Rabu, 22 Mei 2013

Semester 2 Sejarah Sastra



MAKALAH SEJARAH SASTRA
PENGARANG-PENGARANG WANITA INDONESIA
Diajukan untuk memenuhi salahsatu tugas Sejarah Sastra

Dosen : Yuyus Supriatna S.Sen




Iis Siti Aisyah
Hilda Wulandari
Rika Anjani

Kelas 1F (Karyawan)


FAKULTAS KEGURUAN DAN ILMU PENDIDIKAN
PRODI : BAHASA DAN SASTRA INDONESIA
UNIVERSITAS GALUH CIAMIS
2013


BAB I
PENDAHULUAN

1.1    Latar Belakang
Sebenarnya, pengarang wanita Indonesia sudah sejak lama ikut berpartisipasi dalam dunia tulis menulis. Namun jumlahnya tidak sebanyak  kaum laki-laki, salah satu nya adalah Selasih yaitu nama samara Sariamin, seorang perempuan asli Sumatera Barat. Ia adalah penulis perempuan pertama yang ada di Indonesia. Tulisan pertamanya yang berjudul Kalau Tak Untung pada tahun 1933 dan Pengaruh Keadaan membuatnya sebagai perempuan pertama yang berpartisipasi dalam dunia tulis menulis.
Hal itu tentu saja tidak menjadikan bangsa Indonesia miskin sastrawan perempuan. Karena sekarang, bermunculan bibit-bibit baru generasi muda. Salah satunya adalah Asma Nadia, dan Herlina Tien Suhesti. Dan masih banyak lagi yang lainnya yang akan kita bahas di bab-bab selanjutnya.
Untuk itulah kita akan mencoba mengulas bagaimanakah sesungguhnya peranan penulis perempuan di Indonesia. Dan pastinya sebagai mahasiswa/i jurusan Bahasa dan Sastra Indonesia kita memiliki kewajiban tersendiri untuk memahami dan mengetahuinya.

1.2    Rumusan Masalah
Dari permasalahan yang penyusun angkat, dapat dirumuskan masalah sebagai berikut :
1.      Bagaimana peran perempuan Indonesia dalam dunia tulis menulis?
2.      Sampai dimanakah peranan kaum perempuan membentuk satuan komunitas penulis?
3.      Adakah pengaruh dari luar yang membuat sastra Indonesia menjadi berubah.

1.3    Tujuan Penulisan
Selain untuk menambah pengetahuan dan referensi, disini penulis ingin memperkenalkan sejauh mana peranan perempuan dalam membentuk diri dan tulisan, sehingga pembaca dapat dengan mudah mengenal dan memahami karakteristik penulis baik dari peride poejangga baroe sampai sekarang.


1.4    Manfaat Penulisan
Manfaat dari penulisan ini diharapkan semua mahasiswa Bahasa dan Sastra Indonesia mengenal dan lebih memahami bagaimana karakteristik penulis perempuanm, terutama di Indonesia.

1.5 Sistematika Penulisan
BAB I : Pendahuluan, yang terdiri dari latar belakang, rumusan masalah, tujuan penulisan, manfaat penulisan dan kerangka penulisan.
BAB II : Pembahasan
BAB III : Penutup
DAFTAR PUSTAKA


BAB II
PEMBAHASAN
2.1  Penulis Perempuan di Zaman Poedjangga Baroe dan Pandji Poestaka

Jumlah pengarang wanita Indonesia tidak banyak apalagi pada masa sebelum perang. Yang paling terkenal adalah Selasih atau Seleguri yaitu nama samaran dari Sariamin. Ia lahir di Talu Sumatera Barat tahun 1990 menulis dua buah roman dan sajak-sajak. Kedua roman itu adalah Kalau tak Untung (1933) dan pengaruh keadaaan (1937). Sajak-sajaknya banyak dimuat dalam majalah poedjangga baroe dan Pandji Poestaka.

Tulisan yang diangkatnya cenderung sarat penderitaan dan kemelaratan. Kalau tak Untung melukiskan percintaan dua orang anak yang bersahabat sejak masih kecil dan sama-sama hidup dalam tak berkecukupan.Cinta Rusamani dan Masrul yang tertanam sejak kecil ini tidak kesampaian. Begitu juga pada tulisannya yang berjudul Pengaruh Keadaan dikisahkan kemalangan dan kesengsaraan Yusnani yang hidup di dalam tekanan ibu tirinya. Namun, kemalangannya berakhir ketika Yusnani diambil saudaranya dan ditolong oleh sahabat saudaranya Syahruddin yang kemudian dinikahinya.

Pengarang lainnya yang terkenal pada masa ini adalah Hamidah yang konon merupakan nama samara  Fatimah H Delais (1914-1953)yang namanya tercantum sebagai pembantu majalah Peodjangga Baroe dari Palembang. Ia hanya mengarang satu buah buku yang berjudul Kehilangan Mestika (1953). Tipe tulisannya pun hamper sama dengan Selasih, dalam bukunya ini ia menceritakan penderitaan dan kemalangan pelakunya. Dimulai dari kehilangan seorang ayah, dan kehilangan kekasih yang berturut-turut. Sehingga ia pun mau dinikahkan dengan laki-laki yang tidak dicintainya. Penderitaannya pun tidak sampai disana. Selama bertahun-tahun menikah, perkawinannya tidak kunjung dikaruniai anak, akhirnya ia mengizinkan suaminya beristri lagi.

Adlin Affandi dan Sa’adah Alim (1898-1968), masing-masing menulis sebuah sandiwara yang berjudul Gadis Modern (1941) dan Pembalasannya. Sa’adah Salim juga menulis sejumlah Cerpen yang kemudian dibukukan dengan judul Taman Penghibur Hati.
Menjelang Jepang datang, muncul pula Maria Amin lahir di Bengkulu yang menulis sajak-sajak dalam majalah Poedjangga baroe, tetapi tulisannya begitu berarti ketika Jepang menjajah Indonesia dengan tulisannya yang simbolistis.
Samiati Alisjahbana (lahir di Jakarta, 15 Maret 1930 – meninggal di Honolulu, Hawaii, 15 Agustus 1966 pada umur 36 tahun) adalah seorang sastrawan dan penyair Indonesia. Dia pernah menempuh pendidikan di Fakultas Sastra dan Filsafat Universitas Indonesia selama tiga tahun sebelum memperdalam ilmunya di Cornell University, Ithaca, New York, Amerika Serikat pada tahun 1954. Karya-karya sastranya antara lain adalah Seserpih Pinang Sepucuk Sirih, Harapan dan Sangka dan banyak karya lainnya
2.Penulis Karya Sastra Perempuan Angkatan 1950 - 1960-an
NH Dini dilahirkan dari pasangan Saljowidjojo dan Kusaminah. Ia anak bungsu dari lima bersaudara, ulang tahunnya dirayakan empat tahun sekali. Masa kecilnya penuh larangan. Konon ia masih berdarah Bugis, sehingga jika keras kepalanya muncul, ibunya acap berujar, “Nah, darah Bugisnya muncul".
NH Dini mengaku mulai tertarik menulis sejak kelas tiga SD. Buku-buku pelajarannya penuh dengan tulisan yang merupakan ungkapan pikiran dan perasaannya sendiri. Ia sendiri mengakui bahwa tulisan itu semacam pelampiasan hati. Ibu Dini adalah pembatik yang selalu bercerita padanya tentang apa yang diketahui dan dibacanya dari bacaan Panji Wulung, Penyebar Semangat, Tembang-tembang Jawa dengan Aksara Jawa dan sebagainya. Baginya, sang ibu mempunyai pengaruh yang besar dalam membentuk watak dan pemahamannya akan lingkungan.
Sekalipun sejak kecil kebiasaan bercerita sudah ditanamkan, sebagaimana yang dilakukan ibunya kepadanya, ternyata Dini tidak ingin jadi tukang cerita. la malah bercita-cita jadi sopir lokomotif atau masinis. Tapi ia tak kesampaian mewujudkan obsesinya itu hanya karena tidak menemukan sekolah bagi calon masinis kereta api.
Kalau pada akhirnya ia menjadi penulis, itu karena ia memang suka cerita, suka membaca dan kadang-kadang ingin tahu kemampuannya. Misalnya sehabis membaca sebuah karya, biasanya dia berpikir jika hanya begini saya pun mampu membuatnya. Dan dalam kenyataannya ia memang mampu dengan dukungan teknik menulis yang dikuasainya.
Dini ditinggal wafat ayahnya semasih duduk di bangku SMP, sedangkan ibunya hidup tanpa penghasilan tetap. Mungkin karena itu, ia jadi suka melamun. Bakatnya menulis fiksi semakin terasah di sekolah menengah. Waktu itu, ia sudah mengisi majalah dinding sekolah dengan sajak dan cerita pendek. Dini menulis sajak dan prosa berirama dan membacakannya sendiri di RRI Semarang ketika usianya 15 tahun. Sejak itu ia rajin mengirim sajak-sajak ke siaran nasional di [RRI]Semarang dalam acara Tunas Mekar.
Peraih penghargaan SEA Write Award di bidang sastra dari Pemerintah Thailand ini sudah telanjur dicap sebagai sastrawan di Indonesia, padahal ia sendiri mengaku hanyalah seorang pengarang yang menuangkan realita kehidupan, pengalaman pribadi dan kepekaan terhadap lingkungan ke dalam setiap tulisannya. Ia digelari pengarang sastra feminis. Pendiri Pondok Baca NH Dini di Sekayu, Semarang ini sudah melahirkan puluhan karya.
Beberapa karya Nurhayati Sri Hardini Siti Nukatin yang dikenal dengan nama NH Dini, ini yang terkenal, di antaranya Pada Sebuah Kapal (1972), La Barka (1975) atau Namaku Hiroko (1977), Orang-orang Tran (1983), Pertemuan Dua Hati (1986), Hati yang Damai (1998), belum termasuk karya-karyanya dalam bentuk kumpulan cerpen, novelet, atau cerita kenangan. Budi Darma menyebutnya sebagai pengarang sastra feminis yang terus menyuarakan kemarahan kepada kaum laki-laki. Terlepas dari apa pendapat orang lain, ia mengatakan bahwa ia akan marah bila mendapati ketidakadilan khususnya ketidakadilan gender yang sering kali merugikan kaum perempuan. Dalam karyanya yang terbaru berjudul Dari Parangakik ke Kamboja (2003), ia mengangkat kisah tentang bagaimana perilaku seorang suami terhadap isterinya. Ia seorang pengarang yang menulis dengan telaten dan produktif, seperti komentar Putu Wijaya; 'kebawelan yang panjang.'
Hingga kini, ia telah menulis lebih dari 20 buku. Kebanyakan di antara novel-novelnya itu bercerita tentang wanita. Namun banyak orang berpendapat, wanita yang dilukiskan Dini terasa “aneh”. Ada pula yang berpendapat bahwa dia menceritakan dirinya sendiri. Itu penilaian sebagian orang dari karya-karyanya. Akan tetapi terlepas dari semua penilaian itu, karya NH Dini adalah karya yang dikagumi. Buku-bukunya banyak dibaca kalangan cendekiawan dan jadi bahan pembicaraan sebagai karya sastra.
Bukti keseriusannya dalam bidang yang ia geluti tampak dari pilihannya, masuk jurusan sastra ketika menginjak bangku SMA di Semarang. Ia mulai mengirimkan cerita-cerita pendeknya ke berbagai majalah. Ia bergabung dengan kakaknya, Teguh Asmar, dalam kelompok sandiwara radio bernama Kuncup Berseri. Sesekali ia menulis naskah sendiri. Dini benar-benar remaja yang sibuk. Selain menjadi redaksi budaya pada majalah remaja Gelora Muda, ia membentuk kelompok sandiwara di sekolah, yang diberi nama Pura Bhakti. Langkahnya semakin mantap ketika ia memenangi lomba penulisan naskah sandiwara radio se-Jawa Tengah. Setelah di SMA Semarang, ia pun menyelenggarakan sandiwara radio Kuncup Seri di Radio Republik Indonesia (RRI) Semarang. Bakatnya sebagai tukang cerita terus dipupuk.
Pada 1956, sambil bekerja di Garuda Indonesia Airways (GIA) di Bandara Kemayoran, Dini menerbitkan kumpulan cerita pendeknya, Dua Dunia. Sejumlah bukunya bahkan mengalami cetak ulang sampai beberapa kali - hal yang sulit dicapai oleh kebanyakan buku sastra. Buku lain yang tenar karya Dini adalah Namaku Hiroko dan Keberangkatan. la juga menerbitkan serial kenangan, sementara cerpen dan tulisan lain juga terus mengalir dari tangannya. Walau dalam keadaan sakit sekalipun, ia terus berkarya.
Dini dikenal memiliki teknik penulisan konvensional. Namun menurutnya teknik bukan tujuan melainkan sekedar alat. Tujuannya adalah tema dan ide. Tidak heran bila kemampuan teknik penulisannya disertai dengan kekayaan dukungan tema yang sarat ide cemerlang. Dia mengaku sudah berhasil mengungkapkan isi hatinya dengan teknik konvensional.
Ia mengakui bahwa produktivitasnya dalam menulis termasuk lambat. Ia mengambil contoh bukunya yang berjudul Pada Sebuah Kapal, prosesnya hampir sepuluh tahun sampai buku itu terbit padahal mengetiknya hanya sebulan. Baginya, yang paling mengasyikkan adalah mengumpulkan catatan serta penggalan termasuk adegan fisik, gagasan dan lain-lain. Ketika ia melihat melihat atau mendengar yang unik, sebelum tidur ia tulis tulis dulu di blocknote dengan tulis tangan.
Pengarang yang senang tanaman ini, biasanya menyiram tanaman sambil berpikir, mengolah dan menganalisa. la merangkai sebuah naskah yang sedang dikerjakannya. Pekerjaan berupa bibit-bibit tulisan itu disimpannya pada sejumlah map untuk kemudian ditulisnya bila sudah terangkai cerita.
Dini dipersunting Yves Coffin, Konsul Prancis di Kobe, Jepang, pada 1960. Dari pernikahan itu ia dikaruniai dua anak, Marie-Claire Lintang (kini 42 tahun) dan Pierre Louis Padang (kini 36 tahun). Anak sulungnya kini menetap di Kanada, dan anak bungsunya menetap di Prancis.
Sebagai konsekuensi menikah dengan seorang diplomat, Dini harus mengikuti ke mana suaminya ditugaskan. Ia diboyong ke Jepang, dan tiga tahun kemudian pindah ke Pnom Penh, Kamboja. Kembali ke negara suaminya, Prancis, pada 1966, Dini melahirkan anak keduanya pada 1967. Selama ikut suaminya di Paris, ia tercatat sebagai anggota Les Amis dela Natura (Green Peace). Dia turut serta menyelamatkan burung belibis yang terkena polusi oleh tenggelamnya kapal tanker di pantai utara Perancis.
Setahun kemudian ia mengikuti suaminya yang ditempatkan di Manila, Filipina. Pada 1976, ia pindah ke Detroit, AS, mengikuti suaminya yang menjabat Konsul Jenderal Prancis. Dini berpisah dengan suaminya, Yves Coffin pada 1984, dan mendapatkan kembali kewarganegaraan RI pada 1985 melalui Pengadilan Negeri Jakarta.
Mantan suaminya masih sering berkunjung ke Indonesia. Dini sendiri pernah ke Kanada ketika akan mengawinkan Lintang, anaknya. Lintang sebenarnya sudah melihat mengapa ibunya berani mengambil keputusan cerai. Padahal waktu itu semua orang menyalahkannya karena dia meninggalkan konstitusi perkawinan dan anak-anak. Karena itulah ia tak memperoleh apa-apa dari mantan suaminya itu. Ia hanya memperoleh 10.000 dollar AS yang kemudian digunakannya untuk membuat pondok baca anak-anak di Sekayu, Semarang.
Dini yang pencinta lingkungan dan pernah ikut Menteri KLH Emil Salim menggiring Gajah Lebong Hitam, tampaknya memang ekstra hati-hati dalam memilih pasangan setelah pengalaman panjangnya bersama diplomat Perancis itu. la pernah jatuh bangun, tatkala terserang penyakit 1974, di saat ia dan suaminya sudah pisah tempat tidur. Kala itu, ada yang bilang ia terserang tumor, kanker. Namun sebenarnya kandungannya amoh sehingga blooding, karena itu ia banyak kekurangan darah. Secara patologi memang ada sel asing. Kepulangannya ke Indonesia dengan tekad untuk menjadi penulis dan hidup dari karya-karyanya, adalah suatu keberanian yang luar biasa. Dia sendiri mengaku belum melihat ladang lain, sekalipun dia mantan pramugrari GIA, mantan penyiar radio dan penari. Tekadnya hidup sebagai pengarang sudah tak terbantahkan lagi.
Mengisi kesendiriannya, ia bergiat menulis cerita pendek yang dimuat berbagai penerbitan. Di samping itu, ia pun aktif memelihara tanaman dan mengurus pondok bacanya di Sekayu. Sebagai pencinta lingkungan, Dini telah membuat tulisan bersambung di surat kabar Sinar Harapan yang sudah dicabut SIUPP-nya, dengan tema transmigrasi.
Menjadi pengarang selama hampir 60 tahun tidaklah mudah. Baru dua tahun terakhir ini, ia menerima royalti honorarium yang bisa menutupi biaya hidup sehari-hari. Tahun-tahun sebelumnya ia mengaku masih menjadi parasit. Ia banyak dibantu oleh teman-temannya untuk menutupi biaya makan dan pengobatan.
Tahun 1996-2000, ia sempat menjual-jual barang. Dulu, sewaktu masih di Prancis, ia sering dititipi tanaman, kucing, hamster, kalau pemiliknya pergi liburan. Ketika mereka pulang, ia mendapat jam tangan dan giwang emas sebagai upah menjaga hewan peliharaan mereka. Barang-barang inilah yang ia jual untuk hidup sampai tahun 2000.
Dini kemudian sakit keras, hepatitis-B, selama 14 hari. Biaya pengobatannya dibantu oleh Gubernur Jawa Tengah Mardiyanto. Karena ia sakit, ia juga menjalani USG, yang hasilnya menyatakan ada batu di empedunya. Biaya operasi sebesar tujuh juta rupiah serta biaya lain-lain memaksa ia harus membayar biaya total sebesar 11 juta. Dewan Kesenian Jawa Tengah, mengorganisasi dompet kesehatan Nh Dini. Hatinya semakin tersentuh ketika mengetahui ada guru-guru SD yang ikut menyumbang, baik sebesar 10 ribu, atau 25 ribu. Setelah ia sembuh, Dini, mengirimi mereka surat satu per satu. Ia sadar bahwa banyak orang yang peduli kepadanya. Sejak 16 Desember 2003, ia kemudian menetap di Sleman, Yogyakarta. Ia yang semula menetap di Semarang, kini tinggal di kompleks Graha Wredha Mulya, Sinduadi, Mlati, Sleman, Yogyakarta. Kanjeng Ratu Hemas, istri Sultan Hamengku Buwono X yang mendengar kepindahannya, menyarankan Dini membawa serta perpustakaannya. Padahal empat ribu buku dari tujuh ribu buku perpustakaannya, sudah ia hibahkan ke Rotary Club Semarang.
Alhasil, Dini di Yogya tetap menekuni kegiatan yang sama ia tekuni di Semarang, membuka taman bacaan. Kepeduliannya, mengundang anak-anak di lingkungan untuk menyukai bacaan beragam bertema tanah air, dunia luar, dan fiksi. Ia ingin anak-anak di lingkungannya membaca sebanyak-banyaknya buku-buku dongeng, cerita rakyat, tokoh nasional, geografi atau lingkungan Indonesia, cerita rekaan dan petualangan, cerita tentang tokoh internasional, serta pengetahuan umum. Semua buku ia seleksi dengan hati-hati. Jadi, Pondok Baca Nh Dini yang lahir di Pondok Sekayu, Semarang pada 1986 itu, sekarang diteruskan di aula Graha Wredha Mulya. Ia senantiasa berpesan agar anak-anak muda sekarang banyak membaca dan tidak hanya keluyuran. Ia juga sangat senang kalau ada pemuda yang mau jadi pengarang, tidak hanya jadi dokter atau pedagang. Lebih baik lagi jika menjadi pengarang namun mempunyai pekerjaan lain.
Dalam kondisinya sekarang, ia tetap memegang teguh prinsip-prinsip hidupnya. Ia merasa beruntung karena dibesarkan oleh orang tua yang menanamkan prinsip-prinsip hidup yang senantiasa menjaga harga diri. Mungkin karena itu pulalah NH Dini tidak mudah menerima tawaran-tawaran yang mempunyai nilai manipulasi dan dapat mengorbankan harga diri.
Ia juga pernah ditawari bekerja tetap pada sebuah majalah dengan gaji perbulan. Akan tetapi dia memilih menjadi pengarang yang tidak terikat pada salah satu lembaga penerbitan. Bagi Dini, kesempatan untuk bekerja di media atau perusahaan penerbitan sebenarnya terbuka lebar. Namun seperti yang dikatakannya, ia takut kalau-kalau kreativitasnya malah berkurang. Untuk itulah ia berjuang sendiri dengan cara yang diyakininya; tetap mempertahankan kemampuan kreatifnya.
Menyinggung soal seks, khususnya adegan-adegan yang dimunculkan dalam karya-karyanya, ia menganggapnya wajar-wajar saja. Begitulah spontanitas penuturan pengarang yang pengikut kejawen ini. la tak sungkan-sungkan mengungkapkan segala persoalan dan kisah perjalanan hidupnya melalui karya-karya yang ditulisnya.


2.3     Penulis Karya Sastra Perempuan tahun 1980-1990
Dorothea Rosa Herliany (lahir di Magelang, Jawa Tengah, 20 Oktober 1963; umur 49 tahun) adalah seorang penulis dan penyair Indonesia.
Setamat SMA Stella Duce di Yogyakarta, ia melanjutkan pendidikan ke Jurusan Sastra Indonesia, FPBS IKIP Sanata Dharma, Yogyakarta (kini Universitas Sanata Dharma) dan tamat dari sana tahun 1987.
Ia mendirikan Forum Ritus Kata dan menerbitkan berkala budaya Kolong Budaya. Pernah pula membantu harian Sinar Harapan dan majalah Prospek di Jakarta. Kini ia mengelola penerbit Tera di Magelang.
Ia menulis sajak dan cerpen. Kumpulan sajaknya: Nyanyian Gaduh (1987), Matahari yang Mengalir (1990), Kepompong Sunyi (1993), Nikah Ilalang (1995), Mimpi Gugur Daun Zaitun (1999), dan Kill the Radio (Sebuah Radio, Kumatikan; edisi dwibahasa, 2001). Kumpulan cerpennya: Blencong (1995), Karikatur dan Sepotong Cinta (1996).
Selain nama-nama tersebut, perlu dicatat pula kehadiran beberapa pengarang yang lebih banyak berkarya di tataran sastra populer yang begitu mendominasi dalam pemasaran buku-buku novel. Mereka adalah Mira W., Marga T

2.4     Penulis Karya Sastra Perempuan tahun 2000’an-Sekarang
Justina Ayu Utami atau hanya Ayu Utami (lahir di Bogor, Jawa Barat, 21 November 1968; umur 44 tahun) adalah aktivis jurnalis dan novelis Indonesia, ia besar di Jakarta dan menamatkan kuliah di Fakultas Sastra Universitas Indonesia.
Ia pernah menjadi wartawan di majalah Humor, Matra, Forum Keadilan, dan D&R. Tak lama setelah penutupan Tempo, Editor dan Detik pada masa Orde Baru, ia ikut mendirikan Aliansi Jurnalis Independen yang memprotes pembredelan. Kini ia bekerja di jurnal kebudayaan Kalam dan di Teater Utan Kayu. Novelnya yang pertama, Saman, mendapatkan sambutan dari berbagai kritikus dan dianggap memberikan warna baru dalam sastra Indonesia.
Ayu dikenal sebagai novelis sejak novelnya Saman memenangi sayembara penulisan roman Dewan Kesenian Jakarta 1998. Dalam waktu tiga tahun Saman terjual 55 ribu eksemplar. Berkat Saman pula, Ayu mendapat Prince Claus Award 2000 dari Prince Claus Fund, sebuah yayasan yang bermarkas di Den Haag, yang mempunyai misi mendukung dan memajukan kegiatan di bidang budaya dan pembangunan. Akhir 2001, ia meluncurkan novel Larung.
Dewi Lestari Simangunsong yang akrab dipanggil Dee (lahir di Bandung, Jawa Barat, 20 Januari 1976; umur 37 tahun) adalah seorang penulis dan penyanyi asal Indonesia. Dee pertama kali dikenal masyarakat sebagai anggota trio vokal Rida Sita Dewi. Ia merupakan alumnus SMA Negeri 2 Bandung dan lulusan Universitas Parahyangan, jurusan Hubungan Internasional. Sejak menerbitkan novel Supernova yang populer pada tahun 2001, ia kemudian dikenal luas sebagai novelis
Dee terlahir sebagai anak keempat dari lima bersaudara dari pasangan Yohan Simangunsong dan Turlan br Siagian (alm). Salah seorang adik kandungnya, yaitu Arina Ephipania, merupakan vokalis dari group musik Mocca. Sejak kecil Dee telah akrab dengan musik. Ayahnya adalah seorang anggota TNI yang belajar piano secara otodidak. Sebelum bergabung dengan Rida Sita Dewi (RSD), Dee pernah menjadi backing vocal untuk Iwa K, Java Jive dan Chrisye. Sekitar bulan Mei 1994, ia bersama Rida Farida dan Indah Sita Nursanti bergabung membentuk trio Rida Sita Dewi (RSD) atas prakarsa Ajie Soetama dan Adi Adrian.
Trio RSD meluncurkan album perdana, Antara Kita pada tahun 1995 yang kemudian dilanjutkan dengan album Bertiga (1997). RSD kemudian berkibar di bawah bendera Sony Music Indonesia dengan merilis album Satu (1999) dengan nomor andalan antara lain, "Kepadamu" dan "Tak Perlu Memiliki". Menjelang akhir tahun 2002, RSD mengemas lagu-lagu terbaiknya ke dalam album The Best of Rida Sita Dewi dengan tambahan dua lagu baru, yakni "Ketika Kau Jauh" ciptaan Stephan Santoso/Inno Daon dan "Terlambat Bertemu", karya pentolan Kahitna, Yovie Widianto. Pada tahun 2006, Dee meluncurkan album berbahasa Inggris berjudul Out Of Shell, dan tahun 2008 melucurkan album RectoVerso,Album Ini mengundang Arina Mocca berduet di lagu Aku Ada dan berduet di lagu "Peluk" dengan Aqi Alexa. Hits besarnya adalah "Malaikat Juga Tahu". Di Album ini juga Dee merilis ulang lagu milik Marcell Siahan berjudul "Firasat".
Herlinatiens (nama asli: Herlina Tien Suhesti; lahir di Ngawi, 26 April 1982; umur 30 tahun) adalah seorang sastrawan asal Indonesia, meski dia lebih nyaman disebut penulis. Novel pertamanya Garis Tepi Seorang Lesbian menjadi bestseller yang membantu membuka jalan baginya untuk menerbitkan novel-novel selanjutnya. Saat ini dia aktif membangun sanggar Kalian yang memberikan dukungan pada anak-anak, dan tinggal di Yogyakarta.
2.5. Perkembangan Pemikiran dalam Karya
Pendapat sebagian kalangan, misalnya Wilson Nadeak yang mengatakan bahwa karya sastra adalah cermin pada zamannya merupakan salah satu segi yang dapat dijadikan unsur penilaian terhadap sebuah karya sastra. Gagasan yang dihadirkan dalam karya sastra tidak terlepas dari gagasan yang secara umum dibangun dalam zaman ketika karya sastra tersebut lahir.
Hubungan antara gagasan dalam karya sastra dengan gagasan utama pada zamannya menyebabkan beberapa pakar membuat semacam periodisasi sastra. Istilahnya bermacam-macam. Di antara pakar sastra tersebut ada yang mengistilahkannya periode (Ajip Rosidi) atau angkatan (H.B. Jassin).
Dalam setiap periode tersebut karya-karya sastra yang dihasilkan oleh perempuan pengarang belum berhasil mengangkat kedudukan perempuan sebagai bagian sejarah sastra yang diperhitungkan. Gagasan-gagasan yang hadir dalam karya-karya mereka belum mampu mendominasi peranan yang dimainkan oleh para sastrawan laki-laki.
Para perempuan pengarang ini lebih banyak menghadirkan tema-tema yang berhubungan dengan kodratnya sebagai perempuan. Tema-tema sedih dan kerinduan kerap menjadi tema-tema favorit yang sering hadir dalam karya-karya mereka. Pengalaman pribadi menjadi sumber ilham bagi mereka dalam menghasilkan karya-karyanya. Perspektif perempuan dalam menghadapi masalah dan memandang dunia begitu kental terasa dalam karya-karya novel yang terbit pada masa tersebut. Persoalan-persoalan yang dihadirkan pun masih sekitar persoalan yang dihadapi perempuan dalam ranah domestik.
Namun demikian, perubahan cara pandang dari para perempuan pengarang tersebut mulai terlihat memasuki tahun 60-an hingga tahun 2000-an sekarang ini. Hal itu tidak terlepas dari pengaruh hadirnya aliran feminisme dari Barat yang mulai memperoleh tempat di kalangan sastrawan.
Pada era tahun 70-an dan tahun 80-an estetika yang diusung oleh para perempuan pengarang mulai bergerak ke arah pasar. Dalam periode ini novel-novel yang bergenre populer banyak ditulis oleh mereka. Hadirnya sejumlah majalah perempuan yang memberi keleluasaan tempat bagi para pengarang untuk memajangkan karyanya, baik berupa cerpen maupun cerber menyebabkan karya-karya mereka kemudian membanjiri pasar. Hal itu disebabkan pula oleh dukungan yang kuat dari sejumlah penerbit dalam menerbitkan karya-karya jenis ini atas dasar pertimbangan kuatnya daya serap pasar. Memang, pasar pun merespons novel-novel populer ini karena cerita yang disajikan mudah dicerna dan ceritanya pun lekat dengan keseharian. Genre ini kemudian melambungkan sejumlah nama perempuan pengarang sebagai pengarang yang banyak digemari. Nama-nama besar seperti N.H. Dini, Titiek W.Ss, Mira W., Titi Said, dan La Rose untuk menyebut sebagian saja mencatatkan diri sebagai pengarang favorit pembaca.
Meskipun begitu, kemunculan mereka tidak semenghentak Ayu Utami, Jenar Maesa Ayu, Dinar Rahayu, atau Fira Basuki yang muncul pada periode 90-an. Perubahan estetika yang sangat jelas dihadirkan oleh mereka. Situasi ini terutama sejak hadirnya novel Saman karya Ayu Utami yang sedikit banyak telah mengubah wajah estetika sastra yang selama ini dianut, baik oleh para perempuan pengarang maupun para sastrawan Indonesia pada umumnya.
Keberanian Ayu dalam mengeksploitasi tubuh dengan diksi-diksi yang menjurus seks telah menyentak dunia sastra. Apalagi kehadiran Saman pun didukung oleh berbagai pujian yang mengalir tidak henti-henti. Wilayah yang selama ini tabu dibicarakan dan diungkapkan karena bersinggungan dengan nilai-nilai budaya ketimuran yang selama ini dianut oleh masyarakat Indonesia dengan leluasa dihadirkan oleh Ayu.
Saman dianggap sebagai pembuka jalan yang benar-benar mewakili suara zamannya karena di dalamnya penuh kritik, pemberontakan terhadap nilai yang mapan dan mencari tawaran dunia yang mungkin, dunia baru yang lebih melegakan karena terbebas dari belenggu nilai-nilai tradisional. Nada yang sama mengisi karya-karya Dee dan Jenar Mahesa Ayu. Hal itu diikuti pula oleh para perempuan pengarang seperti Dinar Rahayu dan Fira Basuki. Berbagai tudingan memang kemudian mengalir kepada mereka, bahkan ada yang menyebut karya-karya Dinar dan Fira sebagai masokhis sarat kekerasan seksual.
Di tengah maraknya estetika berwajah seks dan pemberontakan terhadap nilai-nilai tradisional tersebut secara perlahan, tetapi pasti Helvy Tiana Rosa, Asma Nadia,  dan sejumlah perempuan pengarang lain yang tergabung dalam Forum Lingkar Pena kemudian menghadirkan estetika baru pula yang mengusung nilai-nilai estetika Islam dalam karya-karyanya.
Berbeda dengan Ayu Utami, karya-karya pengarang islami seperti Asma Nadia lebih banyak mengacu pada pengukuhan nilai-nilai, kepercayaan keagamaan, karya yang islami, dengan ketaatan pada ketentuan hukum agama.
Yang menarik sebenarnya adalah ada sisi lain yang menjadi kesamaan dari karya-karya mereka. Sejumlah karya yang ditulis para perempuan pengarang ini adalah usahanya untuk tidak lagi terikat oleh problem domestik. Karya-karya mereka tidak lagi berbicara tentang persoalan rumah tangga–suami-istri, tetapi persoalan seorang perempuan dalam berhubungan dengan masyarakat kosmopolitan. Maka, di sana tokoh-tokoh wanita yang menjadi pelaku utamanya seenaknya bergentayangan ke mancanegara atau berhubungan dengan masyarakat dunia.
Kehadiran novel Dadaisme (Mahatari, Yogyakarta, 2004) dan Geni Jora (Mahatari, Yogyakarta, 2004) di tengah masih maraknya fiksi-fiksi kaum perempuan yang mengusung seks atau yang berlabel ‘Islami’ sangat menarik pula. Sebagai karya yang memenangi suatu sayembara bergengsi, kehadiran dua novel ini membuat perhatian dan pandangan para pengamat sastra menjadi beragam. Hal itu disebabkan oleh kenyataan bahwa sebagai karya yang banyak dipuji oleh para juri sayembara yang notabene adalah para sastrawan kawakan, kedua novel ini justru tidak masuk ke dalam dua mainstreams tersebut meskipun sebagai ‘refleksi kehidupan’ di sekitar pengarangnya seperti yang diistilahkan Umar Kayam, kedua novel tersebut tidak terbebas dari persoalan seks.
Dalam pandangan para pengamat sastra, karya fiksi yang ditulis kedua perempuan pengarang ini mampu membakar kebekuan gerilya sastra sekaligus meruntuhkan tembok pembatas antara sastra pop dan sastra serius. Keduanya mampu menjadi trend dan dibaca oleh kalangan yang kompleks, mulai dari mereka yang gemar berburu buku-buku porno stensilan hingga doktor-doktor ilmu sastra yang mejanya penuh dengan naskah-naskah seminar.
Sejak itu estetika sastra Indonesia benar-benar seperti dikuasai oleh perempuan pengarang. Mengenai hal itu, Sapardi Djoko Damono dengan nada bercanda mengatakan bahwa masa depan sastra Indonesia berada di tangan perempuan pengarang. Sebuah pernyataan dari seorang sastrawan dan pakar sastra terkemuka yang telah mengubah paradigma selama ini dan mungkin sebuah keberhasilan dari upaya yang dilakukan oleh para perempuan pengarang yang tidak mungkin terjadi di masa lalu.
Kini perempuan pengarang bisa menepuk dada bahwa mereka bisa mengubah wajah sastra Indonesia menjadi begitu feminin. Mereka pun benar-benar telah menjadi bintang dalam hiruk-pikuk dunia sastra Indonesia modern hari ini.


BAB III
PENUTUP

3.1 Saran
Dalam penulisan makalah ini sebenarnya masih jauh dari kesempurnaan. Masih banyak penulis perempuan yang tidak di bahas dan diteliti lebih jauh. Maka dari itu untuk terus menambah referensi ilmu pengetahuan yang berkenaan peranan perempuan di dunia tulis menulis, penyusun mengharapkan kita agar tetap terus menambah dan mencari bahan untuk dijadikan pelajaran.
   3.2 Kesimpulan
Sejak zaman Selasih, Maria Amin, N.H. Dini, hingga Ayu Utami dan Dewi Sartika, peta perkembangan estetika sastra yang diusung oleh perempuan pengarang telah mengalami perubahan yang berarti. Seiring dengan perkembangan pandangan terhadap dunia perempuan, pola pikir dan pola ucap mereka pun telah mengalami perubahan pula. Keberanian mereka dalam mengeksploitasi berbagai hal yang selama ini hanya dipendam di wilayah tertutup telah memberikan wacana baru dalam dunia sastra Indonesia bahwa menyepelekan perempuan pengarang atas karya-karyanya adalah sebuah kesalahan besar.
Ketika seorang perempuan telah keluar dari wilayah domestik yang mengungkungnya, mereka akan lebih mempunyai daya daripada yang dimiliki laki-laki dalam mengaktualisasikan dirinya di tengah lingkungannya. Hal itu setidaknya dialami oleh para perempuan pengarang, seperti Ayu Utami dan Jenar Maesa Ayu.
Di sisi lain, ada pula yang menyadari bahwa kedudukannya sebagai perempuan tentu dibatasi oleh norma-norma yang selama ini diyakininya telah mampu menjadi benteng pertahanan.
Yang perlu dicatat dalam fenomena sastra dewasa ini—ketika perempuan pengarang mendominasi penciptaan karya sastra—adalah bahwa kehadiran mereka dalam pentas sastra sejak enam tahun terakhir bukanlah hanya sebatas kepentingan gaul. Patut dicatat pula bahwa sebenarnya mereka tidak lagi menjadi bayang-bayang keangkeran dunia sastra. Kehadiran para perempuan pengarang ini niscaya telah mengguratkan garis berbeda dengan para pengarang sebelumnya, termasuk ketika Selasih menulis novel Kalau Tak Untung, pada tahun 1933, yang dianggap sebagai tonggak kemunculan perempuan pengarang dalam khazanah sastra Indonesia.
Demikianlah posisi dan kedudukan perempuan pengarang dalam perkembangan sastra Indonesia. Posisi dan kedudukan perempuan pengarang yang pada awal perkembangan sastra Indonesia belum begitu mengemuka karena keterbatasan pengarang mulai menempati posisi yang penting, disejajarkan dengan laki-laki pengarang, bahkan mulai melebihi peranan yang dimainkan oleh laki-laki pengarang—meskipun premis ini tentu harus dikaji lebih lanjut.


Daftar Pustaka

http://www.wikipedia.com
http://tokohindonesia.blogspot.com
Adjikoesoemo, BSW. 2006. “Potret Buram Nasib Perempuan dalam Sastra”. Republika edisi Minggu, 06 Januari 2008.
Aminuddin, Mariana. 2005. Sosok Perempuan dalam ‘Sastra Lelaki’”. Republika edisi Minggu, 23 Januari 2005.
Bandel, Katrin. 2006. Sastra, Perempuan, Seks. Yogyakarta: Jalasutra.
Culler. 1983. On Deconstruction Theory and Criticism after Structuralism. London: Routledge Kegan Paul.
Herfanda, Ahmadun Yosi. 2006. “Kegairahan Perempuan dan Problem Estetika Sastra”. H.U. Republika edisi Minggu, 07 Mei 2006.
Kurniawan, Aris. “Sastra dan Pemberontakan Kaum Perempuan”. Republika edisi 14 Agustus 2005.
Kuntowijoyo. 1987. Beberapa Perspektif Feminis dalam Menganalisis Permasalahan Wanita. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.
Moeliono, Anton M. (Penyunting). 1988. Kamus Besar Bahasa Indonesia. Jakarta. Balai Pustaka.
Rosidi, Ajip. 1982. Ikhtisar Sejarah Sastra Indonesia. Bandung: Bina Cipta.
Sugihastuti. 1991. Kritik Sastra Feminis: Sebuah Pengantar. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.
Winata, Reni. 1988. “Citra Wanita dalam Across the Seawall”. Makalah Seminar Sastra Modern. Jakarta: Fakultas Sastra Universitas Indonesia.


1 komentar:

  1. ASSALAMUALAIKUM SAYA INGIN BERBAGI CARA SUKSES SAYA NGURUS IJAZAH saya atas nama bambang asal dari jawa timur sedikit saya ingin berbagi cerita masalah pengurusan ijazah saya yang kemarin hilang mulai dari ijazah SD sampai SMA, tapi alhamdulillah untung saja ada salah satu keluarga saya yang bekerja di salah satu dinas kabupaten di wilayah jawa timur dia memberikan petunjuk cara mengurus ijazah saya yang hilang, dia memberikan no hp BPK DR SUTANTO S.H, M.A beliau selaku kepala biro umum di kantor kemendikbud pusat jakarta nomor hp beliau 0823-5240-6469, alhamdulillah beliau betul betul bisa ngurusin masalah ijazah saya, alhamdulillah setelah saya tlp beliau di nomor hp 0823-5240-6469, saya di beri petunjuk untuk mempersiap'kan berkas yang di butuh'kan sama beliau dan hari itu juga saya langsun email berkas'nya dan saya juga langsung selesai'kan ADM'nya 50% dan sisa'nya langsun saya selesai'kan juga setelah ijazah saya sudah ke terima, alhamdulillah proses'nya sangat cepat hanya dalam 1 minggu berkas ijazah saya sudah ke terima.....alhamdulillah terima kasih kpd bpk DR SUTANTO S.H,M.A berkat bantuan bpk lamaran kerja saya sudah di terima, bagi saudara/i yang lagi bermasalah malah ijazah silah'kan hub beliau semoga beliau bisa bantu, dan ternyata juga beliau bisa bantu dengan menu di bawah ini wassalam.....

    1. Beliau bisa membantu anda yang kesulitan :
    – Ingin kuliah tapi gak ada waktu karena terbentur jam kerja
    – Ijazah hilang, rusak, dicuri, kebakaran dan kecelakaan faktor lain, dll.
    – Drop out takut dimarahin ortu
    – IPK jelek, ingin dibagusin
    – Biaya kuliah tinggi tapi ingin cepat kerja
    – Ijazah ditahan perusahaan tetapi ingin pindah ke perusahaan lain
    – Dll.
    2. PRODUK KAMI
    Semua ijazah DIPLOMA (D1,D2,D3) S/D
    SARJANA (S1, S2)..
    Hampir semua perguruan tinggi kami punya
    data basenya.
    UNIVERSITAS TARUMA NEGARA UNIVERSITAS MERCUBUANA
    UNIVERSITAS GAJAH MADA UNIVERSITAS ATMA JAYA
    UNIVERSITAS PANCASILA UNIVERSITAS MOETOPO
    UNIVERSITAS TERBUKA UNIVERSITAS ISLAM INDONESIA
    UNIVERSITAS TRISAKTI UNIVERSITAS KRISTEN INDONESIA
    UNIVERSITAS BUDI LIHUR ASMI
    UNIVERSITAS ILMUKOMPUTER UNIVERSITAS DIPONOGORO
    AKADEMI BAHASA ASING BINA SARANA INFORMATIKA
    UPN VETERAN AKADEMI PARIWISATA INDONESIA
    INSTITUT TEKHNOLOGI SERPONG STIE YPKP
    STIE SUKABUMI YAI
    ISTN STIE PERBANAS
    LIA / TOEFEL STIMIK SWADHARMA
    STIMIK UKRIDA
    UNIVERSITAS NASIONAL UNIVERSITAS JAKARTA
    UNIVERSITAS BUNG KARNO UNIVERSITAS PADJAJARAN
    UNIVERSITAS BOROBUDUR UNIVERSITAS INDONESIA
    UNIVERSITAS MUHAMMADYAH UNIVERSITAS BATAM
    UNIVERSITAS SAHID DLL

    3. DATA YANG DI BUTUHKAN
    Persyaratan untuk ijazah :
    1. Nama
    2. Tempat & tgl lahir
    3. foto ukuran 4 x 6 (bebas, rapi, dan usahakan berjas),semua data discan dan di email ke alamat email bpk sutantokemendikbud@gmail.com
    4. IPK yang di inginkan
    5. universitas yang di inginkan
    6. Jurusan yang di inginkan
    7. Tahun kelulusan yang di inginkan
    8. Nama dan alamat lengkap, serta no. telphone untuk pengiriman dokumen
    9. Di kirim ke alamat email: sutantokemendikbud@gmail.com berkas akan di tindak lanjuti akan setelah pembayaran 50% masuk
    10. Pembayaran lewat Transfer ke Rekening MANDIRI, BNI, BRI,
    11. PENGIRIMAN Dokumen Via JNE
    4. Biaya – Biaya
    • SD = Rp. 1.500.000
    • SMP = Rp. 2.000.000
    • SMA = Rp. 3.000.000
    • D3 = 6.000.000
    • S1 = 7.500.000(TERGANTUN UNIVERSITAS)
    • S2 = 12.000.000(TERGANTUN UNIVERSITAS)
    • S3 / Doktoral Rp. 24.000.000
    (kampus terkenal – wajib ikut kuliah beberapa bulan)
    • D3 Kebidanan / keperawatan Rp. 8.500.000
    (minimal sudah pernah kuliah di jurusan tersebut hingga semester 4)
    • Pindah jurusan/profesi dari Bidan/Perawat ke Dokter. Rp. 32.000.000

    BalasHapus