yang dimuat
berbagai penerbitan. Di samping itu, ia pun aktif memelihara tanaman dan
mengurus pondok bacanya di Sekayu. Sebagai pencinta lingkungan, Dini telah membuat
tulisan bersambung di surat kabar Sinar Harapan yang sudah dicabut SIUPP-nya,
dengan tema transmigrasi.
Menjadi pengarang selama hampir 60 tahun tidaklah mudah. Baru dua tahun
terakhir ini, ia menerima royalti honorarium yang bisa menutupi biaya hidup sehari-hari.
Tahun-tahun sebelumnya ia mengaku masih menjadi parasit. Ia banyak dibantu oleh
teman-temannya untuk menutupi biaya makan dan pengobatan.
Tahun 1996-2000, ia sempat menjual-jual barang. Dulu, sewaktu masih di Prancis, ia
sering dititipi tanaman, kucing, hamster, kalau pemiliknya pergi liburan.
Ketika mereka pulang, ia mendapat jam tangan dan giwang emas sebagai upah
menjaga hewan peliharaan mereka. Barang-barang inilah yang ia jual untuk hidup
sampai tahun 2000.
Dini kemudian sakit keras, hepatitis-B, selama 14 hari. Biaya pengobatannya
dibantu oleh Gubernur Jawa Tengah Mardiyanto.
Karena ia sakit, ia juga menjalani USG, yang hasilnya menyatakan ada batu di
empedunya. Biaya operasi sebesar tujuh juta rupiah serta biaya lain-lain
memaksa ia harus membayar biaya total sebesar 11 juta. Dewan Kesenian Jawa
Tengah, mengorganisasi dompet kesehatan Nh Dini. Hatinya semakin tersentuh
ketika mengetahui ada guru-guru SD
yang ikut menyumbang, baik sebesar 10 ribu, atau 25 ribu. Setelah ia sembuh,
Dini, mengirimi mereka surat satu per satu. Ia sadar bahwa banyak orang yang
peduli kepadanya. Sejak 16 Desember 2003, ia kemudian menetap di Sleman, Yogyakarta. Ia
yang semula menetap di Semarang, kini tinggal di kompleks Graha Wredha Mulya,
Sinduadi, Mlati, Sleman, Yogyakarta. Kanjeng Ratu
Hemas, istri Sultan Hamengku Buwono X yang mendengar kepindahannya, menyarankan Dini membawa serta
perpustakaannya. Padahal empat ribu buku dari tujuh ribu buku perpustakaannya,
sudah ia hibahkan ke Rotary Club Semarang.
Alhasil, Dini di Yogya tetap menekuni kegiatan yang sama ia tekuni di
Semarang, membuka taman bacaan. Kepeduliannya, mengundang anak-anak di
lingkungan untuk menyukai bacaan beragam bertema tanah air, dunia luar, dan
fiksi. Ia ingin anak-anak di lingkungannya membaca sebanyak-banyaknya buku-buku
dongeng, cerita rakyat, tokoh nasional, geografi atau lingkungan Indonesia,
cerita rekaan dan petualangan, cerita tentang tokoh internasional, serta
pengetahuan umum. Semua buku ia seleksi dengan hati-hati. Jadi, Pondok Baca Nh
Dini yang lahir di Pondok Sekayu, Semarang pada 1986 itu, sekarang
diteruskan di aula Graha Wredha Mulya. Ia senantiasa berpesan agar anak-anak
muda sekarang banyak membaca dan tidak hanya keluyuran. Ia juga sangat senang
kalau ada pemuda yang mau jadi pengarang, tidak hanya jadi dokter atau
pedagang. Lebih baik lagi jika menjadi pengarang namun mempunyai pekerjaan
lain.
Dalam kondisinya sekarang, ia tetap memegang teguh prinsip-prinsip
hidupnya. Ia merasa beruntung karena dibesarkan oleh orang tua yang menanamkan
prinsip-prinsip hidup yang senantiasa menjaga harga diri. Mungkin karena itu
pulalah NH Dini tidak mudah menerima tawaran-tawaran yang mempunyai nilai
manipulasi dan dapat mengorbankan harga diri.
Ia juga pernah ditawari bekerja tetap pada sebuah majalah dengan gaji
perbulan. Akan tetapi dia memilih menjadi pengarang yang tidak terikat pada
salah satu lembaga penerbitan. Bagi Dini, kesempatan untuk bekerja di media
atau perusahaan penerbitan sebenarnya terbuka lebar. Namun seperti yang
dikatakannya, ia takut kalau-kalau kreativitasnya malah berkurang. Untuk itulah
ia berjuang sendiri dengan cara yang diyakininya; tetap mempertahankan
kemampuan kreatifnya.
Menyinggung soal seks, khususnya adegan-adegan yang dimunculkan dalam
karya-karyanya, ia menganggapnya wajar-wajar saja. Begitulah spontanitas
penuturan pengarang yang pengikut kejawen ini. la tak sungkan-sungkan
mengungkapkan segala persoalan dan kisah perjalanan hidupnya melalui
karya-karya yang ditulisnya.
2.3 Penulis Karya Sastra Perempuan tahun 1980-1990
Dorothea Rosa Herliany (lahir di Magelang, Jawa Tengah, 20 Oktober 1963; umur 49 tahun) adalah seorang penulis dan penyair
Indonesia.
Setamat SMA Stella Duce di Yogyakarta, ia
melanjutkan pendidikan ke Jurusan Sastra Indonesia, FPBS IKIP Sanata Dharma,
Yogyakarta (kini Universitas Sanata Dharma) dan tamat dari sana tahun 1987.
Ia mendirikan Forum Ritus Kata dan menerbitkan berkala budaya Kolong Budaya. Pernah pula membantu harian Sinar Harapan
dan majalah Prospek di Jakarta. Kini
ia mengelola penerbit Tera di Magelang.
Ia menulis sajak dan cerpen. Kumpulan sajaknya: Nyanyian Gaduh
(1987), Matahari yang Mengalir (1990), Kepompong Sunyi (1993), Nikah Ilalang (1995), Mimpi Gugur Daun Zaitun (1999), dan Kill the Radio (Sebuah
Radio, Kumatikan; edisi dwibahasa, 2001). Kumpulan cerpennya: Blencong
(1995), Karikatur dan Sepotong Cinta (1996).
Selain nama-nama tersebut, perlu dicatat pula kehadiran
beberapa pengarang yang lebih banyak berkarya di tataran sastra populer yang
begitu mendominasi dalam pemasaran buku-buku novel. Mereka adalah Mira W.,
Marga T
2.4 Penulis Karya Sastra Perempuan tahun 2000’an-Sekarang
Justina Ayu Utami atau hanya Ayu Utami (lahir di
Bogor, Jawa Barat, 21 November 1968; umur 44 tahun) adalah aktivis
jurnalis dan novelis Indonesia, ia besar di Jakarta dan
menamatkan kuliah di Fakultas Sastra Universitas Indonesia.
Ia pernah menjadi wartawan di majalah Humor, Matra, Forum
Keadilan, dan D&R. Tak lama setelah penutupan Tempo, Editor dan Detik pada
masa Orde Baru, ia
ikut mendirikan Aliansi Jurnalis Independen yang memprotes pembredelan. Kini ia
bekerja di jurnal kebudayaan Kalam dan di Teater Utan Kayu. Novelnya yang pertama, Saman,
mendapatkan sambutan dari berbagai kritikus dan dianggap memberikan warna baru
dalam sastra Indonesia.
Ayu dikenal sebagai novelis sejak novelnya Saman memenangi sayembara
penulisan roman Dewan Kesenian Jakarta 1998. Dalam waktu tiga tahun Saman terjual
55 ribu eksemplar. Berkat Saman pula, Ayu mendapat Prince Claus Award 2000 dari
Prince Claus
Fund, sebuah yayasan yang
bermarkas di Den Haag, yang mempunyai misi mendukung dan memajukan kegiatan di
bidang budaya dan pembangunan. Akhir 2001, ia meluncurkan novel Larung.
Dewi Lestari Simangunsong yang akrab dipanggil Dee (lahir di Bandung, Jawa
Barat, 20
Januari 1976; umur 37 tahun) adalah seorang penulis dan penyanyi asal Indonesia. Dee pertama kali dikenal masyarakat sebagai
anggota trio vokal Rida
Sita Dewi.
Ia merupakan alumnus SMA Negeri 2 Bandung dan lulusan Universitas Parahyangan, jurusan Hubungan Internasional. Sejak
menerbitkan novel Supernova yang populer pada tahun 2001, ia kemudian dikenal luas sebagai novelis
Dee terlahir sebagai anak keempat dari lima bersaudara dari pasangan
Yohan Simangunsong dan Turlan br Siagian (alm). Salah seorang adik kandungnya,
yaitu Arina Ephipania,
merupakan vokalis dari group musik Mocca. Sejak kecil Dee telah akrab dengan
musik. Ayahnya adalah seorang anggota TNI yang belajar piano secara otodidak. Sebelum bergabung dengan
Rida Sita Dewi (RSD), Dee pernah menjadi backing
vocal untuk Iwa K, Java Jive dan Chrisye. Sekitar bulan Mei 1994, ia bersama Rida Farida dan
Indah Sita Nursanti bergabung membentuk trio Rida Sita Dewi
(RSD) atas prakarsa Ajie Soetama dan Adi Adrian.
Trio RSD meluncurkan album perdana, Antara Kita pada tahun 1995
yang kemudian dilanjutkan dengan album Bertiga (1997). RSD kemudian
berkibar di bawah bendera Sony Music Indonesia dengan merilis album Satu
(1999) dengan nomor andalan antara lain, "Kepadamu" dan "Tak
Perlu Memiliki". Menjelang akhir tahun 2002, RSD mengemas lagu-lagu
terbaiknya ke dalam album The Best of Rida Sita Dewi dengan tambahan dua
lagu baru, yakni "Ketika Kau Jauh" ciptaan Stephan Santoso/Inno Daon dan "Terlambat Bertemu",
karya pentolan Kahitna, Yovie Widianto.
Pada tahun 2006, Dee meluncurkan album berbahasa Inggris berjudul Out Of
Shell, dan tahun 2008 melucurkan album RectoVerso,Album Ini mengundang
Arina Mocca berduet di lagu Aku Ada dan berduet di lagu "Peluk"
dengan Aqi Alexa. Hits besarnya adalah "Malaikat Juga Tahu". Di Album
ini juga Dee merilis ulang lagu milik Marcell Siahan berjudul "Firasat".
Herlinatiens (nama asli: Herlina Tien Suhesti;
lahir di Ngawi, 26
April 1982; umur 30 tahun) adalah seorang sastrawan asal Indonesia, meski dia lebih nyaman disebut penulis. Novel pertamanya Garis Tepi Seorang
Lesbian menjadi bestseller yang membantu membuka jalan baginya untuk
menerbitkan novel-novel selanjutnya. Saat ini dia aktif membangun sanggar
Kalian yang memberikan dukungan pada anak-anak, dan tinggal di Yogyakarta.
2.5. Perkembangan Pemikiran dalam Karya
Pendapat sebagian kalangan, misalnya Wilson Nadeak
yang mengatakan bahwa karya sastra adalah cermin pada zamannya merupakan salah
satu segi yang dapat dijadikan unsur penilaian terhadap sebuah karya sastra.
Gagasan yang dihadirkan dalam karya sastra tidak terlepas dari gagasan yang
secara umum dibangun dalam zaman ketika karya sastra tersebut lahir.
Hubungan antara gagasan dalam karya sastra dengan
gagasan utama pada zamannya menyebabkan beberapa pakar membuat semacam
periodisasi sastra. Istilahnya bermacam-macam. Di antara pakar sastra tersebut
ada yang mengistilahkannya periode (Ajip Rosidi) atau angkatan (H.B. Jassin).
Dalam setiap periode tersebut karya-karya sastra
yang dihasilkan oleh perempuan pengarang belum berhasil mengangkat kedudukan
perempuan sebagai bagian sejarah sastra yang diperhitungkan. Gagasan-gagasan
yang hadir dalam karya-karya mereka belum mampu mendominasi peranan yang
dimainkan oleh para sastrawan laki-laki.
Para perempuan pengarang ini lebih banyak
menghadirkan tema-tema yang berhubungan dengan kodratnya sebagai perempuan.
Tema-tema sedih dan kerinduan kerap menjadi tema-tema favorit yang sering hadir
dalam karya-karya mereka. Pengalaman pribadi menjadi sumber ilham bagi mereka
dalam menghasilkan karya-karyanya. Perspektif perempuan dalam menghadapi
masalah dan memandang dunia begitu kental terasa dalam karya-karya novel yang
terbit pada masa tersebut. Persoalan-persoalan yang dihadirkan pun masih
sekitar persoalan yang dihadapi perempuan dalam ranah domestik.
Namun demikian, perubahan cara pandang dari para
perempuan pengarang tersebut mulai terlihat memasuki tahun 60-an hingga tahun
2000-an sekarang ini. Hal itu tidak terlepas dari pengaruh hadirnya aliran
feminisme dari Barat yang mulai memperoleh tempat di kalangan sastrawan.
Pada era tahun 70-an dan tahun 80-an estetika yang
diusung oleh para perempuan pengarang mulai bergerak ke arah pasar. Dalam
periode ini novel-novel yang bergenre populer banyak ditulis oleh mereka.
Hadirnya sejumlah majalah perempuan yang memberi keleluasaan tempat bagi para
pengarang untuk memajangkan karyanya, baik berupa cerpen maupun cerber menyebabkan
karya-karya mereka kemudian membanjiri pasar. Hal itu disebabkan pula oleh
dukungan yang kuat dari sejumlah penerbit dalam menerbitkan karya-karya jenis
ini atas dasar pertimbangan kuatnya daya serap pasar. Memang, pasar pun
merespons novel-novel populer ini karena cerita yang disajikan mudah dicerna
dan ceritanya pun lekat dengan keseharian. Genre ini kemudian melambungkan
sejumlah nama perempuan pengarang sebagai pengarang yang banyak digemari.
Nama-nama besar seperti N.H. Dini, Titiek W.Ss, Mira W., Titi Said, dan La Rose
untuk menyebut sebagian saja mencatatkan diri sebagai pengarang favorit
pembaca.
Meskipun begitu, kemunculan mereka tidak
semenghentak Ayu Utami, Jenar Maesa Ayu, Dinar Rahayu, atau Fira Basuki yang
muncul pada periode 90-an. Perubahan estetika yang sangat jelas dihadirkan oleh
mereka. Situasi ini terutama sejak hadirnya novel Saman karya Ayu Utami yang
sedikit banyak telah mengubah wajah estetika sastra yang selama ini dianut,
baik oleh para perempuan pengarang maupun para sastrawan Indonesia pada
umumnya.
Keberanian Ayu dalam mengeksploitasi tubuh dengan
diksi-diksi yang menjurus seks telah menyentak dunia sastra. Apalagi kehadiran
Saman pun didukung oleh berbagai pujian yang mengalir tidak henti-henti.
Wilayah yang selama ini tabu dibicarakan dan diungkapkan karena bersinggungan
dengan nilai-nilai budaya ketimuran yang selama ini dianut oleh masyarakat
Indonesia dengan leluasa dihadirkan oleh Ayu.
Saman dianggap sebagai pembuka jalan yang
benar-benar mewakili suara zamannya karena di dalamnya penuh kritik,
pemberontakan terhadap nilai yang mapan dan mencari tawaran dunia yang mungkin,
dunia baru yang lebih melegakan karena terbebas dari belenggu nilai-nilai
tradisional. Nada yang sama mengisi karya-karya Dee dan Jenar Mahesa Ayu. Hal
itu diikuti pula oleh para perempuan pengarang seperti Dinar Rahayu dan Fira
Basuki. Berbagai tudingan memang kemudian mengalir kepada mereka, bahkan ada
yang menyebut karya-karya Dinar dan Fira sebagai masokhis sarat kekerasan
seksual.
Di tengah maraknya estetika berwajah seks dan
pemberontakan terhadap nilai-nilai tradisional tersebut secara perlahan, tetapi
pasti Helvy Tiana Rosa, Asma Nadia, dan
sejumlah perempuan pengarang lain yang tergabung dalam Forum Lingkar Pena
kemudian menghadirkan estetika baru pula yang mengusung nilai-nilai estetika
Islam dalam karya-karyanya.
Berbeda dengan Ayu Utami, karya-karya pengarang
islami seperti Asma Nadia lebih banyak mengacu pada pengukuhan nilai-nilai,
kepercayaan keagamaan, karya yang islami, dengan ketaatan pada ketentuan hukum
agama.
Yang menarik sebenarnya adalah ada sisi lain yang
menjadi kesamaan dari karya-karya mereka. Sejumlah karya yang ditulis para
perempuan pengarang ini adalah usahanya untuk tidak lagi terikat oleh problem
domestik. Karya-karya mereka tidak lagi berbicara tentang persoalan rumah
tangga–suami-istri, tetapi persoalan seorang perempuan dalam berhubungan dengan
masyarakat kosmopolitan. Maka, di sana tokoh-tokoh wanita yang menjadi pelaku
utamanya seenaknya bergentayangan ke mancanegara atau berhubungan dengan
masyarakat dunia.
Kehadiran novel Dadaisme (Mahatari, Yogyakarta,
2004) dan Geni Jora (Mahatari, Yogyakarta, 2004) di tengah masih maraknya
fiksi-fiksi kaum perempuan yang mengusung seks atau yang berlabel ‘Islami’
sangat menarik pula. Sebagai karya yang memenangi suatu sayembara bergengsi,
kehadiran dua novel ini membuat perhatian dan pandangan para pengamat sastra
menjadi beragam. Hal itu disebabkan oleh kenyataan bahwa sebagai karya yang
banyak dipuji oleh para juri sayembara yang notabene adalah para sastrawan
kawakan, kedua novel ini justru tidak masuk ke dalam dua mainstreams tersebut
meskipun sebagai ‘refleksi kehidupan’ di sekitar pengarangnya seperti yang
diistilahkan Umar Kayam, kedua novel tersebut tidak terbebas dari persoalan
seks.
Dalam pandangan para pengamat sastra, karya fiksi
yang ditulis kedua perempuan pengarang ini mampu membakar kebekuan gerilya
sastra sekaligus meruntuhkan tembok pembatas antara sastra pop dan sastra
serius. Keduanya mampu menjadi trend dan dibaca oleh kalangan yang kompleks,
mulai dari mereka yang gemar berburu buku-buku porno stensilan hingga
doktor-doktor ilmu sastra yang mejanya penuh dengan naskah-naskah seminar.
Sejak itu estetika sastra Indonesia benar-benar
seperti dikuasai oleh perempuan pengarang. Mengenai hal itu, Sapardi Djoko
Damono dengan nada bercanda mengatakan bahwa masa depan sastra Indonesia berada
di tangan perempuan pengarang. Sebuah pernyataan dari seorang sastrawan dan
pakar sastra terkemuka yang telah mengubah paradigma selama ini dan mungkin
sebuah keberhasilan dari upaya yang dilakukan oleh para perempuan pengarang
yang tidak mungkin terjadi di masa lalu.
Kini perempuan pengarang bisa menepuk dada bahwa
mereka bisa mengubah wajah sastra Indonesia menjadi begitu feminin. Mereka pun
benar-benar telah menjadi bintang dalam hiruk-pikuk dunia sastra Indonesia
modern hari ini.
BAB III
PENUTUP
3.1 Saran
Dalam penulisan
makalah ini sebenarnya masih jauh dari kesempurnaan. Masih banyak penulis
perempuan yang tidak di bahas dan diteliti lebih jauh. Maka dari itu untuk
terus menambah referensi ilmu pengetahuan yang berkenaan peranan perempuan di
dunia tulis menulis, penyusun mengharapkan kita agar tetap terus menambah dan
mencari bahan untuk dijadikan pelajaran.
3.2 Kesimpulan
Sejak zaman Selasih, Maria Amin, N.H. Dini, hingga
Ayu Utami dan Dewi Sartika, peta perkembangan estetika sastra yang diusung oleh
perempuan pengarang telah mengalami perubahan yang berarti. Seiring dengan
perkembangan pandangan terhadap dunia perempuan, pola pikir dan pola ucap
mereka pun telah mengalami perubahan pula. Keberanian mereka dalam
mengeksploitasi berbagai hal yang selama ini hanya dipendam di wilayah tertutup
telah memberikan wacana baru dalam dunia sastra Indonesia bahwa menyepelekan
perempuan pengarang atas karya-karyanya adalah sebuah kesalahan besar.
Ketika seorang perempuan telah keluar dari wilayah
domestik yang mengungkungnya, mereka akan lebih mempunyai daya daripada yang
dimiliki laki-laki dalam mengaktualisasikan dirinya di tengah lingkungannya.
Hal itu setidaknya dialami oleh para perempuan pengarang, seperti Ayu Utami dan
Jenar Maesa Ayu.
Di sisi lain, ada pula yang menyadari bahwa
kedudukannya sebagai perempuan tentu dibatasi oleh norma-norma yang selama ini diyakininya
telah mampu menjadi benteng pertahanan.
Yang perlu dicatat dalam fenomena sastra dewasa
ini—ketika perempuan pengarang mendominasi penciptaan karya sastra—adalah bahwa
kehadiran mereka dalam pentas sastra sejak enam tahun terakhir bukanlah hanya
sebatas kepentingan gaul. Patut dicatat pula bahwa sebenarnya mereka tidak lagi
menjadi bayang-bayang keangkeran dunia sastra. Kehadiran para perempuan
pengarang ini niscaya telah mengguratkan garis berbeda dengan para pengarang
sebelumnya, termasuk ketika Selasih menulis novel Kalau Tak Untung, pada tahun
1933, yang dianggap sebagai tonggak kemunculan perempuan pengarang dalam
khazanah sastra Indonesia.
Demikianlah posisi dan kedudukan perempuan pengarang
dalam perkembangan sastra Indonesia. Posisi dan kedudukan perempuan pengarang
yang pada awal perkembangan sastra Indonesia belum begitu mengemuka karena
keterbatasan pengarang mulai menempati posisi yang penting, disejajarkan dengan
laki-laki pengarang, bahkan mulai melebihi peranan yang dimainkan oleh laki-laki
pengarang—meskipun premis ini tentu harus dikaji lebih lanjut.
Daftar Pustaka
http://www.wikipedia.com
http://tokohindonesia.blogspot.com
Adjikoesoemo,
BSW. 2006. “Potret Buram Nasib Perempuan dalam Sastra”. Republika edisi Minggu,
06 Januari 2008.
Aminuddin,
Mariana. 2005. Sosok Perempuan dalam ‘Sastra Lelaki’”. Republika edisi Minggu,
23 Januari 2005.
Bandel, Katrin.
2006. Sastra, Perempuan, Seks. Yogyakarta: Jalasutra.
Culler. 1983. On
Deconstruction Theory and Criticism after Structuralism. London: Routledge
Kegan Paul.
Herfanda,
Ahmadun Yosi. 2006. “Kegairahan Perempuan dan Problem Estetika Sastra”. H.U.
Republika edisi Minggu, 07 Mei 2006.
Kurniawan, Aris.
“Sastra dan Pemberontakan Kaum Perempuan”. Republika edisi 14 Agustus 2005.
Kuntowijoyo.
1987. Beberapa Perspektif Feminis dalam Menganalisis Permasalahan Wanita.
Yogyakarta: Pustaka Pelajar.
Moeliono, Anton
M. (Penyunting). 1988. Kamus Besar Bahasa Indonesia. Jakarta. Balai Pustaka.
Rosidi, Ajip.
1982. Ikhtisar Sejarah Sastra Indonesia. Bandung: Bina Cipta.
Sugihastuti.
1991. Kritik Sastra Feminis: Sebuah Pengantar. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.
Winata, Reni.
1988. “Citra Wanita dalam Across the Seawall”. Makalah Seminar Sastra Modern.
Jakarta: Fakultas Sastra Universitas Indonesia.
ASSALAMUALAIKUM SAYA INGIN BERBAGI CARA SUKSES SAYA NGURUS IJAZAH saya atas nama bambang asal dari jawa timur sedikit saya ingin berbagi cerita masalah pengurusan ijazah saya yang kemarin hilang mulai dari ijazah SD sampai SMA, tapi alhamdulillah untung saja ada salah satu keluarga saya yang bekerja di salah satu dinas kabupaten di wilayah jawa timur dia memberikan petunjuk cara mengurus ijazah saya yang hilang, dia memberikan no hp BPK DR SUTANTO S.H, M.A beliau selaku kepala biro umum di kantor kemendikbud pusat jakarta nomor hp beliau 0823-5240-6469, alhamdulillah beliau betul betul bisa ngurusin masalah ijazah saya, alhamdulillah setelah saya tlp beliau di nomor hp 0823-5240-6469, saya di beri petunjuk untuk mempersiap'kan berkas yang di butuh'kan sama beliau dan hari itu juga saya langsun email berkas'nya dan saya juga langsung selesai'kan ADM'nya 50% dan sisa'nya langsun saya selesai'kan juga setelah ijazah saya sudah ke terima, alhamdulillah proses'nya sangat cepat hanya dalam 1 minggu berkas ijazah saya sudah ke terima.....alhamdulillah terima kasih kpd bpk DR SUTANTO S.H,M.A berkat bantuan bpk lamaran kerja saya sudah di terima, bagi saudara/i yang lagi bermasalah malah ijazah silah'kan hub beliau semoga beliau bisa bantu, dan ternyata juga beliau bisa bantu dengan menu di bawah ini wassalam.....
BalasHapus1. Beliau bisa membantu anda yang kesulitan :
– Ingin kuliah tapi gak ada waktu karena terbentur jam kerja
– Ijazah hilang, rusak, dicuri, kebakaran dan kecelakaan faktor lain, dll.
– Drop out takut dimarahin ortu
– IPK jelek, ingin dibagusin
– Biaya kuliah tinggi tapi ingin cepat kerja
– Ijazah ditahan perusahaan tetapi ingin pindah ke perusahaan lain
– Dll.
2. PRODUK KAMI
Semua ijazah DIPLOMA (D1,D2,D3) S/D
SARJANA (S1, S2)..
Hampir semua perguruan tinggi kami punya
data basenya.
UNIVERSITAS TARUMA NEGARA UNIVERSITAS MERCUBUANA
UNIVERSITAS GAJAH MADA UNIVERSITAS ATMA JAYA
UNIVERSITAS PANCASILA UNIVERSITAS MOETOPO
UNIVERSITAS TERBUKA UNIVERSITAS ISLAM INDONESIA
UNIVERSITAS TRISAKTI UNIVERSITAS KRISTEN INDONESIA
UNIVERSITAS BUDI LIHUR ASMI
UNIVERSITAS ILMUKOMPUTER UNIVERSITAS DIPONOGORO
AKADEMI BAHASA ASING BINA SARANA INFORMATIKA
UPN VETERAN AKADEMI PARIWISATA INDONESIA
INSTITUT TEKHNOLOGI SERPONG STIE YPKP
STIE SUKABUMI YAI
ISTN STIE PERBANAS
LIA / TOEFEL STIMIK SWADHARMA
STIMIK UKRIDA
UNIVERSITAS NASIONAL UNIVERSITAS JAKARTA
UNIVERSITAS BUNG KARNO UNIVERSITAS PADJAJARAN
UNIVERSITAS BOROBUDUR UNIVERSITAS INDONESIA
UNIVERSITAS MUHAMMADYAH UNIVERSITAS BATAM
UNIVERSITAS SAHID DLL
3. DATA YANG DI BUTUHKAN
Persyaratan untuk ijazah :
1. Nama
2. Tempat & tgl lahir
3. foto ukuran 4 x 6 (bebas, rapi, dan usahakan berjas),semua data discan dan di email ke alamat email bpk sutantokemendikbud@gmail.com
4. IPK yang di inginkan
5. universitas yang di inginkan
6. Jurusan yang di inginkan
7. Tahun kelulusan yang di inginkan
8. Nama dan alamat lengkap, serta no. telphone untuk pengiriman dokumen
9. Di kirim ke alamat email: sutantokemendikbud@gmail.com berkas akan di tindak lanjuti akan setelah pembayaran 50% masuk
10. Pembayaran lewat Transfer ke Rekening MANDIRI, BNI, BRI,
11. PENGIRIMAN Dokumen Via JNE
4. Biaya – Biaya
• SD = Rp. 1.500.000
• SMP = Rp. 2.000.000
• SMA = Rp. 3.000.000
• D3 = 6.000.000
• S1 = 7.500.000(TERGANTUN UNIVERSITAS)
• S2 = 12.000.000(TERGANTUN UNIVERSITAS)
• S3 / Doktoral Rp. 24.000.000
(kampus terkenal – wajib ikut kuliah beberapa bulan)
• D3 Kebidanan / keperawatan Rp. 8.500.000
(minimal sudah pernah kuliah di jurusan tersebut hingga semester 4)
• Pindah jurusan/profesi dari Bidan/Perawat ke Dokter. Rp. 32.000.000